Articles

Di suatu sore, ketika mahasiswa sudah mulai pulang dan para dosen bergegas kembali ke rumah, saya berbincang santai dengan dua orang sahabat di gazebo fakultas. Seperti biasa, topik obrolan kami masih belum beranjak dari persoalan Pilpres yang—meski sudah usai coblosannya—tidak kunjung selesai diskusinya.

Setelah ngalor ngidur ngomongin Gibran dan bapaknya (duh, ini dosa. Ghibah!:)), seorang teman menyinggung pentingnya keteladanan dari seorang pemimpin. Keselarasan antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan. Netralitas presiden saat Pilpres menjadi contoh. Bilangnya netral, tapi di lapangan indikasi keberpihakan terhadap salah satu paslon terlihat nyata. Dia memberikan banyak contoh yang tak perlu saya tulis di sini.

“Orang itu,” kata dia, “melihat orang lain dari sikapnya. Bukan dari kata-kata verbal dan gimmick.”

Saya sepakat. Tapi di dunia politik saat ini, di mana pencitraan menjadi media utama mendulang popularitas, mencari politisi yang selaras antara perbuatan dan perkataan itu ibarat mencari anak hilang di antara pengunjung pasar malam yang berdesak-desakan. Kita perlu pengeras suara untuk menemukannya.

“Saya pikir, kita masih bisa berharap pada dunia akademik,” timpal sahabat saya yang lain. “Dunia kampus relatif masih bisa menampilkan perilaku keteladanan yang selaras, konsistensi antara ucapan dan tingkah laku.”

Serius, bro? Bukan karena kamu dosen?

“Oh, bukan. Sepakat atau tidak, dunia kampus masih menjadi salah satu cermin hadirnya keteladanan. Apalagi kampus yang mengajarkan nilai-nilai Islam. Malu dong kalau ngajarnya nilai-nilai Alquran, tapi perilakunya tidak Qur’ani.”

Saya ingin sekali menyanggah dan berkata begini: Oh, jangan salah. Tidak semua orang yang belajar tentang nilai-nilai Islam otomatis mengamalkannya. Tidak semua orang yang paham ajaran dan ajakan agama kemudian dengan senang hati melakukannya. Tidak semua orang yang menguasai ilmu bisnis mau berbisnis. Tidak semua orang yang paham teori komunikasi mampu berkomunikasi dengan baik. Tapi saya tidak katakan itu. Saya tulis di sini saja. 😊

Tentang rasa malu itu, saya sepaham. Setidaknya, ketika seseorang memiliki rasa malu, dia akan berpikir lebih hati-hati untuk melakukan hal-hal yang dianggap tidak baik dan tidak lazim. Sabda Nabi idza lam tastahi fasna’ ma syi’ta menguatkan hal itu. Tapi apa sih yang masih dianggap tidak baik dan tidak lazim saat ini?

Korupsi? Berjamaah!

Nepotisme? Lumrah!

Suap menyuap? Ah, sudahlah…

Keteladanan, sekali lagi, sambung teman saya, tidaklah populer. Tapi itu kunci. Dosen dan guru adalah sentral. Mereka harus bisa memberikan keteladanan. Uswah. Keberhasilan dosen tidak dilihat semata dari seberapa banyak dia meluluskan mahasiswa, seberapa tinggi IPK mahasiswa yang dia bimbing, tapi seberapa dalam para mahasiswa bisa mencontoh perilaku baiknya. Seberapa positif kesan mahasiswa terhadapnya saat mereka saling berinteraksi. Perilaku yang baik dari seorang dosen, di dalam atau di luar kelas, akan dikenang oleh para mahasiswa sepanjang masa.

“Sejarah tidak semata persoalan angka. Pencapaian tidak semata soal kerja. Hubungan baik antara dosen dan mahasiswa adalah investasi kenangan manis sekaligus bibit-bibit sejarah kebaikan.” Ujarnya semakin bersemangat.

“Kamu tahu Hitler?” tanya dia tiba-tiba.

Tahu, dong…

“Ingatan orang tentang dia hampir sama, kan? Jahat. Otoriter. Tangan besi. Penyiksa. Padahal, sebagai seorang pemimpin sebenarnya dia berhasil: dia berhasil menaklukkan sebagain besar Eropa, dia berhasil membangun mobil rakyat, volkwagen, dan dialah orang yang menggagas autobahn. Kamu bahkan bisa menyebut sederet keberhasilan lainnya. Tapi, kenapa masyarakat dunia mengenangnya sebagai penjahat perang?”

Karena dia hanya fokus pada capaian-capaiannya? Fokus pada impian-impiannya dan mengabaikan penderitaan orang-orang di sekitarnya? Begitu, maksudmu?

“Exactly!”

Tapi Hitler memberikan keteladanan tentang sikap optimisme, sergah saya. Tentang ambisi masa depan. Tentang sikap pantang menyerah. Itu semua diperlukan oleh generasi milenial loh. Oleh mereka yang dianggap tidak tahan banting dan mudah menyerah.

Dia menggeleng-gelengkan kepala, melambaikan tangan, lalu pergi ke kamar mandi. [Dr. Akhmad Siddiq, M.A.: Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]