Column

Sudah beberapa minggu ini kita disebukkan dengan huru-hara politik yaitu demo tolak RUU Pilkada 2024. Tidak saja di Gedung DPR/MPR RI tetapi sudah merambah pada akar rumput. Di warung-warung dan kios-kios kopi masyarakat mencoba bertanya apa penyebabnya? Apa akar permasalahan yang menyebabkan demo terjadi? Tidakkah semua bisa diselesaikan secara prosedur politik maupun hukum?

Berbagai pertanyaan tersebut bergelayut pada setiap pikiran kita. Dan selama tidak ada yang dapat menjawabnya. Analisa-analisa politik, hukum dan soaial dari berbagai pakar pun turut menghiasi berbagai media masa baik konvensional koran-koran maupun media online. Mereka mencoba menarik benang-merah dari peristiwa yang terjadi.

Tetapi ada satu hal yang belum disadari oleh kita semua, bahwa peranan elit politik dalam hal ini sangat kenthal. Ada “kelupaan diri” dari para pejabat politk tersebut, bahwa ketika dirinya sudah diangkat dan/atau dilantik sebagai pejabat negara – seyogyanya menanggalkan segala atribut politIk dalam diri mereka. Mereka bukan lagi sebagai ‘tukang politik’ (politician) atau ‘petugas partai’ (party officer) tetapi sudah menjadi ‘penyambung lidah rakyat’ (mouthpiece of the people) yang harus menyuarakan kepentingan bangsa dan negara di atas segala kepentingan politik, pribadi maupun golongan.

Pada tulisan ini, penulis hendak menyampaikan urun rembuk terkait dengan Mencari Akar Penyebab Demo Tolak RUU Pilkada 2024 dari sudut pandang bagaimana seharusnya jiwa negarawan dari pejabat negara harus di kedepankan.

Jiwa Negarawan Pejabat Negara

Para pejabat politik ketika yang bersangkutan telah diangkat sebagai pejabat negara, maka secara konstitusional akan beralih setatusnya dari ‘tukang politik’ menjadi Negarawan. Jadi kepadanya melekat jiwa Negarawan yang lebih mementingkan kebutuhan negara di atas kebutuhan pribadi maupun golongan, bahkan asal partai politik yang bersangkutan.

Satu pertanyaan kritis berkaitan dengan sifat negarawan, apakah yang menjadi tolok ukur kenegarawanan tersebut? Menurut Satjipto Rahardjo (2006), bahwa kenegarawanan tidak bisa dimonopoli oleh satu atau dua kelompok dalam masyarakat, melainkan bisa menjadi milik siapa saja. Tidak hanya presiden dan elit politik bisa menjadi negarawan, tetapi guru sekolah dan kepala desa pun bisa. Ukuran yang dipakai di sini adalah, apakah dalam menjalankan pekerjaan, seseorang itu dituntut oleh wawasan yang luas dan jauh menjangkau nasib bangsanya. Itulah ukuran kenegarawanan. Intinya adalah, selalu dihantui oleh pertanyaan, apakah yang dilakukannya membawa perubahan bagi bangsanya dan bukan berdasar kepentingan yang sempit.

Berdasarkan pendapat tersebut, unsur-unsur yang dapat dijadikan tolok ukur dari jiwa kenegarawanan adalah: (1) dalam menjalankan pekerjaan, seseorang itu dituntut oleh wawasan yang luas dan jauh menjangkau nasib bangsanya; dan (2) pekerjaan yang dilakukan membawa perubahan bagi bangsanya dan bukan berdasar kepentingan yang sempit.

Quirk & Bridwell (1997), mendefinisikan kenegarawanan sebagai kandungan kecintaan kepada bangsa dan tanah air (patriotisme) yang kuat yang dikenal dengan istilah “nationalistic decisions”.  Konsep ini telah dilakukan oleh Chief Juctise John Marshall di tahun 1821 dalam putusannya yang monumental, yang dalam pengadilan tersebut ia juga disebut sebagai ‘judicial statemanship”.

Bagaimana dengan sifat negarawanan pejabat negara? Tidak dapat dipungkiri bahwa harapan masyarakat tentang pejabat negara itu mungkin terlalu tinggi. Keinginan agar pengadilan menjadi ‘benteng terakhir’ terhadap segala ketidakadilan dalam masyarakat memang hanya suatu ‘ideologi’. Seperti dikatakan Hold dan Loth (2004), bahwa pejabat negara juga seorang manusia biasa, yang selalu harus diingatkan akan kelemahannya (tergoda untuk tidak berlaku bebas dan netral). Mereka adalah pilihan yang diharapkan terseleksi dengan sempurna. Memakai pikiran yang pernah dikemukakan oleh Richard A. Posner dan Anthony T. Kronman (1996) dapat dikiaskan bahwa suatu profesi (jabatan) merupakan seorang ‘rational administrator and social engineer’, yang berjalan setahap demi setahap menuju jenjang “official-statesman”.

Menurut Mardjono Reksodiputro (2006), dengan lebih melihat kepada pendekatan tradisional profesi (jabatan) dari Kronman, yang dianggapnya harus mempunyai ‘technical competence, civic virtue and practical wisdom”, adalah tepat apa yang diharapkan masyarakat dari seorang pejabat. Pengalaman lapangan akan memberinya kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum (politik) yang berat dan rumit. Moral sosial yang tinggi (civic virtue) adalah kemampuan pejabat untuk merasa prihatin pada kepentingan-kepentingan publik (public good) dan akan tercermin dari putusan/kebijakannya apabila menemukan konflik antar nilai dan kepentingan masyarakat yang sukar diselaraskan. Kemampuan memecahkan konflik hukum/politik/sosial seperti ini juga menjadikan seorang pejabat juga mempunyai ‘statesmanship’ (sifat sebagai negarawan).  Dalam pandangan Kronman ‘practical wisdom’ merupakan ciri dari sifat negawaran yang baik. Selanjutnya dalam kaitan ini Kronman mendeskripsikan ciri-ciri ‘practical wisdom’ sebagai berikut: “ … consist of insight and persuasion … expertise and imagination and enables the lawyer-statesman to deliberate on various alternatives and contemplate theis consequence … It demands therefore a certain disinterested but sympathetic detachment, being able to balance between the societal perspective and that of the parties involved … who can imagine himself in the position of other, without losing the perspective of the legal order.  (Kebijakan hakekatnya merupakan pemahaman dan persuasi … keahlian dan imajinasi dan kemampuan para ahli hukum untuk merumuskan berbagai alternatif dan mempertimbangkan konsekuensinya … Suatu putusan tidak didasarkan pada keuntungan pribadi ataupun sifat memihak, melainkan asas keseimbangan antara penilaian masyarakat dan para pihak yang terlibat … mereka dapat menggambarkan dirinya sendiri dalam posisi lain, tanpa meninggalkan perspektif aturan hukum yang berlaku).

Menurut Satjipto Rahardjo (2006), bahwa kenegarawanan seorang pejanbat negara adalah bagaimana pandangan ke depan para pejabat mengenai kemana bangsanya mau dibawa, yang dituangkan ke dalam putusan-putusannya.  Surat Presiden George Washington kepada Chief Juctise John Jay mendukung pernyataan tersebut: “… in nominating you for the important station which you now fill, I not only act in conformity to my best judgment, but I trust I did a greatful thing to the good citizens of these United States; and I have a full confidence that the love which you bear to our country, and a desire to promote the general happiness, will not suffer you to hesitate a moment to bring into action the talents, knowledge and integrity which are so necessary to be exercised at the head of that department which must be considered as the keystone of our political fabric.”  ( … dalam pencalonan ini merupakan posisi yang sangat menentukan, … Saya tidak hanya bertindak berdasarkan pertimbangan terbaik saya, tetapi saya yakin dapat membuat sesuatu yang besar bagi Negara; dan saya percaya sepenuhnya bahwa kecintaan terhadap negeri,  dan suatu keinginan untuk memajukan kesejahteraan umum, tidak akan membuat keraguan untuk melakukan tindakan berdasarkan bakat, pengetahuan dan integritas yang mana hal itu diperlukan oleh setiap pimpinan institusi yang harus dipertimbangkan sebagai dasar dalam sistem politik).

Persyaratan untuk menjadi pejabat selalu menentukan beberapa hal penting yaitu: memiliki integritas yang tinggi, berkepribadian yang tidak tercela. Adil, dan negarawan. Misal untuk jabatan hakim dan hakim konstitusi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 24C UUDNRI 1945 dan Pasal 15 dan pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kecuali persyaratan ”negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan” tidak jauh berbeda dengan persyaratan untuk menjadi Hakim Agung, khususnya Hakim Agung yang berasal dari Hakim Non Karir. Artinya, bahwa persyaratan memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, serta tidak merangkap sebagai pejabat adalah persyaratan yang include pada setiap persyaratan untuk menjadi hakim.

Prof. Dr. Titik Triwulan Tutik, M.H.
Guru Besar UINSA Surabaya