Begitu sulitkah membuang sampah pada tempatnya? Potret keagamaan yang Theosentris. Terpaku hanya pada hablum minallah dengan mengabaikan hablum minal alam wal bi’ah (lingkungan); bahkan juga mengabaikan hablum minan nas. Bagaimana tidak; para Bapak dengan begitu santainya merokok sembarangan, tanpa peduli orang lain yang alergi asap rokok. Bahkan merokok di bawah tulisan: ممنوع التدخين tanpa rasa berdosa sama sekali. Allah menghendaki penghambaan padaNya dengan wasilah akhlak kita pada sesama dan lingkungan; bukan dengan pengabaian pada kemanusiaan & alam.
أوصيكم ونفسي بتقوى الله …
Sepenggal paragraf di atas saya ambil dari status WhatsApp Wakil Dekan II FUF UIN Sunan Ampel, Ibu Dr. Hj. Khoirul Umami, M.Ag., yang saat ini sedang berada di Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Status tersebut beliau tulis tepat saat berada di Padang Arafah untuk menjalankan wukuf pada tanggal 15 Juni 2024 lalu. Paragaraf di atas sekaligus menjadi inspirasi saya menulis opini “sampah” ini. Saya juga sudah meminta izin kepada beliau dan beliau mengizinkan. Sengaja saya mengutip status WA tersebut secara verbatim, bahkan screenshotnya masih tersimpan di memori smartphone saya. Andai ada pembaca tulisan ini yang kepo, saya masih menyimpan bukti sahihnya.
So, what? Jelas kiranya core message yang ingin disampaikan oleh pemilik status WA di atas. Saya yakin jika saya dan Anda para pembaca budiman memahaminya. Saya pun tak perlu menguraikan pesan dalam status tersebut. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa status WA tersebut seakan memberikan semacam justifikasi terhadap tulisan “sampah” saya yang pernah dimuat sebelumnya di kolom opini yang biasanya muncul di MyUINSA, meski kini sudah tak muncul lagi karena tegeser dengan tulisan-tulisan mutakhir yang keren-keren banget yang mayoritas ditulis oleh para dosen senior yang juga keren plus hebat.
Apa justifikasi yang saya maksud? Itu adalah apa yang saya sebut—di tulisan saya sebelumnya—dengan “kekerdilan kesadaran ekologis”. Ya, sebagian kita mengalami stunting. Bukan fisik tentunya, melainkan stunting etika ekologis. Bahkan di negeri orang sekalipun sebagian kita seakan tak punya malu untuk membuang sampah sembarangan. Kita seakan lupa bahwa perilaku kita dinilai oleh orang yang negerinya kita kunjungi. Tak perlu kita sok-sokan, Tuhan juga menilai; terlalu jauh. Wong, status WA itu ditulis saat berada di Padang Arafah; saat para hujjaj menjalankan ritual puncak dalam rangkaian manasik haji. Kurang jelas apa coba? Arafah dan wukuf, sebuah tempat dan ritual yang antara hamba dan penciptanya tak ada hijab. Artinya, orang-orang yang “dikomentari” dalam status WA tersebut sepertinya tidak menyadari bahwa Allah melihat dan menilai setiap detail perbuatan mereka, termasuk perilaku membuang sampah dan merokok sembarangan.
Patut untuk disayangkan bahwa kalangan akademisi di dunia kampus, termasuk di kampus tercinta ini yang katanya kampus islami, juga tidak sedikit yang mengalami stunting etika ekologis tersebut. Saya memiliki pengalaman pernah (bahkan sering) menegur mahasiswa yang merokok dan dengan seenak jidatnya membuang abu dan putung rokoknya di teras ruang kelas di FUF. Memangnya kampus ini asbak? Saya juga pernah menegur tenaga kependidikan di FUF yang merokok di ruang dosen, padahal ruangan tersebut ber-AC. Saya juga sering menegur mahasiswa yang membuang sampah sembarangan di lingkungan FUF, wa bil khusus yang nyampah di dalam kelas. Memangnya fakultas ini tempat sampah? Hanya saja, terus terang, saya belum pernah menegur kolega sesama dosen ahli hisap atau penyampah. Alasannya? Jujur, lebih karena pakewuh; sungkan. Semoga jika di antara beliau-beliau yang mulia membaca tulisan ini, ada yang terketuk nuraninya.
Ya, itulah ternyata potret sebagian SDM kita. Sesuai dengan kalimat pembuka dalam status WA di atas: “Begitu sulitkah membuang sampah pada tempatnya?” Saya tidak sentiment kepada para ahli hisap (baca: perokok). Saya juga tidak sentiment kepada para penyampah, karena saya dan keluarga saya juga penghasil sampah. Hanya saja, idelanya saya dan Anda menjadi ahli hisap dan penyampah yang bertanggungjawab supaya keberagamaan kita—meminjam status WA di atas—tidak theocentric yang hanya mementingkan hubungan vertikal dengan Tuhan tapi juga menjunjung tinggi relasi bajik dan bijak secara horizontal baik dengan sesama manusia maupun lingkungan dan semesta alam. Wallahu A’lam.
[Nur Hidayat Wakhid Udin; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]