Kuterpesona sekali. Pesan itu langsung masuk ke alam bawah sadar. Dalam sekali maknanya. Walaupun pesan itu diungkapkan dalam cerita pendek sekali. Diakhiri dengan pernyataan pendek pula. “Saya saja pakai sepatu Sketchers. Eh, pejabat di bawah saya malah pakainya sepatu merek Bally. Bagaimana coba? Kan nggak pantas?” Pesan itu disampaikan kepadaku saat aku didapuk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi pemateri pertama pada Pelatihan Refleksi dan Aktualisasi Integritas (PRESTASI) Batch 2 Tahun 2024 untuk pejabat eselon satu dan dua Kementerian PUPR di Balai Diklat PUPR Surabaya, Selasa (23 Juli 2024). Karena disampaikan dalam sesi tanya-jawab, semua yang berada di ruangan pelatihan itu pun pun mendengarnya. Bahkan tidak hanya peserta, tapi juga para fasilitator dan pimpinan Direktorat Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi KPK.
Dalam pelatihan itu, Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK memberiku amanah untuk menyampaikan materi bertemakan Internalisasi Integritas. Materi itu dilangsungkan dari jam 13:00 hingga 17:30 WIB di hari pertama pelatihan pasca seremoni pembukaan. Aku pun sangat senang menjalankan tugas itu. Apalagi, memberi materi tentang integritas kepada para pejabat di bidang yang sama sekali berbeda dengan yang selama ini menjadi bidang kerja profesionalku di pendidikan tinggi. Antusiasme mereka memberiku isyarat bahwa integritas adalah persoalan yang semua orang rindukan.
Lebih-lebih, aku makin tertarik untuk menggali lebih dalam tentang bagaimanakah para pejabat eselon di kementerian teknis di atas memaknai dan sekaligus menjalankan prinsip integritas. Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, melainkan lebih-lebih juga dalam pekerjaan yang harus ditunaikannya. Sebab, kuyakin, setiap pribadi diberi perangkat kemewahan oleh Yang Maha Kuasa. Namanya nurani. Karena itu, siapapun Anda dan dalam jabatan apapun yang disandang, pasti masing-masing dimodali oleh nilai hati yang sama. Juga diikat dengan prinsip kemuliaan yang serupa. Karena, nurani selalu mengandung nilai hati dan prinsip kemuliaan yang sama. Walaupun kelak ekspresinya bisa saja berbeda.
Maka, pernyataan pejabat tinggi yang kukutip di awal tulisan ini memberiku inspirasi yang kuat tentang nilai kepantasan dalam kehidupan pribadi di balik jabatan yang diemban. Betapa nilai kepantasan akan menentukan kelayakan sebuah perilaku dalam jabatan. Apalagi, karena masing-masing diberkahi kemewahan yang bernama nurani. Maka, nilai kepantasan itu akan selalu dikawal oleh nurani yang dihujamkan ke dalam diri masing-masing individu. Di sinilah, maka kepantasan begitu memainkan peranan penting dalam kelayakan hidup personal di balik jabatan yang harus ditunaikan.
Sebagai sebuah nilai, memang kepantasan tak berukuran selalu sama. Pergerakannya pun juga bisa dinamis pula. Tapi, nilai kepantasan itu akan selalu mengawasi perilaku dan tindakan yang dilakukan oleh setiap diri. Hal itu terjadi jika nilai kepantasan itu berfungsi dengan baik dalam setiap diri yang menjunjung tinggi kemuliaan. Saat nilai kepantasan itu ditanggalkan, maka tak ada lagi yang namanya batasan. Tak ada lagi ukuran. Bahkan, tak ada juga saringan (filter) yang efektif untuk mengontrol diri untuk tetap berada dalam kebajikan dan kemuliaan. Nilai kepantasan pun akhirnya ditanggalkan.
Apalagi, jika nilai kepantasan itu sudah bergerak naik ke taraf kepantasan publik (public decency). Tentu tuntutan yang digerakkan oleh nilai kepantasan itu makin besar nan kuat kepada diri pribadi. Karena ukurannya bukan lagi personal diri. Melainkan publik sebagai titik pertemuan lintas individu. Karena sudah lintas individu, maka ukuran kepantasan sudah harus disesuaikan dengan standar umum. Yakni standar yang berlaku pada gugus sosial lintas individu dan bahkan juga hubungan antar individu itu dalam kehidupan bersama.
Di sinilah maka, semua diri yang menjadi pemegang jabatan publik tak boleh pamer kekayaan dalam kehidupan sehari-hari. Tak sepatutnya umbar harta. Ini bukan soal hak atau tidak. Ini juga bukan soal selera atau tidak. Ini adalah soal batasan yang sekaligus menjadi ukuran nilai bagi ekspresi diri di balik jabatan publik yang diemban. Anda yang bukan pejabat publik saja tetap disarankan untuk tidak jauh-jauh dari lingkungan sosial sekitar dari sisi ekspresi diri dalam perilaku verbal dan nonverbal. Termasuk dalam hubungannya dengan tindak berbusana dan atau tampilan diri. Apalagi, Anda yang menjadi pejabat publik dengan posisi jabatan yang tinggi.
Mungkin sejumlah orang bisa bersilangsengkarut dalam urusan standar nilai kepantasan publik. Orang bisa saja berbeda pendapat mengenai standar nilai yang berlaku dan diberlakukan pada kepantasan publik. Tapi, perbedaan pendapat mereka tak akan bisa meninggalkan dua unsur pembentuk nilai kepantasan yang penting: standar moral (moral standards) dan diterima (accepted). Dua unsur pembentuk ini dikembangkan, diikuti dan diperjuangkan oleh sejumlah referensi. Sebut saja Collins COBUILD Dictionary sebagai contoh. Sebagai salah satu rujukan penting dalam pencarian makna dasar dalam perspektif terminologis yang sangat terkenal, Collins COBUILD Dictionary (lihat URL: https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/public-decency) menggunakan kedua unsur pembentuk tersebut sebagai batasan nilai kepantasan (decency).
Begini redaksi asli pemaknaan oleh Collins COBUILD Dictionary atas kata decency atau kepantasan dimaksud: the quality of following accepted moral standards. Kualitas mengikuti standar moral yang diterima. Jadi, kepantasan itu selalu mengaitkan tindak-perilaku seseorang dengan komitmen dan kepatuhannya terhadap standar moral yang diterima bersama. Kata “accepted” berarti ukurannya bukan pribadi-perpribadi. Melainkan sudah bergerak ke gugus sosial yang bernama masyarakat. Sebab, ukuran pribadi belum tentu diterima oleh gugus sosial itu. Standar pribadi belum tentu juga selaras dengan standar yang disepakati warga masyarakat secara kebanyakan. Karena itu, kata “accepted” menunjuk kepada tingkat kepatuhan individu terhadap norma standar warga masyarakat.
Karena wilayahnya sudah publik, maka kedua unsur pembentuk nilai kepantasan berupa standar moral (moral standards) dan kategori “diterima” (accepted) di atas juga bukan dalam batasan personal-pribadi. Melainkan sudah harus mengaitkan kedua unsur pembentuk dimaksud dengan standar publik atau ukuran keumuman. Artinya, kedua unsur pembentuk ini harus selalu hadir dalam bentuk nilai kepantasan umum di balik praktik penunaian jabatan publik yang diemban. Termasuk di antaranya dalam urusan tampilan diri. Terutama di ruang publik.
Pertanyaannya lalu, bagaimanakah mengukur nilai kepantasan publik dalam kaitannya dengan jabatan yang diemban? Pertanyaan ini penting untuk diurai lebih lanjut. Sebab, pertanyaan itu akan mengantarkan seseorang untuk memahami, menyadari, dan mempraktikkan nilai kepantasan publik itu dalam penampilan diri di ruang bersama. Dengan kemampuan untuk mengukur nilai kepantasan publik itu, seseorang bisa melakukan identifikasi atas diri sendiri dalam kehidupannya sendiri, baik di ruang privat maupun publik.
Ada dua alat ukur atas nilai kepantasan publik dalam kaitannya dengan jabatan yang diemban. Pertama, tempatkan nilai kepantasan publik dalam kerangka hubungan kerja. Secara spesifik, hubungan kerja di sini berarti jabatan dalam struktur pekerjaan profesional. Mengukur nilai kepantasan publik dalam kaitannya dengan jabatan bisa dilakukan dengan menghubungkan nilai kepantasan dimaksud dengan struktur jabatan yang ada dalam tata kerja sebuah institusi. Pertanyaan pengukurnya begini: Apakah tindak perilaku seseorang sesuai dengan status jabatan yang disandangnya atau tidak? Pertanyaan pengukur ini biasanya dihubungkan dengan struktur jabatan di atas dan di bawahnya.
Artinya, nilai kepantasan publik itu harus ditempatkan pada spektrum jabatan ke atas dan ke bawah dari posisi jabatan yang diemban. Wujudnya, pengukuran nilai kepantasan publik itu harus dilakukan dari dua posisi jabatan lain yang berbeda, bawah dan atas, secara bersamaan. Petunjuk konkretnya, dalam hubungannya dengan implementasi nilai kepantasan publik, lihatlah kondisi mereka yang berada di bawah dan sekaligus di atas posisi jabatanmu. Termasuk dalam hal yang disebut oleh Erving Goffman dengan istilah presentasi diri (the presentation of self) atau tampilan diri dalam kehidupan bersama (lihat Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, 1959).
Bukankah tampilan diri merupakan bagian tak terpisahkan dari ungkapan rasa syukur? Ingatkah kita dengan pesan nubuat soal itu? Penting diperhatikan pesan nubuat khusus yang mengajarkan agar hidup selalu berhati-hati dengan tak lupa melihat secara spesifik mereka yang posisinya berada di bawah. Mengapa ada pesan mulia seperti begitu? Ternyata ada urusannya dengan rasa syukur. Berikut pesan nubuat yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim itu:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
Begini terjemahan sederhananya: “Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian itu lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.”
Yang disebut untuk diperhatikan memang mereka yang posisinya lebih di bawah. Tapi nilai substantifnya, sejatinya, merujuk kepada ajaran tentang pentingnya bersyukur. Posisi yang lebih atas juga disebut dalam pesan di atas, tapi kepentingannya dalam rangka pembandingan dan pemberian konteks pemaknaan. Yakni, agar hidup dalam titik ekuilibrium. Titik keseimbangan. Di antara titik di bawahnya dan titik di atasnya. Menjauh dari titik bawah berarti mendekat ke titik atas. Atau bahkan melampauinya. Dan, itu rawan terhadap pelanggaran atas nilai kepantasan publik berbasis jabatan.
Inilah yang menjadi konteks dari pernyataan seorang pejabat yang kukutip di atas. Yakni, ada pejabat di bawah posisi jabatannya yang mengenakan sepatu jauh lebih mahal daripada yang dia kenakan. “Saya saja pakai sepatu Sketchers. Eh, pejabat di bawah saya malah pakainya sepatu merek Bally,” begitu pelajaran nilai kepantasan publik dalam hubungannya dengan ekspresi diri berbasis jabatan yang disampaikan seorang pejabat dari Kementerian PUPR di atas. Sungguh mulia sekali untuk menjadi pelajaran hidup. Khususnya dalam kaitannya dengan eksperimentasi nilai kepantasan publik berbasis jabatan. Dan pernyataan pejabat itu kukutip kembali di paragraf ini untuk penguatan.
Kedua, letakkan nilai kepantasan publik dalam hubungan internal-eksternal diri. Yakni, antara diri sebagai pejabat publik dan warga masyarakat sekitar. Kepantasan publik dalam kaitan ini bukan dalam konteks hubungan kerja. Melainkan dalam hubungan sosial dengan sesama. Termasuk warga sekitar. Nah, kepantasan publik dalam kaitan ini diterjemahkan ke dalam sejumlah nilai teknis, di antaranya sensitivitas dan kesantunan sosial. Pertanyaan ujinya mungkin begini: Apakah busana yang Anda kenakan, sebagai misal, itu tidak menyulut kecemburuan di lingkungan masyarakat sekitar Anda? Apakah jam tangan yang Anda gunakan tidak justru menyulut emosi warga sekitar karena berharga mahal jauh dibanding dengan kondisi hidup mereka?
Pertanyaan-pertanyaan uji kepantasan publik di atas penting diperhatikan dalam rangka menciptakan ekosistem sosial kebajikan bersama. Bukankah kebajikan itu membutuhkan ekosistem sosial yang baik juga? Kebajikan tak akan bisa tumbuh kuat jika tak tercipta ekosistem sosial yang baik untuknya. Di sinilah pentingnya sensitivitas dan kesantunan sosial dalam kehidupan bersama, seperti dijelaskan di atas. Sebab, kedua nilai sosial tersebut dengan segera akan menciptakan nilai dan praktik penting lainnya: solidaritas sosial. Nah, kebajikan bersama akan tumbuh, di antaranya, di atas tiga nilai dan praktik sosial dimaksud.
Jadi, nilai kepantasan publik erat kaitannya dengan kebutuhan bersama terhadap terciptanya ekosistem sosial kebajikan. Bahkan, kebalikannya pun juga tetap menjadi kebutuhan bersama pula. Yakni bahwa penciptaan ekosistem sosial kebajikan bisa mendorong percepatan penguatan nilai dan praktik kepantasan publik pada diri setiap individu. Lebih-lebih pada mereka yang memangku jabatan publik. Karena itu, sejatinya integritas diri diawali dari kesadaran atas nilai dan praktik kepantasan publik pada kehidupan nyata berbasis jabatan dan sekaligus dalam kaitannya dengan kehidupan bersama di tengah-tengah masyarakat sekitar.
Akhirnya, integritas adalah soal keluhuran diri. Bukan soal kecerdasan intelektual. Maka, bukan gelar yang jadi patokan. Juga bukan kepintaran yang menjadi rujukan. Justru, yang menjadi ukuran dari integritas adalah kepantasan. Ya, nilai kepantasan publik. Bukan kepantasan personal. Seseorang bisa saja bangga dengan tampilan dirinya karena merasa fashionable dari sisi tindak berbusana dengan beragam brand elit-terkenal, bahkan internasional sekalipun, yang menempel pada ornamen diri. Tapi, kepantasan publik akan menilai apakah dalam relasinya dengan jabatan yang diemban, termasuk dalam hubungannya dengan struktur yang di atas dan di bawahnya, menunjukkan nilai kepatuhan pada komitmen kepantasan publik dimaksud. Di situlah integritas diri seseorang diuji dan ditakar.