Articles

Mula-mula saya melihat ‘huruf’ di dalam buku yang saya baca, kemudian ‘kata’, rangkaian kata yang bernama ‘kalimat’, dan tiba-tiba saya berada di dalam Biara Melk abad ke-14, di ruangan tempat pertemuan rutin para katedral atau anggota dewan gereja (Chapter House), Aedafisium, Gereja, Dormitory, Balneary, Infirmary yang masih termasuk areal Biara Melk, menemani Bruder William dari Baskerville. Ikut mengendap-endap setelah jam-jam liturgi, menyelidiki kematian misterius novelis muda. Istri saya yakin bahwa saya, kini, dan saat ini duduk di lantai baca novel Umberto Eco ‘The Name of The Rose’ tetapi istri saya tidak tahu bahwa jiwa dan ‘imaji’ saya, kini, dan saat ini meninggalkan raga ikut berpetualang selama 7 hari di biara Melk pada abad ke-14.

Sekali lagi, istri saya tidak tahu, jikalau otak suaminya kini dipenuhi dengan pertanyaan bertubi-tubi dan berderet-deret, “Siapakah manusia, siapakah aku?” Di teras yang dingin menusuk, saya mulai membuka gudang memoriku. Aku mulai menulis.

Syahdan, dulu ‘dukun prewangan’ yang hidup di Yunani pada abad ke-6 SM, ditanya banyak orang. Dari persoalan kontes lagu, bikin album, sampai dengan pemimpin yang selalu khawatir, kapan gilirannya dimakzulkan. Ditanya kenapa bila seorang perempuan menampar wajah seorang pria di depan umum, setiap orang yang melihatnya berasumsi bahwa sang prialah yang bersalah. Ditanya kok bisa seorang perempuan hanya perlu mengetahui seorang pria saja untuk memahami seluruh pria; sedangkan pria mungkin tahu semua wanita tapi tidak memahami satu pun dari mereka. Hemmm…

Ketika seorang anggota ‘klan’ bertanya; aku ini makhluk apa? Dukun Delphi yang sedang trance itu menjawab dengan menyebar motto yang amat terkenal: Gnothi Seauthon, yang artinya; ‘kenalilah dirimu!’.

Untuk menjawab; makhluk apa aku ini, para filsuf mencoba memahami dirinya sendiri yang kemudian mendorong berkembangnya filsafat Yunani; Gnothi Seauthon.

Berangkat dari sini, lahirlah tabularasa-nya Aristoteles 4 SM, Plato; rasionalnya Descrates, Kant; sampai dengan Social Learning Theory-nya Homans, Tibaut & Kelley pada tahun 1970-an.

Manusia di samping makhluk biologis –aliran ini disebut sosiobiologi– yang tidak berbeda dengan hewan, manusia juga adalah makhluk sosial. Manusia lapar kalau tidak makan selama 20 jam, demikian juga tikus. Kerbau laki-laki memerlukan kerbau perempuan untuk kegiatan reproduksinya, demikian juga dengan manusia. Manusia menjilat-jilat tuannya, kepala kantornya agar dapat mendapat hadiah, kedudukan, jabatan, perhatian dan kasih sayang. Begitu juga anjing.

Gen adalah unsur pembentuk dasar semua mahluk hidup, ‘deoxyribonucleic acid’ atau disingkat dengan DNA. DNA mempunyai kemampuan unik untuk menciptakan tiruan (replica) yang betul-betul sama dengan dirinya.

Perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia. Struktur biologis manusia terdiri dari; genetika, sistem syaraf, dan sistem hormonal.

Emile Dovifat dalam eksperimennya menyatakan bahwa manipulasi genetis seseorang atau kelas yang berkuasa dapat mengendalikan massa suatu negeri dengan memberi dosis kloral dan skopolamin (E. Dovifat, 1986). Sambat memelas seorang pemimpin dapat membuat rakyat di seluruh negeri meneteskan air mata.

Sistem syaraf dan sistem hormonal dapat dikontrol. Dengan menyingkirkan gen-gen yang resesif dan memelihara gen-gen yang meninggikan kualitas manusia akan membentuk perilaku manusia yang tadinya agresif menjadi penyantun. Bedah otak, penggunaan jarum-jarum hipodemik yang dihubungkan dengan push-button radio device atau obat-obatan, dapat mengubah orang yang sabar menjadi pemarah (Packard, 1978).

Beginilah secuil penjelasan keilmuan barat mengenai hakikat manusia. Lantas bagaimana tanggapan agama dalam hal ini Islam mengenai hakikat manusia.

Dalam al-Quran, kitab suci umat Islam, manusia disebut dalam konsep yang berbeda-beda; basyar, ins, insan, dan nas. Konsep basyar menunjukkan manusia di level jasadiyah, makhluk biologis (Qs. 15: 33); ‘ins’, manusia sebagai makhluk yang ‘jinak’ dan beradab (Qs. 51: 56); insan: manusia sebagai makhluk yang layak menjadi khalifah di bumi, memikul taklif dan amanah dengan akal budinya (Qs. 75: 36); dan nas, manusia sebagai makhluk kolektif (Qs. 39: 27).

Ketika ada seseorang yang bertanya, ‘Siapakah saya?’, ‘Apakah hakikat diri saya?’ Islam memberikan jawaban yang terang dan gamblang. Menurut al-Quran, pertama, manusia adalah ‘makhluk (yang diciptakan), bukan ‘Khalik’ (pencipta) (Qs. 47: 12; 45: 24). Sifat makhluk (yang diciptakan) dikabarkan Allah sebagai makhluk fitrah (Qs. 30: 30), lemah (Qs. 4: 28, 30: 54), bodoh (Qs. 33: 72, 17: 85), dan fakir (Qs. 35: 15). Kedua, manusia adalah ‘mukarram’ (dimuliakan) oleh Allah dari makhluk yang lain (Qs. 17: 70). Kemuliaan itu berupa tiupan ruh Allah dalam diri manusia (Qs. 32: 9), diberikan keistimewaan (Qs. 17: 70), dan alam semesta ditundukkan bagi manusia (Qs. 16: 14). Ketiga, manusia adalah mukallaf (dibebani tanggung jawab atau amanah). Ada dua beban besar yang diberikan kepada manusia yakni ibadah (Qs. 51: 56) dan khalifah (Qs. 2: 30). Keempat, manusia adalah mukhayyar (diberi kebebasan memilih) (Qs. 18: 29; 76: 3). Kebebaban apakah memilih beriman kepada Allah atau sebaliknya, kafir. Kelima, mujza’ (diberi balasan). Jika manusia beriman, surgalah balasannya (Qs. 98: 7-8), sebaliknya bila ia kafir, nerakalah balasannya (Qs. 98: 6).

Berbicara mengenai manusia, banyak perspektif dalam kajian teori. ‘Perspektif fatalisme’ menganggap bahwa manusia sepenuhnya sudah ditetapkan Allah, baik atau jahatnya. Setiap orang sudah ditakdirkan apakah tergolong ashabul yamin atau ashabus syimal. ‘Perspektif behaviorisme’ menganggap bahwa manusia lahir dalam keadaan netral, kosong, bagaikan kertas putih (tabularasa). Manusia tidak memiliki bakat atau potensi yang melekat dalam dirinya untuk menjadi manusia baik atau buruk (Qs. 16: 78). ‘Perspektif dualisme’ memandang bahwa manusia lahir dalam keadaan mempunyai dua sifat sekaligus. Dua sifat asal itu adalah kebaikan dan keburukan (Qs. 91: 8). ‘Perspektif Humanisme’ memandang manusia memiliki sifat-sifat bawaan baik (positif). Manusia memiliki potensi-potensi positif semenjak kelahirannya dengan fitrah yang baik dan benar (Qs. 30: 30). ‘Perspektif Psikoanalisis’ memandang manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif. Tingkah laku seseorang ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang sudah ada pada dirinya, diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan insting biologisnya.

Perdebatan tentang apa dan siapa manusia ini, rupanya tidak jauh berbeda dengan perdebatan perihal aspek moralitas dalam kehidupan sosial modern. Durkheim berpendapat jikalau makna subjektif dari moralitas berasal dari internalisasi aturan perilaku yang diberikan secara eksternal dan disetujui secara sosial. Sementara Weber, meskipun agak mencla mencle, tetap teguh dengan pendapatnya bahwa manusia secara substansial telah kehilangan kemampuannya untuk melakukan tindakan sosial yang benar-benar aktif dan otonom. Lebih menohok lagi Foucault dan Habermas, yang meniadakan kekosongan moral yang menjadi ciri pandangan sosiologis yang lazim dalam modernitas. Beda dengan tokoh-tokoh sebelumnya, Kant melakukan upaya kritik dengan berpendapat bahwa otonomi sebagai anugerah moral manusia menunjukkan dengan meyakinkan bahwa kita harus mendasarkan validitas normatif dari adat istiadat sosial dan aturan perilaku pada prinsip-prinsip universal moralitas yang diadopsi oleh setiap individu sebagai dasar penentu tindakannya.

Perdebatan tersebut, juga mirip dengan pergulatan wacana antara model penelitian ‘gaya konvensional’ dengan penelitian ‘gaya pembebasan’. Penelitian gaya pembebasan yang disandarkan pada pemikiran Antonio Gramsci, Michel Foucault, Paulo Freire, dan praxis penelitian feminis benar-benar menampar para peneliti konvensional. Perlu diketahui dari Gramsci kita timba konsep intelektual “tradisional” dan intelektual “organik”. Dari Foucault kita ciduk konsep intelektual “universal” dari intelektual “spesifik”. Dan dari Paulo Freire, pedagog pembebasan asal Brazil, kita ambil sumbangannya mengenai proses dekodifikasi, proses yang berawal dari “kodifikasi”, representasi dari realitas sosial yang nyata, berupa citra (image), simbol, ide, konsep atau kata.

Peneliti konvensional dituduh keterlaluan pada kesadaran sang peneliti yang syarat dengan potensi bias (keberatsebelahan), yang melihat manusia secara lazim bisa dipengaruhi oleh jenis kelamin dan orientasi seksualnya, latar belakang kelas, etnisitas, ras, agama, umur, dan ideologinya. Tamparan lain, peneliti konvensional dianggap kurang bersikap skeptis terhadap kesan-kesan atau temuan-temuan pertama, dan tidak terbuka untuk mempertanyakan kembali praduga di balik kesan dan temuan pertama itu. Gayung bersambut, peneliti konvensional pun membalas tamparan itu dengan sindiran sinis kalau peneliti gaya pembebasan kurang menguasai berbagai metode penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif, makro maupun mikro, terstruktur maupun eksploratif.

Last but certainly not least, manusia adalah hewan sosial (social animal) dan hewan budaya (cultural animal) yang dapat membedakan ‘baik’ dan ‘buruk’. Manusia sebagai ‘hewan sosial’ kadangkala tidak dapat membedakan itu. Baik dan buruk sama saja. Manusia jenis ini dapat mereproduksi keturunan yang tidak dibatasi oleh waktu. Juga ‘hewan kultural’ mereproduksi keturunan dalam waktu yang tak terbatas. Contoh yang paling jelas replika ‘social animal’ yang tidak dapat atau tidak menyadari ‘baik’ dan ‘buruk’, dan ‘cultural animal‘ yang dapat membedakan ‘baik’ dan ‘buruk’ adalah –tidak usah jauh jauh– dalam komen-komen tulisan ini.

Siapa aku?

Pertanyaan tentang ‘Siapakah aku?’, menggugah ingatan lama yang terpendam dalam gudang memori (memory storage) akan teori insan kamil-nya Ibnu ‘Arabi yang membedakan antara manusia sempurna (insan kamil) dengan manusia binatang (al-insan al-hayawan); antara ‘Hamba Tuhan’ (‘abd rabb) dengan ‘Hamba Nalar’ (abd nazar). Atau teori ‘insan kamil’-nya Muhammad Iqbal bahwa insan kamil (perfect man) adalah mukmin sejati yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan kebijaksanaan. Atau juga teori ‘Rausyanfikr’-nya Ali Syari’ati bahwa manusia sempurna adalah ‘pemikir yang tercerahkan’, enlightened thinkers (intellectual). Yang dimaksud Ali Syariati, rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan menemukan ‘kenyataan’, seorang rausyanfikr menemukan ‘kebenaran’. Ilmuwan sekadar menampilkan fakta sebagaimana adanya, sementara rausyanfikr lebih dari itu, ia memberikan penilaian sebagaimana seharusnya.

‘Jauh panggang dari api’, tidak mungkin alias mustahil sekiranya aku bermimpi menganggap diri ini laksana insan kamil-nya Ibnu Arabi dan Muhammad Iqbal, lebih-lebih rausyan fikr-nya Ali Syariati.

Tiba-tiba memori saya pun menyasar ke seorang tokoh muda asal Madura, yang qadarullah mati dalam usia muda, Ahmad Wahib dengan karya monumentalnya, “Pergolakan Pemikiran Islam”. Saat ditanya ‘Siapakah Anda?” Anak muda ini pun menjawab, “Aku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Sjahrir, bukan Natsir, bukan Marx dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan… Aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari dan terus-menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus berproses menjadi aku. Aku adalah aku, pada saat sakratul maut!” “Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute-entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.” Tentu saja, saya kurang sreg menjadi ‘aku’ seperti ‘aku’nya Ahmad Wahib.

Hemm…. Saya rasa menulis pada bagian akhir ini paling sulit, paling menyita mood. Karena menulis itu tidak hanya berdasarkan pikiran, tapi juga berdasarkan “mood”, kalau tidak ada “mood” tetap maksain nulis, hasil tulisannya kelihatan “mekso”. Kalau sudah terlihat “mekso”, feel dari tulisan jadi tidak terasa.

Baiklah, jika sampean tanya siapakah aku?

Melalui perenungan sejenak, tidak usah lama-lama, dengan kesadaran ala kadarnya meskipun tanpa dipaksa malah lebih karena terpaksa, saya sampaikan sejujurnya, bisa jadi masih kurang jujur, bahwa ‘aku’ adalah manusia (makhluk, mukaram, mukallaf, mukhayyar, dan mujza); ‘aku’ adalah bangsa Indonesia; dan ‘aku’ adalah seorang muslim yang akan selalu: Berusaha menggapai ridha Allah Swt; berusaha mengikuti sunnah Rasulullah; berupaya menjunjung tinggi tanggung jawab sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi, wa bil khusus di bumi pertiwi Indonesia tercinta; berusaha merengkuh kehidupan yang sehat dan seimbang secara mental, fisik dan sosial; berjuang dengan tantangan pribadi setiap hari dengan terus menerus berjibaku antara pekerjaan, studi, kehidupan keluarga, kehidupan sosial, dan berkomitmen akan bertanggung jawab atas semuanya; dan terakhir, menjadi bagian solusi untuk membangun kembali “umat yang produktif”, bangsa yang adil dan sejahtera demi ridha Allah Swt.

Baiklah, jika sampean ‘alergi’ terhadap definisi ‘aku’ yang dianggap terlalu kental Islamnya, agar kelihatan lebih keren, kita pakai saja psikoanalisnya Freud bahwa perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga sub-sistem dalam kepribadian manusia; id, ego, dan super-ego.

Id melahirkan keinginan baik maupun jelek, ego sebagai mediator hasrat baik dan hasrat jelek. Ketika id mendesak agar segera protes untuk memberlakukan eksekusi ‘potong tangan’ pejabat pemerintah yang ‘terbukti’ ‘nyolong’ duitnya negara, maka ego serta merta memperingatkan; sudahlah, dipikir dahulu. Kalau tidak, sampean akan ditumbalkan, akan dibuli habis-habisan dengan stigma ‘ekstremis’, ‘islamist’ dan bisa jadi akan segera dikirim ke Wicirna Sahana, dikirim ke alam kelanggengan. Atau kalau tidak sampean akan kembali ‘jual duren’.

Superego adalah hakim. Jika ego menyerah kepada tuntutan jahat id maka ‘aku’ akan dihukum dengan perasaan bersalah. Menurut Freud superego adalah unsur moral.

Nah jika hanya id, tidak ada ego dan superego maka “aku” bukan manusia.

“Aku” adalah monyet.

Wassalam

[Purwanto; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]