Column

MEMPERBINCANG STATUS PEMAIN DIASPORA DARI ASPEK SUDUT HUKUM KEWARGANEGARAAN

Prof. Dr. Titik Triwulan Tutik, M.H.
Guru Besar UINSA Surabaya

Geliat Timnas sebutan untuk Tim Sepak Bola Nasional Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup mencerahkan. Bagaimana tidak! Ada beberapa momen penting keberhasilan Timnas Indonesia dalam melakoni beberapa laga nasional.

Tercatat sejak Timnas di bawah pengasuhan duet maut Erick Tohir dan pelatih Shin Tae-yong tonggak-tonggak sejarah prestasi ditancapkan. Meski belum menunjukkan prestasi gemilang seperti menjuarai pada level Asia atau bahkan dunia (internasional), euporia kemenangan demi kemenangan atas lawan-lawan berat menunjukkan bahwa Timnas Indonesia mulai menumbuhkan gigi taring yang selama ini masih tersimpan dalam. Dan sebentar lagi para pemain timnas tersebut akan melakoni pertandingan putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, yang akan digelar mulai 5 September 2024 hingga 10 Juni 2025.

Meski masih bersifat debatable, kehadiran para diaspora Indonesia dalam skuad Timnas Indonesia setidaknya telah memberikan warna baru terhadap persepakbolaan Indonesia. Mereka benar-benar telah memberikan makna dan arti nasionalisme, dan bagaimana seharusnya menjadi warga negara untuk berjuang membela negara di dunia olahraga, khususnya sepakbola.

Tangis haru Tom Haye atau yang lebih viral dengan sebutan Sang Profesor saat memeluk sang ayah setelah memenangkan pertandingan menghadapi Filipina pada Kualifikasi Piala Dunia 2026. Hal itu merupakan pemandangan kasat mata yang tidak dapat begitu saja dinafikkan. Belum lagi bagaimana keluarga besar para pemain Diaspora yang tidak pernah absen pada setiap laga saat timnas bertanding menjadi catatan tersendiri akan betapa mereka benar-benar memberikan warna sebagai satu komunitas bangsa besar yaitu Indonesia. Meski demikian kita pun tidak juga begitu saja melupakan perjuangan dan kebanggan pada para pemain liga nasional atau ‘pribumi pride’ yang turut menyumbangkan diri sebagai satu bagian besar dari timnas.

Pada tulisan ini penulis tidak hendak membahas terkait dengan timnas Indonesia, tetapi ingin melihat bagaimana sebenarnya status pemain diaspora dari aspek sudut hukum kewarganegaraan. Artinya bagaimana sebenarnya status kewarganegaraan para diaspora tersebut? Apakah mereka sama sebagaimana para naturalisasi semacam El Loco Gonzales, dan/atau Greg Nwokolo.

Resultansi Diaspora Indonesia

Penduduk Indonesia merupakan penduduk terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 278.696.200 per Senin 22 April 2024, dan bertambah menjadi 279.399.711 jiwa per Minggu, 28 April 2024. Jumlah ini berdasarkan penjabaran Worldometer dari data terbaru PBB. Data ini diperbarui pada 16 Juli 2023 dengan perkiraan terakhir Juli 2023-Juli 2024 dari PBB, Departemen Ekonomi dan Sosial, Divisi Kependudukan (https://www.worldometers.info/world-population/indonesia-population/). Selain itu tingkat pertumbuhan tahunan penduduk Indonesia sebesar 0,798%. Dengan jumlah ini Indonesia memiliki populasi 3,448% dari populasi dunia.

Menurut daftar negara menurut jumlah penduduk dalam https://id.wikipedia.org/wiki, jumlah penduduk terbesar di dunia, secara berturut-turut adalah Tiongkok dengan jumlah penduduk sekitar 1.429.210.000 jiwa, disusul India dengan jumlah penduduk sekitar 1.428.220.000 jiwa, dan Amerika Serikat dengan jumlah penduduk sekitar 342.875.000, dan disusul Indonesia dengan jumlah sekitar 278.696.200 jiwa.

Dari jumlah pendudukan atau warga negara Indonesia tersebut, diyakini mereka tersebar hampir di seluruh dunia, baik sebagai tenaga kerja (TKI/TKW), dan juga sebagai mahasiswa. Bahkan dalam catatan sejarah warga negara Indonesia khususnya Jawa, mendiami dan menjadi warga negara Suriname dengan jumlah keempat terbesar. Mereka semula adalah para tenaga kerja Indonesia asal Pulau Jawa yang dibawa oleh Pemerintah Kerajaan Belanda sejak tahun 1890 sampai dengan 1939 ke Suriname yang sama-sama sebagai negara jajahan (https://id.wikipedia.org/wiki/Suriname).

Saat ini, Orang Indonesia (suku Jawa) yang menjadi warga negara Suiname ada sekitar 71.879 orang. Jumlah ini menjadi Masyarakat terbesar ke-4 dari warga negara Suriname setelah, orang Hindustani 135.117 orang, Orang Creole 87.202 orang, dan Orang Marron 72.553 orang.

Selain Suriname, beberapa negara yang menjadi Migrasi dan diaspora suku Jawa telah membawa pengaruh budaya, bahasa, dan tradisi mereka ke berbagai belahan dunia adalah: Pertama, Malaysia. Di Malaysia, terutama di bagian barat negara ini seperti Johor dan Selangor, terdapat komunitas Jawa yang cukup besar. Mereka adalah keturunan para pekerja kontrak yang datang dari Jawa pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 untuk bekerja di sektor pertanian.

Kedua, Selandia Baru. Selandia Baru juga memiliki populasi yang cukup besar dari keturunan Jawa. Mereka datang sebagai pekerja kontrak pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 untuk bekerja di sektor pertanian, khususnya di wilayah Bay of Plenty dan Waikato.

Ketiga, Singapura. Meskipun ukuran komunitas Jawa di Singapura tidak sebesar di negara-negara lain yang disebutkan sebelumnya, mereka tetap memiliki kontribusi yang signifikan terhadap kebudayaan dan sejarah Singapura. Banyak suku Jawa datang ke Singapura pada abad ke-19 untuk bekerja di sektor perdagangan dan perkebunan. Bahasa Jawa dan tradisi Jawa masih dipertahankan oleh sebagian komunitas Jawa di Singapura.

Keempat, Belanda. Sebagai negara bekas penjajah Indonesia, Belanda memiliki populasi yang signifikan dari keturunan Jawa. Mereka adalah hasil migrasi yang terjadi selama masa penjajahan dan setelah kemerdekaan Indonesia. Komunitas Jawa di Belanda berkontribusi pada kehidupan budaya di negara tersebut dengan menjaga tradisi, festival, dan organisasi kebudayaan (https://international.sindonews.com/read/1089581/45/).

Banyaknya masyarakat Indonesia yang berdiam dan menjadi warga negara suang bangsa lain, atau sekedar menjadi tenaga kerja musiman (TKI/TKW) yang kemudian kembali ke Indonesia, dan/atau pun menjadi pelajar Indonesia di luar negari kemudian mereka beranak-pinak.

Meski demikian satu catatan penting, meski masyarakat Indonesia yang telah menjadi warga negara lain dan/atau menjadi TKI/TKW dan juga mahasiswa di luar negari jiwa nasionalisme dan patriotirme mereka tidak akan pernah luntur. Mereka tetap loyal terhadap bangsa ini, di dalam jiwa mereka tetap menyala jiwa kebangsaan dan intu mandarah daging hingga pada keturunan mereka.

Bukan orang Asing

Sementara ini masih ada pro-kontra terkait dengan keberadaan para pemain Diaspora dalam Timnas. Dua kutub yang saling berberangan memberikan debatable yang panjang. Satu sisi menimbulkan kekawatiran apabila program ‘naturalisiasi diaspora’ ini terus berlanjut akan menjadikan pemain-pemain yang berasal dari liga nasional akan tersisih. Sementara dipihak lain timnas masih memerlukan amunisi untuk menaikkan levelnya, dan salah satunya adalah dengan mengatrolnya melalui pengadaan pemain-pemain diaspora. Ada yang lebih ekstrem yang memandang para pemain diaspora adalah iorang asing yang akan melakukan ‘penjajahan prestasi’ olah raga Indonesia.

Sekarang bagaimanakah sebenarnya kedudukan atau status daripada pemain diaspora tersebut dari sudut pandang hukum kewarganegaraan? Sejatinya para punggawa keturunan ini bukanlah orang asing, karena memang mereka memiliki darah Indonesia, baik ayah-ibu dan/atau nenek-kakeknya. Jadi tidak layak jika dikatakana mereka sebagai orang asing di tanah leluhurnya sendiri. Dan sebutan naturalisasi sendiri bagi pemain keturunan ini tidaklah pas.

Naturalisasi atau pewarganegaraan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai pemerolehan kewarganegaraan bagi penduduk asing. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan naturalisasi diperoleh setelah warga negara asing tersebut memenuhi beberapa persyaratan: (1) telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin; (2) pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut; (3) sehat jasmani dan rohani; (4) dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (5) tidak menjadi berkewarganegaraan ganda. 

Para pemain keturunan dalam Timnas Sepakbola Indonesia bukanlah orang asing, mereka adalah para keturunan dan bangsa Indonesia yang tersebar diberbagai negara seperti Suriname, Koledonia Baru, dan bahkan negara Belanda sendiri. Jadi mereka lebih tepat disebut dengan Diaspora Indonesia yaitu masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri. Dengan kata lain mereka adalah orang Indonesia perantauan adalah orang-orang dengan keturunan Indonesia yang menetap di luar Indonesia. Mereka berdarah Indonesia yang menjadi warga negara tetap di negara asing atau menetap sementara di negara asing.

Kebanyakan dari pemain keturunan yang berlaga di Timnas U-23 maupun Timnas Senior adalah diaspora Indonesia yang berada dan menetap di negeri Belanda, dan/atau negara bagian Belanda seperti Suriname. Di skuad Garuda yang membela Timnas berlaga di Timnas Senior dan Timnas U-23 saat ini ada 10 pemain keturunan Belanda-Indonesia, yakni Ragnar Oratmangoen, Thom Haye, Jay Idzes, Nathan Tjoe-A-On, Sandy Walsh, Shayne Pattynama, Justin Hubner, Ivar Jenner, Rafael Struick, Jordy Amat, dan Marc Klok. Jumlah tersebut belum dihitung dengan pemain keturunan Belanda lain yang tidak dipanggil Timnas Indonesia tetapi sudah bermain untuk Timnas sebelumnya seperti Stefano Lilipaly, Ezra Walian, dan Diego Michiels. Sedangkan Elkan Baggot adalah timnas Garuda berdarah Inggris-Indonesia.

Sementara itu jika kita bicara tentang pemain Naturalisasi bukan Diaspora Indonesia yang pernah memperkuat Timnas Garuda Cristian El Loco Gonzales (Uruguay), Alberto Goncalves/Beto (Brasil), Ilija Spasojevic (Montenegro), Victor Igbonefo (Nigeria), Greg Nwokolo (Nigeria), dan lainnya. Mereka semua semua adalah murni orang asing (WNA) yang tidak memiliki darah Indonesia karena telah memenuhi syarat, selain juga telah membawa harum nama Indonesia kemudian kepadanya diberikan pewarganegaraan Indonesia (naturaisasi). Dengan demikian jelaslah, bahwa Timnas saat ini dipenuhi oleh orang-orang asli Indonesia apakah mereka yang menetap di Indonesia dan/atau menetap di negara lain sebagai orang Indonesia perantauan atau Disapora Indonesia. Sehingga tidak ada lagi istilah Orang Asing vs Pribumi, semua adalah bangsa Indonesia. Dan istilah pribumi sendiri dahulu digunakan oleh para penjajah untuk melakukan dikotomi dan strata politik kewarganegaraan. Menurut Pasal 163 Indische Staatsregeling, penduduk Indonesia dibagi kedalam 3 (tiga) golongan besar, yaitu: Pertama, Golongan Eropa yaitu bangsa Belanda, Inggris dan lainnya. Kedua, Golongan Timur Asing yaitu Tionghoa, dan Bukan Tionghoa seperti Arab, Yaman, dan lainnya. Ketiga, Golongan Bumi Putera yaitu suku bangsa yang berdiam di kepulauan Nusantara (Indonesia). Sebagai konsekuensinya, peraturan dalam bidang catatan sipil yang berlaku bagi masing-masing golongan penduduk itu, dan hal itu merupakan upaya penjajah dalam rangka politik pemecah belah. Insyaallah