Articles

Oleh Iksan

Dosen Magister Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya

Hirarki awalmulanya adalah upaya manusia untuk melakukan pembagian kerja, untuk membentuk sebuah organisasi koloni yang berguna bagi semuanya, akan tetapi, lambat laun, hirarki ini membentuk perlakuan Istimewa dan yang lebih parah membentuk sistem kasta pada kelas sosial. Kelas sosial yang diasosiasikan dengan latar belakang ekonomi, kekuasaan, dan keturunan menjadi hal yang sulit dihindari oleh setiap manusia hari ini.

Di India, kita mengenal sistem kasta yang didasarkan pada relasi kuasa yang berkelindan dengan narasi agama, maka kemudian kita kenal kasta Ksatria, Brahma, Waisa, dan Sudra. Di Eropa latar belakang penguasaan atas alat produksi kemudian menimbulkan kelas proletary dan borjuis. Di Jawa, didasarkan atas kekuasaan maka timbullah ningrat dan kawula.

Berbeda dengan sistem kelas sosial yang ada, manusia modern sebenarnya hidup dalam narasi yang sangat baik yang percaya bahwa manusia itu adalah sama, penghormatan pada hak asasi manusia adalah kenisyacayaan, dan jabatan adalah tugas yang diamanahkan. Manusia modern juga percaya bahwa power tends to corrupt (Lord Acton, tt) sehingga manusia modern menciptakan semacam lembaga pengawas bagi semua jenis kekuasaan. Di Indonesia, untuk mengawasi presiden kita punya DPR, untuk mengawasi MK kita punya MKMK, untuk mengawasi KPK kita punya Dewa Pengawas KPK. Hanya saja, manusia tetaplah manusia dan kekuasaan tetaplah kekuasaan. Harta, Tahta, dan Raisa tetaplah menjadi godaan dari dulu sampai sekarang.

Mereka yang berkuasa jika tak hati-hati akan terjatuh pada penyalahgunaan kekuasaan, menindas mereka yang dibawahnya (baik secara sadar ataupun tidak sadar), adigang-adigung adiguna. Cerita tentang kekejaman mereka atau tentang kemuliaan mereka mungkin saja tak akan hadir dalam waktu dekat tapi sejarah manusia di masa yang akan datang akan menceritakan mereka seperti apa apa, apakah ia akan diceritakan seperti Hitler atau seperti Umar bin Abdul Aziz, apakah ia akan diceritakan sebagai Saladin ataukah sebagai Mussolini. Kita di masa depan adalah kita di hari ini.

Maka dari itu, setidaknya perlu tiga hal agar potensi merusak itu tidak terjadi, pertama, adalah komitmen pada diri sendiri bahwa jabatan itu sementara dan menjadi manusia itu selamanya sehingga ia berhati-hati dalam mengambil kebijakan dan bijak dalam mengambil Keputusan, kedua, adanya lembaga pengawas yang independen, yang dapat bersikap kritis atas setiap keputusan para pejabat yang diawasinya dan bukan malah melegitimasi kesewenang-wenangannya, dan ketiga adalah adanya sifat kritis para anggota pada nilai-nilai mulia kemanusiaan, sehingga tatakala ada pelanggaran maka akan ada pengawasan kolegial yang berjalan dengan bijak. Pada akhirnya kita semua sampai pada satu kesadaran bahwa semua hanya sementara dan menjadi manusia adalah tujuan semua agama.