Semua elemen bangsa penting menyadari bahwa negeri ini berbhineka. Sebagai negara berbhineka, para pendiri bangsa telah mengajarkan pentingnya bersatu dalam keragaman (unity in diversity). Motto nasional “Bhinneka Tunggal Ika” penting menjadi spirit dalam mewujudkan kehidupan yang saling menghargai. Motto ini mengandung ajaran bahwa meski Indonesia berbhineka, namun harus tetap tunggal ika.
Untuk mewujudkan kehidupan yang saling menghargai di tengah kemajemukan, pemerintah dan seluruh elemen bangsa harus menyadari pentingnya pluralisme keagamaan. Apalagi faktanya pluralisme telah menjadi tantangan semua agama dan paham keagamaan. Kondisi ini berpotensi menjadi pemicu intoleransi dalam berbagai bentuknya.
Insiden intoleransi itu terjadi jika antarindividu dan kelompok yang berbeda tidak siap hidup dalam suasana kemajemukan. Pada konteks inilah dibutuhkan strategi baru dialog lintas agama dan paham keagamaan. Sejauh ini dialog lintas agama lebih banyak dikemas dalam konteks perdebatan teologi. Pengalaman keagamaan yang dihasilkan dari model dialog ini selalu bercorak binaris; in group-out group, golongan kami (minna)-golongan kamu (minkum), dan benar-salah.
Keinginan untuk saling bertemu, bertegur sapa, dan memahami ajaran setiap agama tidak akan tercapai melalui dialog bernuansa perdebatan teologis. Sesekali elit agama penting melakukan dialog secara informal sehingga antarumat beragama dan pengikut paham keagamaan saling bertegur sapa. Strategi ini diharapkan mampu mendekatkan jarak yang seringkali menjadi pemisah. Strategi ini juga efektif untuk mengurangi prasangka (prejudice)antarumat beragama dan pengikut paham keagamaan.
Tantangan Pluralisme
Di antara tantangan yang dihadapi umat beragama berkaitan dengan pluralisme adalah bahwa setiap agama dituntut untuk melahirkan ajaran yang inklusif dan toleran terhadap kemajemukan. Sementara pada saat yang sama agama mewajibkan pemeluknya untuk meyakini bahwa doktrin yang diajarkan memiliki kebenaran mutlak dan bersifat eksklusif. Dalam menghadapi problem ini mayoritas tradisi keberagamaan mengambil sikap bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya. Sementara kelompok lain dianggap salah.
Dampaknya, setiap pemeluk agama atau penganut paham keagamaan mengklaim ajarannya paling benar. Sikap saling mengklaim kebenaran (truth claim) pasti meniadikan keinginan untuk saling memahami tradisi keberagamaan sulit terwujud. Karena itulah perlu ditumbuhkan nilai-nilai pluralisme yang lebih positif hingga menjadi gerakan aksi yang melibatkan antarumat beragama dan paham keagamaan. Nilai-nilai pluralisme yang penting dikembangkan diantaranya menghormati perbedaan pendapat, pilihan hidup, dan keyakinan.
Diana L. Eck dalam What is Pluralism (1993) menegaskan bahwa pluralisme berbeda dengan relativisme dan toleransi pasif. Pluralisme adalah pencarian yang aktif untuk memahami perbedaan. Pluralisme juga menekankan pentingnya dialog yang dilakukan secara tulus sehingga menghadirkan komitmen untuk berbagipengalaman keagamaan, saling mengkritik, dan bersedia dikritik.
Jika pluralisme dipahami secara positif, maka akan melahirkan sikap terbuka, toleran, dan optimistik. Pemahaman keagamaan yang terbuka pasti menumbuhkan komitmen yang tulus untuk terlibat aktif dalam kegiatan lintas budaya, etnis, dan agama. Meminjam istilah Mukti Ali (1989), sudah waktunya elemen bangsa ini bersepakat dalam perbedaan (agree in disagreement).
Teori Penampakan Wajah
Selain memahami pluralisme secara positif, kita juga harus membumikan nilai-nilai multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan paham yang mengajarkan pentingnya pengakuan terhadap pluralitas budaya. Will Kymlicka dalam Multicultural Citizenship (1995), menyatakan bahwa multikulturalisme meniscayakan kelompok mayoritas mau mengakomodasi perbedaan kelompok minoritas sehingga kekhasan mereka tetap terjaga.
Sebagai upaya untuk membumikan nilai-nilai multikulturalisme kita penting memahami pemikiran filsuf Prancis, Emmanuel Levinas (1906-1995), tentang penampakan wajah (the face of the other). Levinas mengatakan bahwa penampakan wajah bukan bagian dari aku, bukan pula diukur dari tolok ukurku. Yang lain itu memang berbeda dari aku. Namun, hubungan aku dengan yang lain tidak boleh melahirkan kekerasan. Kehadiran yang lain justru akan membuahkan kedamaian sekaligus menumbuhkan kultur positif dalam kehidupan.
Melalui teori penampakan wajah akan selalu tergambar wajah yang lain. Penampakan wajah yang lain akan memungkinkan masing-masing orang bisa saling bertegur sapa serta mengundang simpati dan empati. Perspektif positif dalam menyikapi kemajemukan sebagaimana digambarkan Kymlicka dan Levinas sangat penting dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat yang berbhineka.
Justru di tengah kemajemukan itulah semua pemeluk agama dan pengikut tradisi keagamaan penting diajak untuk berlomba-lomba menjadi yang terbaik (QS. Al-Maidah: 48). Kalam Ilahi ini penting menjadi spirit untuk membumikan nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme. Ajaran ini penting diwujudkan dalam tindakan nyata, tidak sekedar retorika.
Tugas aparat pemerintahan dan seluruh elemen bangsa adalah memberikan rasa aman bagi setiap individu atau kelompok untuk menjalankan agama dan paham keagamaannya. Jika negeri ini sukses mengelola kemajemukan rasanya kita akan selalu merayakan kebhinekaan.
[BIYANTO; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya]