Column

AS-SHABI-UN DALAM SURGA

Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

 “Sungguh orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang Shabi-in, siapa pun di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan melakukan kebaikan, mereka akan mendapat pahala dari Tuhan mereka, tidak ada rasa khawatir pada diri mereka, dan tidak pula ketakutan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 62)

Artikel ini saya tulis sebagai jawaban atas banyaknya pertanyaan dalam berbagai kajian, khususnya tentang status “As-Shabiuun” dalam ayat ini.  Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah memberi ancaman keras kepada orang-orang Yahudi, sampai mereka ketakutan. Sebagai kelanjutan, ayat ini memberi jalan keluar, bahwa orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang shabi-un itu bisa selamat dari ancaman siksa, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat, serta melakukan kebaikan.

Dalam ayat ini, ada empat kelompok yang dijanjikan mandapat perlakuan istimewa dari Allah itu, yaitu (1) orang-orang mukmin, (2) orang-orang Yahudi. Kata ini berasal dari Yahuda, nama anak tertua Nabi Ya’qub a.s. (3) orang-orang Nasrani. Kata ini berasal dari Nashirah (bahasa Arab) atau Nazareth (bahasa Ibrani), kota tempat kelahiran Nabi Isa a.s, (4) orang-orang As-Shabi-in. Kata ini jamak dari shabi’ yang artinya orang yang keluar dari suatu agama. Nabi SAW disebut shabi’ oleh masyarakat, sebab ia keluar dari agama nenek moyang. Kelompok terakhir (as-Shabi-in) inilah yang menjadi perdebatan di antara para ahli tafsir.

Menurut Syekh As-Sya’rawi, “Mereka adalah kelompok yang memiliki keyakinan sendiri, tapi tidak memiliki kitab suci dan Rasul.” Sedangkan menurut Al-Qurtubi, mereka adalah “Kelompok yang mencampur ajaran Yahudi dan Majusi. Mereka meng-Esakan Tuhan, tapi juga mempercayai kekuatan bintang-bintang. Mereka termasuk orang kafir. Maka, kita tidak boleh makan sembelihan mereka dan menikahi wanita mereka.  Menurut Hamka, mereka adalah “orang-orang yang keluar dari agama Nasrani, lalu menyembah bintang. Mereka memegang teguh ajaran kasih, dan sampai sekarang menjadi penduduk yang baik di Iraq.” Menurut Sami bin Abdullah Al-Maghluth dalam kitab Athlasul Adyan, “Mereka adalah Shabi-ah al-Mandaniyyuun dari suku Arami dan berbahasa Aramiyah Timur di tengah kota di Irak yang mengakui kenabian Yahya, a.s. Sebagian mereka adalah Shabi-ah Bathah (al-mandaniyah) (صابئة البطاح (المندانية) yang mengikuti ajaran Taurat dan Injil, dan memuja Allah serta menyanjung-Nya. Sebagian yang lain Shabi-ah Harran ( (صابئة حرانyang menjalankan shalat dan membaca kitab Zabur, tapi menyembah malaikat dan dewa. Mereka ini musyrik.”

Ayat ini turun ketika Salman Al-Farisi r.a bertanya kepada Nabi SAW tentang nasib teman-temannya yang menganut kepercayaan tertentu, termasuk dirinya, dan sebagian telah meinggal dunia.  Salman diberi umur panjang dan bisa masuk Islam di depan Nabi SAW. Nabi SAW menjawab, “Mereka semua masuk neraka.” “Saya benar-benar gelap saat itu,” kata Salman. Lalu turunlah ayat ini. Aku sangat senang, “Seolah-olah gunung (cahaya) tampak di depanku,” lanjut Salman.

Dengan demikian, orang-orang shabi-in yang mendapat perlakuan istimewa oleh Allah dalam ayat ini adalah mereka yang masih memegang teguh ke-Esaan Allah, walaupun tidak mengenal Nabi Muhammad SAW, sebab waktu itu Nabi belum lahir. Teman-teman Salman Al-Farisi yang telah meninggal dan ditanyakan nasibnya kepada nabi termasuk dalam kelompok ini.

M. Quraish Shihab mengatakan, sebagian pegiat agama menggunakan ayat ini sebagai dasar toleransi beragama, bahwa penganut agama apa pun, selama beriman kepada Tuhan dan hari akhirat, mereka akan selamat di akhirat. Pendapat ini tidak benar. Toleransi memang harus, tapi bukan berdasar ayat ini. Bagaimana mungkin ajaran Yahudi dan Nasrani yang bertentangan dengan Islam disamakan status pengikutnya di depan Allah?.

Hamka menambahkan, “Ayat ini bisa dijadikan modal toleransi beragama, khususnya kata yang berbunyi “dan mengerjakan perbuatan baik.” Artinta, jika semua penganut agama melakukan kebaikan (amal shalih), antara lain menghormati pemeluk agama lain, tidak mengganggu atau melecehkan ajaran agama mereka, maka kerukunan antar umat beragama akan tercipta.” Menurutnya, dalam ayat ini sangat jelas, semua penganut Yahudi, Nasrani, Shabi-iin, dan semua agama akan dimasukkan ke surga jika memenuhi tiga syarat, yaitu  beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhirat, dan berbuat kebaikan. Beriman kepada Allah berarti percaya kepada semua Rasul-Nya, kitab suci-Nya, dan para malaikat-Nya. Itulah yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi Madinah, antara lain Abdullah bin Salam r.a dan Ubay bin Ka’ab r.a. Demikian juga orang-orang Nasrani, antara lain Tamim ad-Dari r.a, Adi bin Hatim r.a, Kaisar Habsyi (Negus), dan Salman Al-Farisi r.a. Sahabat yang terakhir ini sebelumnya adalah penganut Majusi.

Dalam Al-Qur’an, penjelasan tentang as-shabiin diulang tiga kali, yaitu pada surat Al-Baqarah 62, Surat Al-Hajj 17, dan surat Al-Maidah 69. Khusus pada ayat yang terakhir ini terdapat keanehan dari segi gramatika bahasa Arab. Kata yang seharusnya berbunyi as-shabi-in (sebagai objek) diposisikan sebagai subjek (as-shabi-un).  Dalam hal ini, Imam Asy-Syaukani menjelaskan,

وَالصَّابِئُوْنَ: مَرْفُوْعٌ عَلَى ابْتِدَاءٍ ، وَالتَّقْدِيْرُ :إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ مَنْ اَمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًافَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَخْزَنُوْنَ وَالصَّابِئُوْنَ وَالنَّصَارَى كَذَالِكَ

“Kata as-shabiun diposisikan sebagai subjek dalam ayat ini dengan membuang beberapa kata. Jadi ayat ini berarti, “Sungguh orang-orang mukmin dan orang-orang Yahudi yang beriman kepada Allah dan hari akhirat serta berbuat kebajikan, mereka tidak akan mengalami kekhawatiran dan kesedihan. Dan orang-orang as-shabiun dan Nasrani juga mengalami yang sama.”  

Sumber: (1) Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, (Maktabah al-Syamela), Juz 1, p. 373-374 (2) Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Dar al-Fikr), Vol.3, p. 146 (3) Sami bin Abdullah Al-Maghluth, Athlasul Adyan, p. 161, (4) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 1 Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p.211-218, (5) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 1, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 256-260