Column
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar/Ketua Senat UINSA Surabaya

فَسَقٰى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلّٰىٓ اِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ اِنِّيْ لِمَآ اَنْزَلْتَ اِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ

“Maka, dia (Musa) memberi minum (ternak) dua perempuan itu. Lalu, ia berpindah ke tempat yang teduh, seraya berdoa, “Wahai Tuhanku, sungguh aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. Al Qashash [28]: 24)

Ayat ini berisi doa Musa dalam satu rangkaian kisahnya sebelum diangkat sebagai nabi, yang dijelaskan dalam QS. Al Qashash: 20-28. Musa adalah anak muda yang amat kuat. Ia pernah melerai dua orang yang bertengkar. Lalu, tanpa sengaja, pukulan ringannya mengena salah satu dari mereka dan mati seketika. Dan, orang yang mati itu adalah orang dekat istana. Salah satu dari orang istana yang setia kepada Musa membocorkan rahasia tentang rencana pembunuhan Fir’aun, dan memintanya agar segera keluar dari Mesir. Ia berlari dengan ketakutan, tanpa bekal dan tanpa istirahat sedikit pun, sambil menoleh ke kanan dan kiri, sambil berdoa,

رَبِّ نَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

“Wahai Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim”

Fir’aun sejak awal ingin membunuh Musa, sebab Musa diyakini akan meruntuhkan kekuasaannya, sebagaimana dikatakan peramal. Sampailah pelarian Musa di Madyan, negeri di dekat Laut Merah, sebelah tenggara Gurun Sinai, dan sebelah utara negeri Hijaz. Sebenarnya, Madyan adalah nama putra Ibrahim a.s dari istri ketiga, lalu keturunannya berkembang di wilayah itu. 

Di Madyan, Musa menjumpai dua gadis yang kambingnya kehausan. Dua gadis itu tak berani membawa kambingnya ke dekat mata air, sebab di sana penuh lelaki yang mengambil air untuk ternaknya. Dua gadis itu memilih menyendiri sampai antrean itu habis. Musa tak tega melihat kambing yang menjilat-jilat air yang tercecer di jalan. Para pengembala lelaki itu bahkan tega menutup mata air dengan batu besar agar dua gadis itu tak dapat mengambil air. Musa a.s mengangkat batu besar itu, yang biasanya hanya kuat diangkat 10 orang. Lalu, ia mengambilkan air untuk kambing milik dua gadis tersebut. “Kemana ayah kalian,?” tanya Musa. “Ayahku sudah amat tua. Tak bisa lagi mengembala kambing,” jawab mereka yang tak punya saudara laki-laki itu.   

Musa yang lelah dan lapar kemudian berteduh di bawah pohon, sambil mengangkat tangan untuk berdoa. Tapi, ia batalkan doanya, karena suara hatinya mengatakan, “Pantaskah aku berdoa untuk urusan seremeh ini?” Maka, ia berdoa dengan bahasa yang sangat indah, yang mencerminkan tawaduknya,

رَبِّ اِنِّيْ لِمَآ اَنْزَلْتَ اِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ

“Wahai Tuhanku, sungguh aku sangat membutuhkan sesuatu yang baik yang Engkau turunkan.” (QS. Al Qashash [28]: 24)

Doa Musa ini mengandung makna yang dalam. Redaksi doanya juga dalam bentuk kalimat lampau (madhi) untuk menunjukkan rasa syukur yang mendalam, sekaligus sebuah ketawadukan dan optimisme. Ia berdoa dengan pernyataan yang bersifat afirmatif, tidak menyatakan sebuah permintaan secara langsung. Doa jenis inilah yang diucapkaan Nabi Ayyub, a.s ketika sakit,

اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ ۚ

“Wahai Tuhanku, sungguh aku telah ditimpa penyakit, dan (saya yakin) Engkau Tuhan Yang Paling Penyayang dari semua penyayang.” (QS. Al Anbiyak [21]: 83)

  Ketika sampai di rumah, gadis itu bercerita kepada ayahnya yang sudah sangat tua tentang akhlak pemuda yang “qawiyun amiin,” atau perkasa dan  terpercaya itu. Sang ayah lalu memintanya untuk mengajak Musa ke rumahnya, agar ia bisa mengucapkan terima kasih secara langsung.

Gadis itu berjalan pulang bersama Musa dengan sangat malu (istihya’), tak berani menatap wajah Musa. Ia berjalan di belakang si gadis, sebab ia tidak tahu arah ke rumahnya. Setelah beberapa langkah, Musa berkata, “Wahai saudariku, bisakah engkau berjalan di belakangku? Jika aku harus belok ke kanan atau ke kiri, lemparkan kerikil ke arah yang engkau kehendaki.” Musa a.s benar-benar berusaha sekuat tenaga menjaga pandangan matanya ke arah gadis pemalu itu.

Mengapa Musa disebut qawiyyin amin (perkasa dan terpercaya? Bukan semata-amata karena kekutannya mengangkat batu besar sendirian, atau karena pukulan ringannya yang mematikan orang. Bukan juga karena kuatnya berlari ratusan kilometer dari Mesir ke Madyan tanpa istirahat. Sama sekali bukan hanya karena itu, melainkan karena kekuatan imannya. Ia tidak menyerah, meskipun harus menghadapi tantangan yang berat. Ia kuat menahan diri dari meminta-minta, meskipun kelaparan. Ia kuat melawan egonya, dan siap menolong orang lain, meskipun ia sendiri dalam keadaan terjepit. Dia juga kuat menahan hawa nafsunya untuk memandang gadis itu, apalagi mengeksploitasinya untuk kepentingan nafsunya, walaupun bisa saja dia lakukan, sebab gadis itu telah berhutang budi kepadanya.

Ayah si gadis terpikat dengan akhlak Musa. Ia meminta Musa untuk bekerja sebagai pengembala kambing, dan Musa menerimanya, sebab berarti ia punya sumber penghasilan, mandiri, juga sambil menunggu waktu yang aman untuk kembali ke Mesir. Ayah si gadis juga senang, sebab ia bisa meneliti lebih jauh akhlak Musa. Sama sekali, bukan untuk mengeksploitasi Musa yang sedang dalam kesulitan. Ia meyakinkan Musa,

وَمَآ اُرِيْدُ اَنْ اَشُقَّ عَلَيْكَۗ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

“Aku tidak bermaksud memberatkanmu. Insya-Allah engkau akan mengetahui aku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. Al Qashash [28]: 27)

Musa meminta ijin sang mertua untuk membawa istrinya kembali ke Mesir. Dalam perjalanan kembali ke Mesir itulah, Musa mendapat risalah kenabian untuk berdakwah kepada Bani Israil, sekaligus berhadapan dengan penguasa Mesir, yaitu Fir’an, yang tidak lain adalah bapak angkatnya sendiri.  

Dari kisah Musa ini, kita dapat mengambil beberapa pelajaran. Pertama, sekuat dan sehebat apapun, manusia memiliki kelemahan. Musa yang perkasa bisa lelah dan lapar, punya rasa takut, serta tak bisa bicara dengan jelas. Kedua, tawaduklah terhadap Allah, termasuk dalam menyusun redaksi doa. Karena ketawadukan itulah, Musa mendapat anugerah lebih dari yang diinginkan.

Ketiga, didiklah putri kita menjadi wanita salehah, yang bisa menjaga kehormatan dirinya, serta siap bekerja demi kebutuhab orang tua yang sudah uzur. Kisah ini menunjukkan diperbolehkannya wanita bekerja di luar rumah, asalkan bisa menjaga iman dan akhlaknya. Bahkan wanita wajib bekerja, jika keluarga dalam keadaan darurat.

Keempat, jadilah muslim yang qawiyyun amin, tidak hanya kuat fisik tapi juga kuat integritasnya, seperti yang ditunjukkan Musa dan Yusuf a.s (QS. Yusuf [12]: 54). Kelima, orang tua sebaiknya pro-aktif, tidak pasif menunggu takdir, mencarikan jodoh putrinya dengan pertimbangan iman, bukan kekayaan, ketampanan, dan kebangsawanan. Itulah juga yang dilakukan Umar bin Khattab ketika menawarkan putrinya, Hafshah kepada Abu Bakar, Usman bin Affan, dan terakhir kepada Nabi SAW. Abu Bakar dan Usman menolak, dan hanya Nabi yang menerimanya.

          Referensi: (1) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 20, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 65-75, (2) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol.9, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 571-584, (3) Abdullah bin Muhammad As Saleh Al Mu’taz, Musa Ibnu Imran Alaihissalam  (Pelajaran Hidup dari Kisah-kisah Musa, a.s) terj. Muhammad Misbah, penerbit Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2022, cet.1, p. 40-57.  (4) Hamid Ahmad At-Thahir, Shahihu Qashashil Qur’an (Kisah-kisah dalam Al Qur’an) terj. Umar Mujtahid, penerbit Ummul Qura, Jakarta Timur, 2017, cet.1, p 538-552. (5) Syekh Muhammad Ahmad Jadul Maula,dkk, Great Stories of The Qur’an (Cerita-cerita Penuh Inspirasi dari Kitab Suci) judul asli, Qashash al-Qur’an, terj. Abdurrahman Assegaf, penerbit Zaman, Jakarta, 2015, cet.1, p. 220-225.