وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Demikian Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasatha (umat pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitul Maqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul, dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh (perubahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia” (QS. Al Baqarah [2]: 143).
Ayat ini lanjutan dari ayat sebelumnya yang berisi protes beberapa orang tentang perubahan kiblat dari Baitul Maqdis di Palestina ke Baitullah Ka’bah di Makkah. Sebagai kelanjutan, ayat ini menjelaskan, perubahan kiblat itu untuk menguji sejauhmana ketaatan orang-orang Islam terhadap Nabi SAW. Ayat ini juga menjelaskan Islam wasatha atau wasathiyah yaitu beragama Islam secara moderat, mengedepankan jalan tengah, tidak ekstrim kanan atau kiri. Uniknya, ayat 143 ini berada di tengah Surat al-Baqarah yang berisi 286 ayat.
Ada beberapa pengertian ummatan wasatha dalam ayat ini, yaitu (1) moderat, adil, lurus, teladan, berada di tengah semua faham dan keyakinan, seperti posisi ka’bah di tengah bumi, sehingga bisa melihat dan dilihat dari berbagai penjuru, seperti wasit sepakbola yang adil di tengah lapangan. Ia bisa melihat semua sisi, tidak fokus kepada satu sudut lapangan, (2) pertengahan dalam memandang antara dunia dan akhirat, antara iman dan amal, antara material dan spiritual, antara kepentingan pribadi dan sosial, dan sebagainya.
Ketika Nabi SAW diutus, telah dua agama besar, yaitu Yahudi dan Nasrani yang memiliki penekanan ajaran yang berbeda. Yahudi menekankan pentingnya harta dan penguasaan dunia. Bahkan, dengan kekayaan itu, mereka yakin, jika masuk neraka, maka hanya sebentar belaka. Sampai sekarang, penganut Yahudi berusaha menguasai ekonomi dunia, dengan cara riba sekalipun. Sedangkan Nasrani berfokus kepada akhirat. Mereka mendirikan biara untuk bertapa dan melarang pendeta untuk kawin, serta mustahil bagi orang kaya untuk masuk surga, seperti mustahilnya unta memasuki lubang jarum. Pada masa itu juga, terjadi faham yang paradoks. Bangsa Yunani berfokus pada pikiran atau filasafat, sedangkan orang India dan Persia berfokus kepada kebersihan jiwa. Kenikmatan jasmani dipandang sebagai penghalang kebersihan jiwa.
Pada saat itulah, Islam datang di tanah Arab membawa ajaran jalan tengah atau moderat antara kepentingan material dan spiritual, antara jiwa dan raga, antara kerja keras mencari harta dan membagikan sebagiannya untuk fakir miskin, antara otak dan hati, antara kehidupan pribadi dan sosial, dan antara urusan hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minan nas (hubungan sesama manusia). Lawan dari Islam wasathiyah adalah Islam radikal yang memandang segala sesuatu secara hitam putih, sehingga mudah mengafirkan sesama muslim yang tidak sejalan dengannya, lalu menghalalkan darahnya, juga memandang orang yang tidak seagama sebagai musuh selamanya. Islam wasathiyah tetap berpegang pada keimanan yang kokoh dan syariat yang benar, tapi toleran terhadap perbedaan. Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan, muslim terbaik adalah muslim BTL yaitu (1) bersih imannya dari kepercayaan selain Allah, (2) tegas dalam mempertahankan keimanan, dan (3) toleran dalam pergaulan dengan sesama muslim dan non-muslim.
Melihat fenomena semakin merebaknya faham Islam radikal, ulama dan cendekiawan muslim sedunia melakukan KTT (Konsultasi Tingkat Tinggi) di Bogor tahun 2018. Pertemuan itu menghasilkan Bogor Massage yang berisi pesan-pesan penting untuk membangun dunia yang mengedepankan cinta, harmoni, persatuan, kesetaraan dan perdamaian melalui Islam wasathiyah. KTT itu juga menunjuk Indonesia sebagai Fulcrum of Wasathiyah Islam (Poros Islam Moderat). Mereka merumuskan 7 (tujuh) nilai utama Islam wasathiyah, yaitu (1) tawassuth (seimbang antara nilai-nilai spiritual dan material) (2) i’tidal (bersikap proporsional dan penuh tanggungjawab) (3) tasamuh (toleran terhadap orang yang berbeda etnis, agama dan faham keagamaan), (4) syura (bermusyawarah dalam semua tindakan) (5) ishlah (berupaya mencari nilai yang lebih baik) (6) qudwah (memiliki akhlak yang patut diteladani), dan (7) muwathanah (mengakui eksistensi negaranya sendiri dan negara lain).
Radikalisme bisa berarti berpikir untuk menemukan sesuatu atau menyelesaikan masalah secara mendasar sampai ke akar-akarnya. Inilah redikalisme yang positif. Radikalisme juga berarti sebuah tindakan melawan hukum untuk sebuah sistem sosial atau politik dengan kekerasan atau secara radikal, bukan gradual. Inilah radikalisme yang negatif menuju tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Islam wasathiyah mengutuk sikap beragama semaunya sendiri berdasar nafsu. Misalnya, demi cinta dan kekaguman pada kesucian Nabi Isa, lalu menganggapnya sebagai Tuhan, bukan sebagai manusia (QS. An Nisa’ [4]: 171). Atau beribadah berlebihan seperti dilakukan sejumlah sahabat yang berpuasa setiap hari dan shalat sepanjang malam. Bahkan, mereka bersumpah akan memotong kemaluannya agar tidak bersyahwat kepada lain jenis selamanya. Atau berlebihan dalam mencintai agama, lalu memandang buruk semua orang yang tidak agama atau tidak sealiran, bahkan bersikap acuh dan menjauhi mereka. Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain membangun harmoni dunia selain berpegang pada Islam wasathiyah.
Sumber: (1) Antara, Kantor Berita Indonesia, 3-5-2018, (2) Imam Habib Abdullah Al Haddad, Kitab An Nashaihud Diniyah, p. 43-44, (3) Muhammad bin Allan As Shiddiqy, Dalilul Falihin Juz I, p. 281; An Nawawi, Riyadlus Shalihin I: 145, (4) Hamka, Tafsir Al Azhar Juz 2 p. 5-7, (5) M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah vol. 1, p. 414-417