Dosen sebagai akademisi sebagaimana tertuang dalam Permenpan RB Nomor 17 Tahun 2013 Sebagaimana telah diubah dengan Permenpan RB RI Nomor 46 Tahun 2013 adalah Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian pada Masyarakat. “Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) No. 1/2023 tentang Jabatan Fungsional, menjamin pengembangan karier yang lebih luas bagi Pejabat Fungsional, termasuk bagi JF Dosen. Semangat yang diusung dalam Peraturan Menteri PANRB adalah semangat penyederhanaan dan fleksibilitas.
Akibatnya, tugas dosen sebagai ilmuwan akhirnya terbebani dengan persoalan persoalan administrasi sebagai bukti pendukung kinerja, baik pendidikan, penelitian dan pengabdian. Dosen biasa (DS) apalagi DT akhirnya terjebak dengan persoalan pekerjaan rutin administrasi setiap semester, seperti BKD, Laporan Kuliah, SKP dan lain sebagainya.
Rutinitas merupakan aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam kehidupan, baik pekerjaan rumah, kantor ataupun pekerjaan lainnya secara terus menerus. Akibat rutinitas ini memunculkan aktivitas pekerjaan yang menguras waktu dan tenaga bisa sangat melelahkan, stres tidak lagi terhindarkan. Bukan hanya stres biasa, tekanan akibat pekerjaan nyatanya bisa menimbulkan masalah kesehatan yang disebut burnout syndrome. Burnout merupakan suatu keadaan munculnya kelelahan mental, fisik, dan emosional yang terjadi pada seseorang yang diakibatkan rutinitas dan beban kerja yang berlebihan (Inta,2021), sehingga menimbulkan kesulitan melakukan aktivitas yang dianggap bermakna bahkan memunculkan perasaan putus asa dan aktifitas yang dilakukan terasa tidak berarti (Raftupaulus, Charalambous & Talias, 2012). Bahkan, ketika sedang mengalami burnout syndrome, seseorang dapat merasa tidak Bahagia akan dirinya dan merasa tidak puas dengan pencapaian – pencapaiannya (Schorn & Buchwald, 2006).
Kelelahan di tempat kerja digambarkan sebagai keadaan kelelahan emosional, mental dan fisik yang disebabkan oleh stres kronis di tempat kerja yang tidak berhasil dikelola. Ketika stres terus berlanjut, minat atau motivasi kerja pun berkurang. Kelelahan di tempat kerja telah menjadi masalah pekerjaan yang serius di zaman modern ini. Hal ini ditandai dengan tiga dimensi: Pertama, Perasaan kehabisan energi atau kelelahan. Kedua, Perasaan negativisme atau sinisme terkait pekerjaan dan berkurangnya rasa percaya diri. Dan ketiga, Mengurangi kemanjuran profesional dan meningkatkan jarak mental dari kolega dan klien.
Kondisi ini juga dikenal sebagai occupational burnout atau job burnout. Kondisi ini ditandai dengan kelelahan fisik dan emosional yang diakibatkan oleh ekspektasi dan kenyataan dalam pekerjaan tidak berjalan sesuai apa yang dibayangkan. Stres akibat pekerjaan juga bisa terjadi ketika seseorang merasa kewalahan dengan perintah atasan yang terus-menerus datang, tetapi tidak bisa memenuhinya. Jika kondisi ini terus dibiarkan, bisa mulai kehilangan minat pada pekerjaan dan tidak lagi menemukan motivasi untuk melakukannya. Produktivitas kerja pun akhirnya menurun.
Kelelahan di tempat kerja, suatu keadaan kelelahan emosional, mental dan fisik yang disebabkan oleh stres yang berlebihan dan berkepanjangan, akhir-akhir ini menjadi masalah kesehatan kerja yang serius. Alih-alih menjadi suatu kondisi medis, penyakit ini kini telah diklasifikasikan ulang oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadi fenomena pekerjaan. Burn-out adalah suatu sindrom yang dikonseptualisasikan sebagai akibat dari stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola. Burn-out secara khusus mengacu pada fenomena dalam konteks pekerjaan dan tidak boleh diterapkan untuk menggambarkan pengalaman di bidang kehidupan lainnya. Karena stres kronis di tempat kerja sangat mengganggu kualitas hidup, perhatian medis harus diberikan dengan tepat. Mewaspadai tanda-tanda peringatan tetap penting agar pengobatan dapat segera diberikan. Burnout syndrome dapat memiliki dampak yang signifikan pada dosen dan kinerja akademik. Dosen yang mengalami burnout cenderung mengalami penurunan motivasi, kelelahan yang berkelanjutan, penurunan kualitas pengajaran dan penelitian, serta peningkatan resiko gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan dosen mengalami burnout. Beberapa diantaranya termasuk beban kerja yang tinggi, tekanan untuk mencapai target kinerja akademik, konflik peran antara mengajar, penelitian dan tugas administratif, serta kurangnya dukungan dari sesama dosen dan manajemen universitas.
Jika terdapat tanda dan gejala yang tidak normal, konsultasi medis dengan psikiater, Psikolog dan dokter spesialis jiwa sangat dianjurkan agar dapat mengatasi permasalahan secara tepat dan rencana pengobatan yang cepat dan tepat waktu.
Burnout syndrome berbeda dengan depresi. Burnout syndrome adalah hasil dari stres berkepanjangan. Hal ini tidak sama dengan depresi. Biasanya, sindrom ini selalu berhubungan dengan pekerjaan, sedangkan depresi tidak. Penyebab depresi tidak hanya datang dari pekerjaan, tetapi mungkin juga keluarga, hubungan percintaan, maupun hal-hal pribadi lainnya.
Cara mengatasi burnout syndrome
Anda mungkin merasa bahwa tidak ada satu orang pun yang berusaha menolong diri Anda saat mengalami burnout syndrome. Tetapi, langkah-langkah berikut ini bisa Anda lakukan untuk membantu mengatasi burnout. Pertama, kita melakukan teknik relaksasi. Beberapa kegiatan relaksasi dapat membantu Anda dalam menghilangkan stres, seperti meditasi, latihan bernapasan, Yoga atau berjalan santai. Kedua, melakukan olahraga rutin. Melakukan olahraga secara rutin & hobby dapat membantu Anda mengurangi stres, bahkan hal ini juga dapat mengalihkan pikiran Anda. Ketiga, Tidur cukup. Mencukupi kebutuhan tidur selama 7–8 jam tiap malam dapat membuat tubuh Anda lebih bugar. Keempat, Mindfullness, Teknik sederhana yang bisa dilakukan untuk membuat pikiran lebih focus terhadap berbagai kondisi yang sedang terjadi disekitar. Kelima, Support system. Keberadaan support system dari mentor dapat membantu memberikan saran dan perspektif yang berbeda sehingga menjadi salah satu cara menemukan jalan keluar dari situasi sulit. Terakhir, untuk mencegah burnout syndrome, penting untuk menerapkan work-life balance, yaitu mendistribusikan waktu antara pekerjaan dan hal lainnya, seperti keluarga, kegiatan pribadi dan keterlibatan dalam masyarakat (Smith & Brower,2016).
Dengan mengetahui Burnout syndrome kita dapat menyadari pentingnya melakukan pencegahan – pencegahan untuk mempertahankan well – being kita ketika belajar dan bekerja, serta menghindari terjadinya burnout syndrome. Harapannya dapat menciptakan gaya hidup yang lebih sehat ditengah produktifitas sembari melindungi diri dari kelelahan yang berlebihan.
Semoga bermanfaat.
[Khodijah, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel]
Sumber : World health organization (2019).Burnout an “occupational phenomenon”:International classification of diseases.