Berita

FISIP UINSA berkesempatan menjadi tuan rumah program Estungkara yang diadakan oleh KEMITRAAN. Estungkara menggarisbawahi penyampaian pendapat atas dinamika dan transformasi masyarakat adat yang semakin termarginalkan. Program tersebut meliputi beragam aksi diantaranya pameran foto, talk show, dan lokakarya. Estungkara dibuka dengan penyampaian sambutan oleh Abi Nugroho selaku Digital Learning Expert KEMITRAAN. Dalam sambutan tersebut, Abi mengatakan kegiatan roadshow to campus ini sebelumnya sudah diadakan di 10 Universitas. Dengan terlaksananya Estungkara di FISIP UINSA, Abi juga mengatakan bahwa UIN sangat terbuka dan memahami masyarakat. Selain itu dengan penampilan ciamik memakai baju adat khas Nusa Tenggara Timur, Prof. Dr. H. Abdul Chalik, M.Ag selaku Dekan FISIP UINSA juga menyampaikan sambutannya. Dengan penuh bangga “FISIP ini fakultas kecil, tapi kecil-kecil cabe rawit. Tepat kolaborasi dengan FISIP karena FISIP tidak diskriminatif dengan sesama terutama lingkungan. Kami menjadi bagian kelompok yang memperjuangkan komunitas adat dan kesetaraan”, katanya. Hal ini juga disetujui oleh Masitah Effendi, M. Sosio selaku dosen Sosiologi. Beliau mengutarakan bahwa bidang mereka cukup berbeda dengan kita yang bergerak dibidang ilmu sosial, namun keduanya tetap saling berhubungan, apalagi di prodi kita ada Sosiologi Lingkungan.

Tema dari Talk Show tersebut juga sedikit diulas oleh moderator acara. Secara jelas bahwa isu lingkungan sekarang ini banyak diperdebatkan dan terdesak. Serta Sedikit penyampaian nasihat bahwa jangan mendengarkan ilmuan atau politisi, tetapi dengarkan masyarakat adat.

Inti dari acara ini membahas bagaimana kondisi masyarakat adat yang sekarang semakin tidak ‘dilihat’. Hal tersebut dikupas oleh 3 narasumber yaitu Melya Findi Astuti selaku Communication Officer KEMITRAAN, Muhammad Rusli selaku Petani Kopi dari Masyarakat Adat Baru Desa Bonto Manurung, dan Prof. Dr. Sri Warjiyati, M.H selaku pakar hukum adat.  Disampaikan bahwa situasi yang tidak menguntungkan dalam masyarakat adat diantaranya sulit akses layanan dasar, transportasi, dan pendidikan. Ada juga dari segi pemanfaatan sumber daya alam. Perubahan iklim yang tak menentu, mengubah tatanan yang dulunya telah tertata namun berubah tak sesuai rencana. Gagal panen yang dialami oleh masyarakat setempat berimbas pada sistem perekonomian mereka khususnya petani kopi. Bahkan tak hanya itu saja, kebijakan pemerintah juga turut andil dalam adanya perubahan yang terjadi. Masyarakat adat sangat bergantung dengan air dan tanaman. Mereka kesulitan memperoleh keduanya, akibat pembangunan yang terjadi di area mereka.

Dalam acara tersebut, juga disinggung mengenai dan hukum adat. Hal ini disampaikan oleh Sri Warjiyati. Singkatnya dengan lantang “hukum adat ditolak karena belum ada ketentuan hukum baru”, kata Pakar Hukum Adat tersebut. Beliau juga mengatakan orang tidak boleh mengambil kepentingan orang lain karena merusak lingkungan itu pamali. Pesan lain beliau sampaikan kepada stakeholder adalah harusnya ada keberpihakan, hak ruang kepada masyarakat adat, dan mengesahkannya RUU hukum adat. 

Banyak mahasiswa mendapatkan informasi baru. Mulai perubahan iklim yang berkaitan erat dengan lingkungan, merambat ke perekonomian, gender, lalu berpindah ke budaya. Uhria, salah satu peserta mengatakan bahwa, “Kita bisa belajar bagaimana mengatasi perubahan iklim yang nantinya bisa merubah budaya. Aware dan mengayomi merupakan contoh agar masyarakat adat tetap lestari”. (RD, SRO)/(repost-lpmparlemen)