Column
Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag., Guru Besar/Ketua Senat UINSA Surabaya

وَيَٰقَوْمِ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ يُرْسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا۟ مُجْرِمِينَ

“Dan (Hud berkata), “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu dan  bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras untukmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu (sebelumnya), dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa” (Surat Hud [11]: 52)

Ayat ini bercerita tentang nasihat Nabi Hud a.s kepada masyarakat ‘Ad, keturunan Nuh a.s (ayat 50) di Yaman. Mereka hidup makmur, kuat, dan bertinggi badan puluhan meter. Untuk menghancurkan satu kampung, satu orang di antara mereka sudah cukup. Hud a.s mengingatkan mereka agar tidak sombong, dan menjanjikan, jika mereka mau istighfar dan bertobat, Allah SWT akan menambah kekayaan dan kekuatan mereka. Hud, a.s berkepribadian tenang dan tawakal menghadapi semua masalah, karena ia yakin, ubun-ubun semua makhluk berada dalam kendali Allah SWT (ayat 54-56). Karena mereka semakin membangkang, maka Allah SWT menurunkan angin dingin, kencang dan bergemuruh selama tujuh malam, delapan hari berturut-turut (QS. Al Haqqah [69]: 6-9) untuk menerbangkan mereka ke udara setinggi-tingginya, lalu menjatuhkannya dengan kepala di bawah. Angin ini bahkan bisa masuk gua dan menyedot keluar orang-orang yang bersembunyi di dalamnya.  

Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat dengan perintah yang sama pada awal surat (ayat 3),

وَأَنِ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَٰعًا حَسَنًا إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِى فَضْلٍ فَضْلَهُۥ ۖ وَإِن تَوَلَّوْا۟ فَإِنِّىٓ أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ

“Dan hendaklah kamu memohon ampunan Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu melakukannya), maka Allah akan memberi kenikmatan (terus menerus) sampai waktu yang telah ditetapkan, dan Dia memberi karunia kepada setiap orang yang berbuat baik. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku (Hud) takut kamu mendapat siksa pada hari yang besar (kiamat)” (QS. Hud [11]: 3)

            Berdasar dua ayat ini, Syekh ’Aidh Al Qarni(2006) mengatakan, istighfar dan tobat bisa menjadi solusi bagi orang yang lemah fisik dan mental, sakit, murung, kesulitan ekonomi, dan kesulitan hidup lainnya. Nabi SAW bersabda,

مَنْ لَزِمَ الْاِسْتِغْفَارَ، جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa selalu beristighfar, maka Allah akan memberi jalan keluar atas setiap kesulitannya dan memberi kegembiraan atas kesedihannya, serta Allah memberinya rizki dari sumber yang tak terduga” (HR. Abu Dawud dari Ibnu Abbas, r.a).

Hamka menafsirkan ayat di atas, “Orang yang beristighfar, tobat dan banyak melakukan kebaikan akan ditingkatkan kemuliaannya. Khalid bin Walid, r.a mendapat gelar kehormatan saifullah (pedang Allah), karena keperkasaannya sebagai panglima perang. Abu Bakar, r.a mendapat gelar as shiddiq, karena keimanan, kesetiaan dan pengurbanannya kepada Nabi SAW.  Hamzah bin Abdul Muthallib, r.a bergelar sayyidus syuhada’ (panglima para syuhada), karena keberaniannya dalam perang, sehingga menginspirasi semangat juang pasukan sampai gugur sebagai syuhada. Ja’far bin Abi Thalib, r.a bergelar dzul janahain (pemilik dua sayap ke surga), sebagai ganti dua tangannya yang putus pada perang Mu’tah. Mereka inilah yang mendapat anugerah kenikmatan dan kegembiraan, seperti kegembiraan musafir yang kehilangan unta pembawa perbekalan ketika ia sedang tertidur lelah di bawah pohon. Ketika ia nyaris pingsan karena kehausan, sang unta tiba-tiba kembali. Karena takjub dan kegembiraannya yang memuncak, ia gugup dan salah ucap, tapi Allah justru tersenyum mendengarnya. Ketika itu, ia menyatakan syukur, (اَللَّهُمَّ اَنْتَ عَبْدِيْ، وَاَنَا رَبُّكَ) yang artinya, “wahai Allah, Engkau hambaku dan aku Tuhanmu.”

Ikutilah cara istighfar dan tobat Nabi SAW, atau bahkan seharusnya lebih banyak dari istighfar Nabi.  Ia adalah manusia termulia, tak punya dosa, dan satu-satunya manusia yang diberi hak Allah SWT untuk memberi syafaat (pertolongan dan pembelaan) manusia. Tapi, ia tak pernah absen istighfar dan bertobat setiap hari. Nabi SAW bersabda,

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ، وَاللهِ اِنِّيْ لَاَسْتَغْفِرُاللهَ وَأَتُوْبُ اِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ، اَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةٍ، رواه البخاري

Abu Hurairah r.a berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Demi Allah, aku memohon ampunan Allah dan bertobat kepada-Nya dalam sehari lebih dari 70 kali” (HR. Al Bukhari)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ، كُنَّا نَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ،  رَبِّ اغْفِرْ لِيْ، وَتُبْ عَلَيَّ، اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ، رواه ابن ماجه

Ibnu Umar r.a berkata, “Kami pernah menghitung dalam satu pertemuan Nabi SAW. Ia membaca, “rabbighfir li, watub ‘alayya, innaka antat tawwaburrahim” (wahai Allah, ampunilah aku, terimalah tobatku, sungguh Engkau Maha Menerima tobat dan Maha Pengasih) sebanyak 100 kali” (HR. Ibnu Majah).

            Mengapa istighfar dan tobat menjadi sarana penyembuhan penyakit dan peningkatan dan kebahagiaan hidup. Pertama, pemohon ampunan dan petobat menyadari kesalahan pola makan, pola hidup, dan pola kerjanya, lalu merubahnya dengan pola yang dijamin menyehatkan dan halal, sehingga memberi ketenangan batin. Kedua, Allah SWT amat senang kepada para petobat, seperti senangnya wanita mandul berpuluh tahun, lalu tiba-tiba hamil. Ketika Allah senang, Dia akan memberi apa saja yang menjadi keinginan petobat. Ketiga, pemohon ampunan dan petobat akan lebih tawaduk, lalu terbebas dari kesombongan dan harapan pujian serta penghormatan orang, yang semua itu menjadi sumber stres yang akan menyiksa batin dan selanjutnya merusak fisik. Menurut Syekh Thabatthaba’i, pemohon ampunan dan petobat, dan pelaku kebajikan akan memperoleh kesenangan berupa rasa tentram, damai, sejahtera dan mulia. Sebaliknya, pelaku dosa akan merasakan dada yang sesak dan sempit (QS Thaha [20]: 124).

Referensi: (1) Al Hamshy, Muhammad Hasan, Al Qur’anul Karim, Tafsiir wa Bayaan, Darur Rasyid, Beirut, Libanon, tt. (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 12, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 9, 73, (3) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 5, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 652, (4) Al Qarni, Syekh ‘Aidl, Al Hayah Al Thayyibah, 2006, (5) Moh. Ali Aziz, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, UIN Sunan Ampel Press, Surabaya, 2015, cet. X.