Berita

Menajamkan Kepekaan di Ramadan: Saat Ngabuburit Menjadi Kajian Semiotika

Surabaya – Ramadan tahun ini mungkin telah berlalu, tetapi pengalaman empat mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA) pada pertengahan Maret lalu tetap meninggalkan jejak reflektif. Mereka menjadikan momen ngabuburit bukan sekadar kegiatan menunggu waktu berbuka, melainkan kesempatan untuk mengasah kepekaan terhadap lingkungan melalui sudut pandang keilmuan.

Pada Kamis, 13 Maret 2025, Nailiy Nur Sa’adah, Masayu Destiana Sheva, Dwi Rahma Dita Febrianti, dan Harum Nur Azizah, turun ke jalan utama kota Surabaya, tepatnya di Jl. Dr. Ir. H. Soekarno. Mereka tidak sekadar berjalan-jalan, tetapi juga mengamati berbagai baliho, spanduk, hingga grafiti yang menghiasi ruang publik.

“Saat Ramadan, visual kota berubah. Kami tertarik mengamati bagaimana tanda-tanda visual itu membentuk makna tertentu di ruang publik,” ujar Masayu Destiana Sheva. Salah satu dari mereka, Nailiy Nur Sa’adah, bahkan mendokumentasikan fenomena tersebut menggunakan kamera ponsel untuk dianalisis lebih lanjut secara semiotik.

Menurut Nailiy, baliho yang mereka temui mengandung berbagai semion — tanda-tanda visual seperti gambar ketupat, beduk masjid, hingga logo merek properti — yang membentuk narasi khas Ramadan. Ia menjelaskan bahwa tanda-tanda tersebut menarik untuk dikaji karena memperlihatkan relasi antara ekspresi religius dan strategi komersial.

“Baliho mungkin terlihat biasa, tapi dalam konteks Ramadan, ia bisa mengungkap paradoks antara spiritualitas dan kapitalisme,” ungkapnya.

Kegiatan mereka bukan hanya sebagai ekspresi akademik, tetapi juga bentuk lain dari penghormatan terhadap momen suci. Mereka berdiskusi langsung di tengah jalanan kota, membaca dan menafsirkan bahasa visual yang sering kali luput dari perhatian. Dwi Rahma Dita Febrianti menambahkan, “Ngabuburit kami hari itu menjadi ruang di mana tradisi dan intelektualitas berpadu.”

Kegiatan ini menunjukkan bahwa pendekatan sastra dan kebudayaan bisa menghidupkan ruang publik sebagai laboratorium pemikiran. Harum Nur Azizah menutup sesi sore itu dengan satu kalimat reflektif: “Ngabuburit tak harus berburu takjil. Kali ini, kami berburu semion di bulan Ramadan.”

Pengalaman tersebut menjadi bukti bahwa semangat akademik dan nilai-nilai religius dapat menyatu dalam kegiatan sehari-hari, bahkan dalam hal sesederhana ngabuburit.

Baca Juga: Kegiatan Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia UINSA