Untuk Deep Talk dan Pembelajaran Berdampak

Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Pagi itu, aku kaget sekali. Saat menonton sebuah video di TikTok. Kala itu, aku baru saja menyelesaikan lari pagi. Seperti hari-hari biasanya. Tapi, karena pagi itu di Hari Minggu (9 Februari 2025), aku pun punya waktu leluasa untuk bersantai di rumah. Begitu usai lari pagi, kucoba mengeringkan keringat. Sambil bikin kopi pahit. Di dapur belakang rumah. Untuk dinikmati seusai lari pagi itu. Sambil menunggu kopi mulai mendingin usai dimasak, kubuka HP-ku. Kugeser-geser layarnya. Kepentingannya untuk menikmati video-video pendek yang berseliweran di aplikasi TikTok.
Sampailah aku pada sebuah video yang bikin kuterkaget. Isinya tentang anak kecil banget. Namun dia sangat centil, pintar nan cerdas. Tapi bukan kecentilannya yang membuatku terpesona. Maklum saja karena dia memang baru menginjak usia 5 tahun. Tapi, justru kepintaran dan atau kecerdasan yang dimiliki dalam usia sedini itu yang membuatku tertarik. Ya, aku terpesona lebih jauh untuk mempelajari pribadi sang anak imut itu. Tentu beserta sejarah hidup yang dialaminya. Sebab, untuk ukuran anak kecil seusia itu, kepintaran dan kecerdasannya itu yang nggemesin.
Namanya, Arra. Ya, itu nama panggilan popularnya. Di video TikTok itu (lihat: https://vt.tiktok.com/ZSMJV54va/), dia tampil bersama ayah dan ibunya. Dalam video yang berisikan wawancara santai itu, Arra sedang ditanya sejumlah hal oleh dua presenter muda nan terkenal. Yakni, Raffi Ahmad dan Irfan Hakim. Dalam video itu, wawancara diawali dengan sejumlah pembicaraan ringan sekali. Video itu sebetulnya adalah unggahan ulang dari tayangan sebuah acara bertajuk FYP (For Your Page). Milik kanal televisi Trans7. Dan dalam wawancara itu, Arra menjawab pertanyaan-pertanyaan awal dengan lancar, baik dan semua isinya berbobot.
Hanya, usai mendapat sejumlah pertanyaan dari dua presenter itu, Arra bertanya balik. Begini cara dia bertanya balik itu: “Om, Om! Boleh nggak Arra gantian nanya?” Lalu, Raffi Ahmad dan Irfan Hakim pun langsung meresponnya. Sesuai isi pertanyaan Arra. Satu-persatu. Akhirnya, alur tanya-jawab seperti ini membuat wawancara berbalik. Bukan dari Raffi Ahmad dan Irfan Hakim ke Arra yang masih sangat kecil dan imut-imut itu. Melainkan sebaliknya “Om, Om! Om punya anak cowok, nggak?” ujarnya kepada dua presenter, Raffi Ahmad dan Irfan Hakim, itu. Pertanyaan ini tentu nggemesin sekali. Dua presenter kenamaan ini pun lalu terperangah. Tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang demikian dari si anak imut seperti itu.
Melihat Arra yang pintar dan nggemesin itu, aku pun makin tertarik pada anak ini. Makin terlecut untuk mencari banyak informasi lagi soal si anak imut ini. Di antaranya kutemukan sejumlah unggahan video tentangnya di kanal YouTube (seperti: https://www.youtube.com/watch?v=JPMmyhn6vhM). Pencarian itu kulakukan walaupun sejatinya sudah beberapa saat sebelumnya kudengar nama Arra itu. Dari orang-orang sekelilingku. Tapi, entahlah, sebuah video di TikTok hasil unggahan ulang dari acara FYP di Trans7 itu membuatku jenak menyimak. “Hebat sekali anak kecil ini!” bisikku dalam hati. Bagaimana tidak? Bicaranya sangat lancar. Pikirannya mengalir. Untaian kata dan kalimatnya sangat menawan. Untuk anak seusianya. Ya, baru 5 tahun umurnya. “Ah! Rasanya sangat sayang dilewatkan begitu saja,” begitu pikirku kala itu. Lalu kucobalah menulis tentangnya dalam catatan ringan ini.
Dan, usai menyimak seluruh isi dialog dan wawancara di video TikTok itu, aku pun lalu mengambil simpulan: pikiran dan cara bicara anak ini melampaui usianya. Aku pun terpesona dengannya. Dan yang ingin kutelaah lebih jauh, bagaimana dia sampai pada situasi dan kepintaran diri seperti itu. Apa yang juga telah dilakukan orang tuanya padanya. Hingga dia memiliki kecakapan hebat seperti itu. Sebab, ku yakin, tak mungkin semua itu tiba-tiba. Tak mungkin Arra sekonyomg-konyong muncul dengan kecakapan hebat untuk anak seusianya. Pasti ada proses yang melatarbelakanginya. Dan, proses ini yang bagiku sangat menarik untuk ditelaah.
Karena itu, berangkat dari video di TikTok atas hasil wawancara dan dialog antara dua presenter acara FYP di Trans7 dan si anak imut di atas, aku pun lalu melacak lebih jauh tentang siapa Arra si anak imut itu dan bagaimana kesehariannya bersama ayah-ibunya. Ku uliklah semua informasi soal itu. Lalu, ketemulah dengan akun TikTok @BabaBubuArra. Di akun tersebut, terdapat banyak unggahan mengenai keseharian Arra bersama ayah dan ibunya. Ada momen saat dia dilatih bernyanyi oleh ayahnya. Ada kesempatan saat dia harus berekspresi dan merespon sejumlah dialog dengan orang tuanya. Dan masih banyak lagi. Semua unggahan di akun @BabaBubuArra itu semakin melengkapi video unggahan ulang acara FYP di Trans7 ke dalam bentuk video TikTok di atas.

Lalu, bagaimana orang tuanya mengajari Arra hingga Arra menjadi balita pintar seperti itu? Ibunda Arra pun menjelaskan. Perempuan yang bernama lengkap Mega Vallentina itu selalu menanamkan pemahaman kepada anaknya bukan dengan bahasa anak bayi atau balita sebagaimana pada umumnya. Alih-alih, dia ajari Arra layaknya orang dewasa tetapi dengan bahasa yang mudah dipahami. “Kita tuh komunikasinya tidak dengan bahasa bayi supaya dia tuh lebih bisa mencerna omongan yang ada di sekitarnya. Karena kalau anak misalkan biasa ngomong pakai Bahasa Indonesia, pas dengar kata Bahasa Inggris dia nggak notice. Begitu pula kebalikannya.”
Mendekatkan pendengaran anak kepada ungkapan bahasa yang natural adalah strategi lanjutan yang dilakukan oleh sang Baba dan Bubu kepada Arra. “Nah menurut kita, ketika anak dikasih omongnya bahasa bayi, kan orang-orang ngobrolnya pakai bahasa biasa nih. Jadi dia nggak akan ngeh informasi apa yang ada di sekitar.” Begitu penjelasan sang Bubu. Lebih lanjut, sang Bubu menguraikan argumennya seperti berikut: “Karena dia pakai bahasanya bahasa sehari-hari yang sesuai dengan orang besar kalau ngobrol, jadi dia bisa menyerap apapun informasi yang ada di sekitar.”
Tak hanya Bubu, panggilan sayang Arra kepada sang ibu, yang menanamkan pengaruh baik nan besar kepadanya. Juga ada peran penting sang ayah yang oleh Arra diberi panggilan Baba. Sang Baba juga kerap mengajak Arra terlibat dalam pembicaraan dan atau perbincangan secara mendalam ini. Sang Baba menyediakan diri sebagai media untuk mengobrol dengan Arra. Berbicara santai, bahkan untuk urusan publik yang serius, bersamanya. Setiap poin dibicarakan secara mendalam. “Dia distimulus sama Baba, [juga] sama Bubu,” jelas sang Bubu atas peran suaminya pada perkembangan diri Arra. Apalagi, sang Baba memiliki banyak pengalaman dalam memberikan pelatihan kepada orang lain, seperti yang dia bilang sendiri berikut ini: “Aku juga biasa meng-coaching orang.”
Apa yang belakangan dikenal dengan konsep deep talk dibelajarkan kepada Arra. Oleh sang Bubu dan Baba, Arra selalu diajak untuk selalu terlibat dengan perbincangan mendalam. Secara perdefinisi, pembicaraan mendalam di sini menunjuk tak hanya kepada sekadar pembicaraan asal tahu. Tapi pembicaraan yang juga mengundang Arra untuk selalu ingin tahu lebih jauh atas apa yang terjadi atau dilihat atau didengar di sekelilingnya. Dan, sang Bubu dan Baba terlibat langsung untuk merangsang Arra agar terus memelihara rasa ingin tahu lebih jauh yang ada pada dirinya atas apa yang terjadi atau dilihat atau didengar itu.
Arra merekam tidak hanya isi dari materi perbincangan mendalamnya dengan Bubu dan Babanya. Tapi juga cara bagaimana Bubu dan Babanya mengungkapkan isi materi sebuah isu perbincangan. Arra tampak merekam kuat isi materi dan cara mengungkapkannya kepada orang lain dengan sangat baik sekali. Sebab, orang tuanya selalu melakukan proses simplifikasi. Yakni, memproses sebuah materi informasi dan menyampaikan kembali dengan bahasa dan cara yang mudah dicerna. Penjelasan Sang Baba berikut sangat ilustratif: “Semua pertanyaan dia kita serap dulu lalu kita simplify, baru dibalikin lagi pertanyaannya. Jadi dia paham secara nalar.”
Sebagai hasilnya, Arra pun mampu menyimpan isi materi dan sekaligus cara mengungkapkannya kembali ke dalam memori dirinya. Dengan begitu, dia tak hanya belajar tentang sebuah materi hidup kepada Bubu dan Babanya. Melainkan juga belajar tentang kecakapan berkomunikasi kepada sesamanya. Dan semua itu dia lakukan dengan sangat baik sekali. Dengan begitu, dia memiliki kecakapan yang tinggi untuk bisa berkomunikasi dengan orang-orang di sekelilingnya. Karena di sana tak ada celah antara bahasa yang dia miliki dan bahasa yang diungkapkan orang dewasa atau sesamanya.
Karena itu, jika didapati kondisi kecakapan Arra seperti yang bisa kita saksikan saat ini, tentu itu tidaklah mengejutkan. Bahkan, sama sekali tidak mengejutkan. Kita bisa melihat dan merefleksikan proses pembelajaran dan pendampingan yang dilakukan oleh sang Bubu dan Baba pada perkembangan hidup Arra. Dari situ, kita akan bisa segera paham bahwa kondisi yang kini ada pada diri Arra melalui kecakapan diri yang dipertontonkan hingga melebihi ukuran anak seusianya adalah hasil dari proses intervensi pembelajaran dan pendampingan riil yang dilakukan secara berkesinambungan oleh kedua orang tuanya. Dan memang begitulah seharusnya yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya.
Lalu, apa hasil deep talk pada diri Arra? Arra tumbuh sebagai anak kecil yang kecakapan berbicara dan menyampaikan gagasan atau pikirannya melampaui anak seusianya. Seperti diuraikan sebelumnya di tulisan ini, konsep “se-value” untuk menggambarkan pentingnya sebuah pasangan orang dewasa untuk memiliki nilai hidup yang sama, sebagai contoh, dia bicarakan dan sampaikan dengan baik. Disampaikannya kepada orang dewasa pula. Yang mungkin merasakan praktik hidup tapi bisa jadi tak sampai kepada konsep atau ungkapan itu. Tentu Arra menyampaikan konsep “se-value” dengan ungkapan dan bahasa ringan khas anak kecil. Tapi, ungkapan itu menggambarkan ukuran yang melampaui standar anak kecil seusianya.
Contoh lain yang juga patut dikutip untuk mengilustrasikan kecakapan Arra yang melampaui ukuran anak seusianya adalah pengungkapan konsep inflasi. Dalam sebuah video di TikTok hasil unggahan ulang dari acara FYP di Trans7, seperti disebut di atas, Arra menjawab pertanyaan soal inflasi dengan jawaban yang menawan. Konkret. Terukur. Dan gampang dipahami oleh orang kebanyakan. “Apa tuh inflasi?” tanya sang Baba kepada Arra saat diminta Irfan Hakim untuk membuktikan contoh komunikasi efektif. “Inflasi itu harga uangnya turun,” begitu jawaban Arra. Anak seusia 5 tahun sudah mampu menjawab pertanyaan yang menjadi konsumsi mahasiswa Fakultas Ekonomi.
Tak hanya contoh itu yang bisa menjelaskan bahwa kecakapan Arra melampaui ukuran anak seusianya. Ada contoh lain yang menarik untuk dikutip. Saat ditanya tentang cita-cita dan kerja profesional yang dia ingin cita-citakan, di menjawab begini: “Cita-cita saya masuk surga dengan bekerja sebagai dokter agar bisa membantu banyak orang.” Dari jawaban ini, kita bisa urai pikiran Arra itu. Cita-cita panjangnya adalah ingin masuk surga. Caranya? Dengan kerja sebagai dokter profesional. Tentu dengan menjadi dokter profesional ini, dia berharap bisa memberi manfaat kepada orang banyak.
Proses yang terjadi pada diri Arra beserta hasil yang didapatnya di atas itulah yang disebut dengan pembelajaran berdampak. Prosesnya dilakukan dengan prinsip engaging. Yakni melibatkan Arra sebagai peserta didik ke dalam sebuah proses secara baik. Caranya dengan selalu mengajak Arra terlibat secara mendalam ke dalam proses pembelajaran itu melalui praktik inquiry secara memadai. Yakni, praktik yang mendorong rasa ingin tahu yang mendalam. Lalu rasa ingin tahu itu diwujudkan dalam bentuk pertanyaan dan sekaligus pembahasannya yang memadai dan berkesinambungan. Hingga rasa ingin tahu itu terealisasi ke dalam bentuk kecakapan pemahaman dan penguasaan kognitif yang baik atas sebuah materi pembicaraan.
Jadi, belajar dari kasus Arra, kita bisa melihat hubungan yang sangat erat antara tiga komponen penting dalam pembelajaran. Yakni, prinsip engaging, inquiry, dan kecakapan kognitif. Saat proses transfer informasi dan atau pengetahuan dilakukan dengan cara yang melibatkan secara kuat pikiran dan perasaan peserta didik ke dalamnya, maka peserta didik akan memiliki ruang yang sangat memadai untuk menumbuhkan prinsip dan praktik inquiry yang ada pada dirinya. Bentuknya adalah rasa ingin tahu yang besar atas sesuatu. Dan rasa ingin tahu itu kemudian mendorongnya untuk mencari tahu lebih jauh informasi mengenai sesuatu yang sedang menjadi perhatiannya. Saat prinsip engaging bertemu secara efektif dengan ekspresi praktik inquiry, hasilnya adalah kecakapan pemahaman dan penguasaan kognitif yang sangat baik.
Bahkan, hasil yang akan muncul pada diri peserta didik tak hanya berhenti pada kecakapan kognitif semata. Melainkan bisa lebih dari itu. Yakni memunculkan kecakapan sosial yang memadai. Itu semua sangat mungkin terjadi saat prinsip engaging bertemu secara efektif dengan ekspresi inquiry dalam praktik pembelajaran keseharian hidup yang kondusif. Dan ini menjelaskan bahwa praktik keseharian hidup tak boleh dianggap enteng dalam proses pembelajaran. Dalam kasus Arra, praktik keseharian hidup itu didapatkan dari pembelajaran dan pendampingan yang dilakukan secara baik oleh Bubu dan Babanya.
Arra memang seorang anak kecil. Baru 5 tahun pula usianya. Tapi kecakapan kognitif sosialnya bikin kita semua terperangah. Simaklah, seperti diuraikan di atas, bagaimana dia menjelaskan konsep-konsep sulit seperti “se-value” (untuk konteks pencarian pasangan) dan inflasi (untuk konteks keuangan). Keren sekali. Sekecil itu. Secakap itu. Sepinter itu. Tentu kecakapan dan kepinterannya diakui banyak orang telah melampaui ukuran anak-anak seusianya. Diundangnya dia bersama sang Bubu dan Baba ke banyak even telah menandai pengakuan publik atas kecakapan dan kepinterannya itu.
Prestasi diri seorang perempuan kecil bernama Arra itu menandai pentingnya deep talk. Hingga dampaknya pun terasa konkret. Maka, yang harus menjadi pelajaran adalah pentingnya mengembangkan konsep dan praktik pembelajaran berdampak sebagai tindak lanjut dari deep talk. Kalau untuk kepentingan pedagogi, simplifikasi adalah strategi kunci, maka untuk kepentingan pendidikan andragogi, simplifikasi itu harus didampingi dan disempurnakan dengan prinsip dan praktik problematisasi. Simplifikasi membuat yang sulit jadi mudah. Problematisasi tak hanya melihat sesuatu dari yang tampak di permukaan, melainkan juga menyibak yang di bawah permukaan. Dengan begitu, akselerasi pengembangan keilmuan bisa dilakukan dengan seefektif mungkin.
Sudah barang tentu, bagi penyelenggara pendidikan tinggi secara spesifik, penting untuk terlebih dulu mengembangkan konsep kurikulum berdampak sebagai terjemahan langsung dari konsep kurikulum OBE (outcome-based education). Lalu sebagai kebijakan dan sekaligus praktik derivatifnya, kurikulum berdampak itu direalisasikan ke dalam skema pembelajaran berdampak. Arra memang baru berusia 5 tahun. Tapi pengaruh pembelajaran berdampak pada dirinya telah terbukti nyata. Sekecil itu usia Arra namun bisa memahami dan akhirnya bisa menjelaskan atau mengungkapkan kembali pemahaman efektifnya.
Karena itu, konsep pembelajaran berdampak penting di-upscale untuk kepentingan perkuliahan di perguruan tinggi. Menggabungkan antara strategi simplifikasi dan problematisasi adalah pilihan paling rasional. Desain teknisnya begini: Saat meneliti, strategi problematisasi yang dipilih. Tapi saat mengajar, simplifikasi yang digunakan sebagai strategi. Dan bukan sebaliknya. Jangan sampai saat mengajar menggunakan strategi problematisasi hingga materi yang diajarkan sulit dicerna oleh mahasiswa. Tapi saat meneliti, justru mempraktikkan simplifikasi. Akibatnya, kualitas penelitiannya selalu tidak memadai.