Articles

Dr. Slamet Muliono Redjosari

Manusia merupakan makhluk kontradiktif ketika mendapat perintah dan larangan Tuhannya. Dia menolak perintah yang jelas-jelas akan mendatangkan kebaikan, dan berani menjalani larangan agama, yang pasti menuai badai keburukan. Dalam Al-Qur’an, manusia diperintahkan membagi rizki kepada budaknya, tetapi  justru enggan. Namun ketika diperintah untuk menjauhi berhala, dia justru mengorbankan hartanya dan mengeluarkan Sebagian hartanya untuk berhala. Semua itu disebabkan oleh hawa nafsu dan angan-angan palsu. Hal inilah yang membuat tatanan masyarakat menjadi kacau hingga bertebaran berbagai penyimpangan agama yang merusak aturan dan norma.

Kelebihan Rizki

Allah memberi kelebihan kepada manusia berbagai kenikmatan dan keutamaan. Kenikmatan itu berupa limpahan rizki berupa harta kekayaan. Keutamaan itu berupa kedudukan dan posisi yang tinggi. Dengan harta kekayaan dan kedudukan itu, manusia tercukupi berbagai kebutuhan hidupnya. anehnya, di tengah melimpahnya rizki dan kedudukan tinggi itu, Allah memerintahkan untuk peduli kepada budak yang menjadi tanggungannya. Hal ini disebabkan bahwa budak itu telah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung. Kontribusi itu tidak ada artinya bilamana dia memberi sesuatu kepada budaknya.

Budak itu memberi kontribusi, mulai dari mengurus rumah dan membersihkannya. Dia juga bekerja maksimal untuk melayani segala perintah dan keinginannya. Dengan kata lain, budak itu mempermudah urusan diri dan keluarganya. Namun ketika diminta menyisihkan Sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang yang banyak jasa padanya, justru enggan.

Namun yang terjadi kontradiksi, sebagaimana paparan Al-Qur’an. Firman Allah  menjelaskan bahwa manusia berkedudukan bagus dengan berbagai tingkat. Mereka yang memiliki kelebihan harta diperintahkan untuk berbagi kepada budaknya. Mereka justru menolak untuk berbagi. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَٱللَّهُ فَضَّلَ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ فِي ٱلرِّزۡقِ ۚ فَمَا ٱلَّذِينَ فُضِّلُواْ بِرَآدِّي رِزۡقِهِمۡ عَلَىٰ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَهُمۡ فِيهِ سَوَآءٌ ۚ أَفَبِنِعۡمَةِ ٱللَّهِ يَجۡحَدُونَ

Artinya:

Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah ? (QS. An-Naĥl :71)

Allah ingin menunjukkan betapa senang budak itu, dan meningkat produktivitas  beserta loyalitas pada sang majikan ketika diberi sebagian harta yang diberikan kepadanya. Kekayaannya yang melimpah, bukannya menambah rasa syukur atas anugerah itu, tetapi  manusia justru menahannya.

Kalau konteks saat ini, betapa banyak pembantu rumah tangga yang suguhan makanannya berbeda dengan apa yang dimakan majikannya. Majikannya memakan daging, ikan dan lauk yang enak serta buah-buahan dan jajanan yang istimewa. Sementara pembantunya makan sesuatu yang telah dimasaknya. Pembantu memakan lauk yang sedikt dan terbatas, seperti tahu, tempe dan ikan asin yang tidak mungkin majimkannya mau memakannya.     

Hal ini jelas sebuah penyimpangan atas perintah Tuhannya. Alih-alih menggembirakan pembantunya, majikan justru tidak peduli terhadap apa yang menjadi kebutuhan dasar pembantunya. Bahkan tidak jarang, pembantu justru mendapat cacian bila melakukan kesalahan dan tidak menerima apresiasi ketika bekerja maksimal.

Rizki Untuk Berhala

Al-Qur’an memaparkan bahwa manusia memiliki sifat yang kontradiktif. Allah memerintahkan untuk meninggalkan berhala, manusia justru mengeluarkan sebagian rizkinya untuk menjalin komunikasi hingga berkorban untuk berhalanya. Dia dengan suka rela dan senang mengeluarkan sebagian hartanya untuk mewujudkan impian palsu. Impian palsu itu berupa berharap bahwa berhala bisa memberi manfaat kepadanya.

Harapan besar kepada berhala inilah yang mensugesti dirinya untuk mengeluarkan sebagian hartanya. Dengan mengeluarkan harta untuk berhala, diharapkan kariernya bagus, nasibnya mujur, usahanya sukses, serta kehidupan rumah tangganya tenang dan tentram. Al-Qur’an mengabadikan fenomena pengorbanan untuk berhala, sebagaimana firman-Nya :

وَيَجۡعَلُونَ لِمَا لَا يَعۡلَمُونَ نَصِيبٗا مِّمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ ۗ تَٱللَّهِ لَتُسۡـَٔلُنَّ عَمَّا كُنتُمۡ تَفۡتَرُونَ

Artinya:

Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui (kekuasaannya), satu bagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka. Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu ada-adakan. (QS. An-Naĥl :56)

Oleh karena itu muncul berberapa pertanyaan menggelitik, mengapa manusia menolak untuk memberi sebagian rizkinya kepada orang yang jelas-jelas (pembantu/budak). Padahal ketika memberi kepada pembantunya, Allah menjamin kemuliaan, dan mereka yang diberi Sebagian rizkinya, akan loyal membantunya sekuat tenaga.

Tetapi ketika dilarang mempersekutukan-Nya, manusia justru lebih mengabrakan dirinya dengan berhala. Bahkan manusia, baik secara sukarela atau terpaksa, menyisihkan sebagian rizkinya kepada berhala. Di sisi lain, Allah sudah memastikan bahwa seluruh rizki makhluk telah menjadi tanggung jawaab-Nya. Allah memberi penghidupan seluruh binatang, tumbuhan dan makhluk apapun di bumi dan langit. Uniknya, manusia justru mengorbankan dirinya dengan mengeluarkan hartanya untuk kepentingan berhalanya.

Di sinilah kontradiksinya, dimana manusia menjalani larangan Alah dengan mendekatkan dirinya kepada berhala. Manusia menyisihkan kekayaannya untuk mempersembahkan dirinya kerada berhala. Padahal berhala itu tidak memberi manfaat apa pun kepada dirinya. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَمۡلِكُ لَهُمۡ رِزۡقٗا مِّنَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ شَيۡـٔٗا وَلَا يَسۡتَطِيعُونَ

Artinya:

Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rezeki kepada mereka sedikit pun dari langit dan bumi dan tidak berkuasa (sedikit jua pun). (QS. An-Naĥl :73)

Allah menunjukkan bahwa makhluk yang ada di langit dan bumi tidak memiliki kuasa atau menentukan baik buruknya manusia. Seluruh makhluk itu justru yang butuh terhadap Allah. Dengan kata lain, ketika manusia menggantungkan diri beserta nasibnya, maka Allah lah yang menanggung seluruh rizki, termaik baik-buruknya seluruh makhluk-Nya.

Surabaya, 10 Desember 2024