MANUSIA BERULAH, DATANGLAH MUSIBAH
Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ
“Dan apa pun musibah yang menimpamu, maka itu disebabkan oleh apa yang dilakukan tanganmu, dan Allah memaafkan kebanyakan dari kesalahanmu itu” (QS. Asy Syura [42]: 30).
Pada ayat sebelumnya (ayat 25) disebutkan, Allah memaafkan semua kesalahan manusia, dan menerima taubatnya. Sebagai kelanjutan, ayat ini menguatkan kemurahan Allah itu, sambil mengingatkan, bahwa sebagian kesalahan yang mereka lakukan itu telah mendatangkan berbagai malapetaka.
Dengan merenungi ayat ini, kita tidak akan mudah berburuk sangka kepada Allah. Misalnya, Allah tidak adil, mengapa orang yang banyak beribadah diberi malapetaka? Mengapa orang yang banyak maksiat justru diberi kesehatan dan kesejahteraan. Ayat ini mendorong kita untuk introspeksi dalam setiap kejadian.
Sangat menarik, apa yang dikatakan Hamka, bahwa ayat ini mengingatkan manusia, jika tertimpa musibah, janganlah menyalahkan orang lain, apalagi menyalahkan Allah. Ia harus introspeksi, agar menyadari kesalahannya. Kesalahan yang terbesar adalah lupa Allah, sehingga ia congkak, pamer kebaikan dan mengharap pujian, bahkan melakukan dosa. Lalu, Allah menurunkan malapetaka, agar ia kembali ke jalan yang benar. Memang benar, Nabi SAW bersabda,
إِذا أحَبَّ الله عَبْداً ابْتَلاهُ لِيَسْمَعَ تَضَرُّعَهُ
“Jika Allah mencintai seseorang, Ia akan mengujinya dengan musibah, agar Ia mendengar kesungguhan dalam doanya” (HR. Al-Baihaqy dari Abu Hurairah ra). Tapi, jangan cepat-cepat berbangga, bahwa musibah itu diberikan karena dirinya adalah hamba yang dicintai Allah. Sekali lagi, introspeksilah, sudah layakkah ia merasa demikian?
Ayat ini sejalan dengan ayat lainnya,
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nyata kesukaan di darat dan di laut disebabkan karena ulah tangan manusia, supaya Allah memberi rasa (musibah) akibat dari (sebagian) dari perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum [30]: 41).
Di samping musibah dunia, musibah akhirat pun dialami manusia akibat ulahnya selama hidup. Tangan manusia akan bercerita lengkap tentang kejahatannya selama di dunia.
ٱلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰٓ أَفْوَٰهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
“Pada hari ini, Kami tutup mulut mereka, lalu berceritalah tangan mereka kepada Kami, dan kaki mereka menjadi saksi atas apa yang mereka usahakan.” (QS. Yasin [36]: 65).
Apakah semua musibah yang terkait dengan fisik, berupa penyakit, atau bencana alam, atau kezaliman orang, dan sebagainya selalu diakibatkan dosa manusia? Tidak selalu. Hanya sebagian dosa. Menurut Syekh Muhammad bin Shalih as-Syawi, dalam kitab An Nafahatul Makkiyah, jika malapetaka ditimpakan kepada orang yang tak berdosa, maka ia diberikan Allah untuk menaikkan kemuliaannya di akhirat. Malapetaka itu berfungsi menghapus dosa dan menambah pahala atas kesabaran menghadapinya. Misalnya, para Nabi yang tak berdosa yang diberikan musibah penyakit, bahkan penyakit berat.
Andaikan semua dosa mengakibatkan musibah untuk pelakunya, maka tidak akan ada kehidupan di bumi, sebab tak ada manusia tanpa dosa. Hanya sebagian dosa yang menyebabkan musibah dunia, dan dosa-dosa lainnya diampuni Allah. Allah SWT berfirman,
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَّا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّلٰكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ
“Dan kalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya (di bumi) dari makhluk yang melata sekalipun, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang sudah ditentukan. Maka apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS An Nahl [16]: 61).
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوْا مَا تَرَكَ عَلٰى ظَهْرِهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّلٰكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِعِبَادِهٖ بَصِيْرًا ࣖ 45
“Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk yang bergerak dan bernyawa di bumi ini. Tapi, Allah menangguhkan (hukuman) mereka, sampai waktu yang sudah ditentukan. Apabila ajal mereka tiba, maka sungguh Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (QS. Fathir [35]: 45)
Dalam hal musibah penyakit, artikel yang ditulis Prof. Dr. Abdurrachman, dr., M.Kes., PA(K) tentang hubungan kesehatan dan perilaku amat menarik. Ia berpesan, “Untuk kesembuhan, pasien jangan hanya mengandalkan obat seumur hidup, tapi ia harus juga memperbaiki karakternya.” Kepala Departemen Anatomi dan Histologi FK Unair itu merujuk hasil penelitian Martin Hagger, guru besar psikologi universitas Nottingham, bahwa ada kaitan antara karakter dan penyakit seseorang (Jawa Pos, 13 Maret-2018).
Guru besar UNAIR itu menjelaskan lebih detail tentang karakter dan penyakit tersebut, bahwa orang yang berkarakter serba kurang, tidak puas, ambisius, dan mudah kecewa rentan terkena penyakit liver. Sedangkan orang yang berkarakter serba ragu, gelisah, dan tidak percaya diri, sangat rentan dengan penyakit magh dan penyakit pankreas lainnya. Jika Anda susah menerima suatu kenyataan dengan apa adanya, selalu berpikir yang seharusnya, maka Anda rentan terkena penyakit jantung. Ia melanjutkan, bahwa orang yang terkena penyakit ginjal, bisa diakibatkan karakternya yang serba takut, dan kurang berani menghadapi tantangan.
Jika Anda berharap Allah mengampuni semua dosa, dan tidak menimpakan sekecil apa pun musibah dunia dan akhirat, maka tingkatkan iman dan syukur. Jangan ada sedikit pun lintasan dalam hati merasa kurang dalam hidup ini. Sebaliknya, terimalah dengan senang dan puas apa pun takdir Allah. Allah SWT berjanji,
مَّا يَفْعَلُ ٱللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَءَامَنتُمْ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
“Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allah Maha Mengapresiasi dan Maha Mengetahui.” (QS. An Nisa’ [4]: 147).
Sumber: (1). Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 25-26, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 30-31, (2) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 12, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 168-170 (3) Jawa Pos, 13 Maret-2018, Prof. Dr. Abdurrachman, dr., M.Kes., PA(K).