LANGSUNG DAKWAH PERDANA SETELAH TIBA
(Tour Dakwah di London. Serial ke-2)
Oleh Moh. Ali Aziz
Di bandara Juanda Surabaya, saya melihat pemandangan yang amat kontras. Ratusan jamaah umroh berbaris menuju gate tujuan Singapura dengan seragam batik busana muslim. Sebagian mereka orang lanjut usia tanpa alas kaki yang berjalan dengan fisik yang tampak lemah. Di sebelah mereka rombongan turis domestik dan asing dengan pakaian yang amat seksi. Saya arahkan kembali pandangan saya ke jamaah umrah dengan bisikan hati, “Masya-Allah, luar biasa cinta muslim Indonesia kepada Nabi. Mereka mengurbankan harta, fisik, dan nyawa demi Makkah dan Madinah, tempat kelahiran dan makam Nabi SAW, juga demi ketaatan memenuhi panggilan Allah.”
Setelah hanyut dalam keharuan spiritual, saya dan istri spontan menjerit serentak, melihat sepasang lansia yang tanpa alas kaki hampir terjatuh terlentang di atas lift eskalator menuju lantai dua. Untungnya tidak sampai jatuh. Setelah sampai di lantai dua, mereka tertawa terbahak-bahak tanpa ekspresi sedih. Saya dan istri juga terbahak-bahak lebih keras sambil merangkul mereka. “Nenek-kakek. Lain kali cukup berdiri saja di eskalator. Tidak perlu melangkah menaiki tangga, dan juga mohon pakai sandal,” kata istri saya sambil memegang pundaknya. Inilah peristiwa musibah berasa hiburan pertama yang saya jumpai. Sampai di pesawat, saya tak bisa menahan tawa jika teringat kakek dan nenek yang lugu dan tetap santai itu. Ha ha.
Setelah transit 90 menit di Bandara Changi Singapura (Selasa, 21/3/2023) pada pukul 22.45 Wib, kami boarding ke pesawat menuju Bandara Heathrow (LHR), satu di antara enam bendara internasional Inggris. Bandara yang dibangun tahun 1930-an ini adalah bandara tersibuk kelima di dunia. Kami masih bisa menikmati aneka hidangan lezat selama 14 jam di pesawat, sebab ini hari-hari terkahir sebelum Ramadan. Rabu (22/3/2023) setelah subuh mendarat di Bandara Heathrow dan dijemput oleh pengurus PMIL (Pengajian Masyarakat Indonesia di London) yang semuanya pegawai KBRI Indonesia di London. PMIL adalah satu di antara puluhan organisasi pengajian masyarakat Indonesia di bawah payung besar organisasi KIBAR (Keluarga Islam Indonesia di Britania Raya) yang mengundang saya untuk safari dakwah 17 tahun silam (2005).
Di atas pesawat, tengah malam, lampu pesawat dimatikan, saya mendengar istri terisak-isak menangis. Saya kaget dan penasaran. Ia lalu menjawab lembut, “Saya amat sangat bersyukur. Tujuh anak, dan enam menantu, semuanya guyup, rukun, saling membantu, juga aktif Al Quran, shalawatan, tahlil dan seterusnya. Tinggal satu anak yang belum menikah. Semoga suaminya kelak juga seperti semua kakaknya. Setelah itu, saya ikhlas mas dipanggil Allah SWT.” Saya tak bicara apa-apa. Hanya mengucap hamdalah dan merangkulnya dengan sayang.
“Mohon maaf pak, kami terlambat,” kata ustad Jamalul Lail di bandara LHR bersama Bapak Andaru Dhaniswara, pejabat fungsi Penerangan dan Sosial Budaya KBRI sekaligus kordinator PMIL (Pengajian Muslim Indonesia di London), dan Bapak Ari Wibowo, pejabat Unit Komunikasi KBRI, sekaligus wakil kordinator PMIL. Saya memang telah menunggu mereka selama 20 menit.
“Biasanya, pengambilan bagasi dan antrean di imigrasi cukup lama. Tapi ajaib benar. Bapak jauh lebih awal,” kata pak Ari. Inilah keajaiban berikutnya setelah urusan visa dan kesehatan dalam perjalanan ke negara yang memiliki sekitar 100 pulau kecil dan 300 bahasa yang sering kita dengar dalam percakapan masyarakatnya. Saya hanya diminta Imigrasi meyakinkan bahwa wanita di sebelah saya benar-benar istri saya. Tanpa ada pertanyaan yang macam-macam. Koper dengan bau ikan asin dan presto bandeng yang menyengat hidung untuk oleh-oleh juga tak tercium anjing pelacak atau pun petugas imigrasi. Padahal, sebelumnya saya amat khawatir terkena denda atau dipaksa buang di sampah. “Mas, doa terus agar selamat di imigrasi,” pinta istri. Lalu saya bacakan doa tidur, dan istri ganti tertawa cekikikan. “Ya agar mereka tertidur dan lupa periksa kopor kita,” kelakar saya sambil mendorong kereta pengangkut dua kopor jumbo.
Setelah istirahat dua jam di Wisma Caraka, guest house milik KBRI di 42 Talbot Crescent Hendon Central NW 4, 4 HP, saya diantar ke ibu-ibu yang tergabung dalam “Pengajian Raboan,” sekitar 15 menit perjalanan. Saya sebenarnya masih lelah karena baru mendarat, tapi istri saya menyemangati, “Mas, senangkan mereka, agar hidup mas Ali berkah dan disenangkan Allah.”
Delapan ibu yang hadir pada pengajian itu membaca Al Quran secara bergilir dan saya diminta untuk koreksi dan memberi sentuhan keindahan lagunya. Saat itu tadarus Al Quran sudah sampai pada Surat Al Araf. Satu persatu mereka membacanya, mulai dari bu Elvi Ibrahim, Ibu Ana, Ibu Ratna Crabtrii, Ibu Rani (istri penyiar BBC), ibu Nana, Ibu Oma, dan ibu Yuyun (istri Bapak Adi Pratama). Beberapa kali terdengar “I am sorry,” setiap kali mereka salah baca. Saya kagum mereka sangat lancar membaca Al Quran. “Andaikan tidak tinggal di Inggris, mungkin saya tak bisa baca Al Quran,” kata ibu Nana. “Gegara covid 19, saya lebih intens mengaji, karena tidak berani keluar,” tambah peserta tertua, ibu Oma. “Sebagian dari kami dulu sopir bus dan mobil-mobil besar lainnya. Kami wanita tangguh pak,” kata mereka bangga mengenang masa muda di sela-sela mengaji.
Dalam perjalanan menuju tempat pengajian, Toriqul Hajjil Akbar, putra guru saya, Prof. Dr. Imam Ghozali Said, guru besar sastra Arab UINSA mengirim pesan. Ia yang sedang di Glasgow meminta saya menjadi narsum kajian Islam di Skotlandia. “Wou, itu empat jam penerbangan dari London pak,” kata panitia. Tentu dengan hati saya memenuhi permintaan itu jika diijinkan oleh panitia. Glasgow adalah kota terbesar di Skotlandia dan kota terbesar pula di Eropa setelah London, Paris dan Berlin. Di kota ini berdiri Universitas Glasgow, yang tercatat sebagai salah satu dari 100 universitas terbaik dunia. Ia memiliki 26.000 mahasiswa dari 120 negara. “Siap-siap saja pakai baju rangkap lima pak untuk melawan dingin,” pesan salah satu ibu peserta pengajian. Figure 3: Ibu-ibu Pengajian Raboan London.
“Aduh senang sekali, pak ustad Ali datang lagi. Beliau ini qariah lho ibu-ibu,” sapa Bu Elvi Ibrahim, tuan rumah pengajian menyambut saya di depan pintu sambil menoleh kepada ibu-ibu peserta pengajian. Saya diam saja disebut qariah (wanita pembaca Al Quran berlagu). Ketika pertama kali saya di London tahun 2005, saya memang selalu diminta ibu-ibu untuk mengajar Al Quran berlagu di sela-sela kajian Islam Hari Raboan. Saya bukan qari, tapi saya percaya diri saja mengajarkan seni baca Al Quran dengan lagu sekenanya, yang penting tidak menyalahi bacaan standar tajwid. “Dunia hanya dimiliki orang yang percaya diri, bukan orang pintar,” pesan saya setiap memulai mengajar di kelas untuk memompa keberanian mahasiswa, termasuk pada awal semester Maret 2023 ini di kampus UINSA sebelum saya berangkat ke London.
Saya benar-benar masih lelah, tapi saya paksakan mendengarkan curhat mereka. “Baik bu, saya jelaskan poin-poin penting kandungan ayat-ayat yang ibu baca ya?” kata saya menawarkan. “Setuju, tapi jangan panjang-panjang pak, sebab kami belum makan siang,” jawab mereka serentak. Dalam hati, saya juga sangat setuju, sebab masih mengantuk.
Inilah beberapa penjelasan saya tentang poin penting kandungan ayat mereka baca. Pertama, QS.7: 53 secara tersirat mengajarkan kita agar tidak sinis terhadap pelaku dosa. Apalagi melecehkannya. Bisa saja mereka suatu saat bertobat dan menjadi orang yang lebih baik dari kita. Sebab, Allah Maha murah ampunan dan kasih sayang bagi siapa pun yang berdosa dan bertobat. Kecuali bagi pelaku dosa kezaliman antar manusia. Allah tidak akan mengampuninya sebelum yang terzalimi memaafkan pelaku kezaliman. Inilah pesan yang semakin aktual pada saat manusia membangun dunia berperadaban. Inilah Islam, agama yang menghormati dan menjujung tinggi HAM, khususnya hak mendapat penghormatan martabat kemanusiaan, meskipun ia bukan muslim. Inilah nilai yang amat cocok disebarkan di negara maju seperti United Kingdom ini. “Betul pak ustad,” sahut mereka.
Kedua, QS 7: 158 berisi penegasan perbedaan misi Nabi SAW dari misi para nabi sebelumnya. Nabi-nabi sebelum beliau hanya bertugas membimbing komunitas tertentu dan pada masa tertentu, sedangkan tugas Nabi SAW adalah membimbing manusia lintas komunitas dan lintas generasi. Ia Nabi yunior yang memberi teladan untuk hormat dan meminta masukan para nabi seniornya. Antara lain kepada Nabi Musa soal kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam, dan sebagainya. Ia juga Nabi dengan tanggungjawab terberat, sebab harus bertangungjawab terhadap keimanan dan akhlak manusia sepeninggal beliau. “Amat berat tugas beliau. Allahumma shalli ala Muhammad,” kata saya sebagai penutup pengajian yang dilakukan usai shalat dzuhur berjamaah di depan meja makan full hidangan.
Ibu-ibu lalu berebut memamerkan dan menyuguhkan kepada saya masakan bawaan masing-masing, yaitu gethuk lindri, talam singkong, aneka roti, rendang, sayur asam, pepesan ikan laut, ikan asin goreng, kripik tempe, sayur dan teri, dan beberapa jenis masakan Indonesia lainnya. “Lengkap bu, tinggal satu yang kurang minuman beras kencur,” kata saya yang disambut gerrr. “Bu saya mohon dibungkuskan untuk saya makan bersama istri yang lagi jetleg di wisma. Saya juga perlu istirahat,” tambah saya. Mereka juga menjanjikan mengajak istri saya jalan-jalan setelah tarawih untuk melihat hiasan lampu di jalan utama London yang dilakukan oleh kepala daerah yang muslim khusus untuk menyambut Ramadan, peristiwa penyambutan bulan suci paling meriah sepanjang sejarah Inggris.
(London, 23-3-2023)
Bersambung.