UIN Sunan Ampel Surabaya
August 1, 2025

AROMA UNTUK PEMBELAJARAN BERMAKNA

AROMA UNTUK PEMBELAJARAN BERMAKNA

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Petang itu aku berjalan. Menyusuri koridor di depan konter-konter yang berjejer-berderetan. Di pusat perbelanjaan superblok kenamaan. Konon terbesar kedua di Asia setelah satu pusat perbelanjaan lagi yang sama-sama juga terletak di Kota Pahlawan. Nama pusat perbelanjaan terbesar kedua itu Plaza Tunjungan. Terkenalnya dengan TP sebagai singkatan kebalikan. Karena memang dulunya bernama Tunjungan Plaza. Karena ada kebijakan penyesuaian ketat dengan regulasi kebahasaan Indonesia, nama pusat perbelanjaan itu bergeser dalam urutan (word order) menjadi Plaza Tunjungan. Tapi tetap saja singkatannya tak berubah: TP. Yang legal dan yang lazim, keduanya ada untuk nama pusat perbelanjaan tersebut.

Aku berjalan di Minggu petang (8 Juni 2025) itu bersama istri dan kedua anakku. Setelah menyusuri deretan konter di TP itu, sampailah aku di sebuah konter terkenal. Ada parfum sebagai komoditas utamanya. Sambil melihat-lihat produk parfum itu, kudengar perbincangan ringan disebelahku. Antara seorang ayah dengan anaknya yang berusia SMA. Begini salah satu pertanyaan sang ayah kala itu: “Dek, kenapa kalau ke sekolah kok bawa parfum?” Belum  sempat sang anak menjawab, sang ayah melengkapi pertanyaannya: “Emang boleh?” Sang anak pun dengan kontan menjawab pertanyaan bapaknya itu: “Bukan hanya boleh Ayah, tapi justru dianjurkan oleh guru.” Sang ayah pun lalu bertanya kembali: “Lho, dianjurkan? Masa sih?” “Iya, Ayah. Bener! Malah disuruh,” jawab sang anak tegas.

Aku pun terkaget dengan percakapan ringan antara ayah dan anak itu. Kalimat terakhir dari seorang anak remaja itu, lebih-lebih, membuatku makin penasaran. Sambil pura-pura memegang produk dagangan yang diperjualbelikan di konter itu, aku pun tak mau jauh-jauh dari posisi sang anak remaja bersama ayahnya itu. Aku pingin lebih jauh menyimak tipis-tipis pembicaraan di antara mereka berdua. Karena bagiku, isi pembicaraan ringan itu sangat menarik. Isinya tentang membawa parfum ke sekolah. Ringan dan tidak berat-berat. Tapi, pertanyaan sang ayah dan jawaban sang anak menyembulkan daya tarik yang tinggi bagiku. Apalagi, sang anak remaja itu menyebut kata “dianjurkan” dan “disuruh.” Maka, berarti ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh sang guru di SMA tempat sang anak itu bersekolah.

Aku pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan menarik dari bincang ringan antara sang bapak dan anak remajanya malam itu. Aku rekamlah pembicaraan lebih lanjut mereka ke dalam memoriku. “Mengapa guru Adek malah menganjurkan begitu? Mengapa siswa malah disuruh bawa parfum?” Pertanyaan ini disampaikan sang ayah untuk mengundang penjelasan lebih jauh dari sang anak remaja itu. Tampak sekali, bagi sang ayah, perilaku mengajar sang guru di sekolah sang anak di atas penting untuk didalami. Karena itu, terlihat sekali sang ayah memandang penting materi pembicaraan mengenai membawa parfum ke sekolah itu. Bincang ringan pun akhirnya berlangsung gayeng.

Mendengar pertanyaan dan jawaban antara sang ayah dan anak remaja di atas, aku pun semakin tak mau ketinggalan dengan isu bincang santai itu. Aku akhirnya merasa perlu untuk juga nguping lebih jauh. Menyusul materi bincang santai itu begitu menarik, terlintas pula dalam pikiran untuk menuliskan materi bincang ringan antara sang ayah dan anak remajanya itu ke dalam catatan ringan. Kupikir kala itu, di balik materi bincang ringan itu ada beragam asupan pelajaran yang mungkin bisa dijadikan materi pembahasan akademik lebih jauh di banyak ruang. Termasuk ruang perkuliahan.

Itu semua karena perilaku mengajar sang guru di SMA anak remaja tersebut bisa dibilang tak biasa. Tak banyak ditemukan di guru dan atau sekolah pada umumnya. Karena itu, pasti ada makna yang ingin disampaikan oleh sang guru dengan anjurannya di atas. Dan, jawaban yang lebih lanjut diberikan sang anak remaja kepada sang ayah berikut ini membuatku makin terpesona: “Guruku bilang, parfum itu penting dibawa agar bau keringat siswa tak sampai mengganggu pembelajaran di kelas.” Jawaban ini bagiku sungguh menarik. Karena mengandung argumen yang tak biasa yang dikembangkan oleh sang guru.

Aroma Untuk Pembelajaran

Pesan “agar bau keringat siswa tak sampai mengganggu pembelajaran di kelas” sungguh inovatif. Melampaui standar regular kenyamanan pembelajaran yang selama ini diberlakukan di banyak sekolah. Karena, pesan itu sudah tak lagi bicara tentang teknis pembelajaran. Atau sarana dan prasarana pembelajaran. Tak lagi bicara, sebagai contoh, mengenai fasilitas LCD atau perangkat suara di kelas. Alih-alih, pesan itu sudah menyentuh standar kenyamanan level yang lebih tinggi. Yakni, kenyamanan aroma ruangan, termasuk dari bau keringat badan. Ada kebutuhan terhadap aroma segar nan harum di kelas agar pembelajaran tak terganggu.

Kata “aroma” sengaja ku-spill di sini. Kepentingannya untuk menguraikan, menunjuk, dan sekaligus menegaskan kualitas bau harum yang spesifik, khas, dan menyenangkan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan “aroma” dengan “bau-bauan yang harum (yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau akar-akaran)”. Ada dua substansi yang ditunjuk oleh KBBI ini: “bau-bauan” dan “harum”. Keduanya menyatu untuk terciptanya aroma. Dengan kata lain, aroma terbentuk dari gabungan kuat dua esensi, “bau-bauan” dan “harum.” Wujudnya bisa dibau atau dirasakan.

Keringat, memang, soal bau. Tepatnya, soal bau badan. Tentu saja, bau yang muncul dari keringat badan dimaksud tidak masuk ke dalam kategori harum. Dan siswa SMA adalah peserta didik sekolah yang sedang aktif-aktifnya. Tentu karena itu, untuk anak usia siswa SMA, keringat sudah mulai bisa menimbulkan bau macam-macam. Karena memang mereka sudah memasuki usia remaja. Aktivitas fisiknya cenderung sangat tinggi. Maka, wajar saja jika keringat yang keluar dari tubuh mereka juga bisa beragam bau. Apalagi, jumlah siswa di kelas terbilang cukup banyak. Maka, bau yang bisa muncul dari keringat badan tentu bermacam-macam pula.

Kecut adalah bau keringat yang biasa dan bahkan sangat lazim tercium dari keringat yang keluar dari tubuh dengan aktivitas tinggi seperti oleh anak usia remaja itu. Tentu bukan anak usia remaja semata. Tapi, berlaku untuk semua. Apalagi, makin bertambah usia, keringat yang keluar juga bisa bertambah kecut. Intinya, tingginya aktivitas fisik membuat siapapun akan pasti mengalami problem bau kecut dari keringat yang keluar dari badan. Jika tak diintervensi secara tertentu melalui produk perfumary, maka bau keringat itu bisa mengganggu mereka yang berdekatan. Atau bahkan seluruh isi ruangan.

Di sinilah cerdasnya sang guru itu. Dia sangat memahami situasi yang sedang potensial dihadapi oleh anak didiknya di jenjang SMA itu. Dari aktivitas fisik yang tinggi, keringat bisa keluar bercucuran. Dari usia yang sudah menginjak remaja itu, keringat yang keluar dari tubuh bisa menimbulkan bau macam-macam. Bayangkan, jika di kelas ada tiga puluh siswa dan masing-masing berkeringat dengan bau yang beragam, maka akan muncul bau akibat keringat yang juga macam-macam itu. Dan itu berarti di seisi ruang kelas bisa muncul bau keringat yang beragam itu. Dan, sang guru sangat memahami dengan baik sekali potensi yang bisa mengganggu jalannya pembelajaran itu. “Keren sekali sang guru itu,” gumamku dalam hati.

Di mana kerennya? Ternyata sang guru itu sudah memasukkan unsur aroma sebagai standar untuk terciptanya kelas pembelajaran yang menyenangkan. Indikator aroma kelas pembelajaran dimaksud adalah kualitas bau harum yang spesifik, khas, dan menyenangkan. Jadi, jelas sekali, bagi sang guru kualitas bau harum yang spesifik, khas, dan menyenangkan dimaksud tak bisa dianggap ringan-ringan saja. Tak bisa disepelekan begitu saja. Alih-alih, hal itu justru sudah dijadikan sebagai indikator dan prasyarat terciptanya pembelajaran yang efektif. Ungkapan sang guru “agar bau keringat siswa tak sampai mengganggu pembelajaran di kelas” telah menunjuk kepada substansi penting bahwa aroma menjadi indikator dan sekaligus prasyarat bagi terciptanya pembelajaran yang efektif dimaksud.

Kalau bau keringat saja diberikan solusi agar tak mengganggu pembelajaran, apalagi dengan hal lain yang justru potensial mengganggu? Apakah hal lain yang dimaksudkan di sini? Jawabannya bisa beragam. Bisa saja perilaku mengajar. Bisa pula teknik mengajar. Bisa juga tata relasi dalam interaksi pembelajaran antara pendidik dan peserta didik atau antar peserta didik. Atau yang lain-lainnya. Maka, siapapun yang berada dalam tugas penyelenggaraan pembelajaran sudah sepatutnya memutar otak untuk menjaga betul praktik dan proses pembelajaran yang diselenggarakan. Itu semua dibutuhkan agar pembelajaran betul-betul bermakna dan berdampak. Terganggu saja jangan, apalagi tak bermakna dan tak berdampak.

Pembelajaran Bermakna

Kita sering mendengar istilah pembelajaran bermakna (meaningful learning) dan pembelajaran berdampak (impactful learning). Tapi, pembelajaran bermakna jauh lebih popular dan memiliki basis diskusi teori yang lebih mapan. Sebab, pembelajaran yang disebut kedua sudah dikandung oleh jenis pembelajaran yang disebut pertama sebagai bagian sentralnya. Sebut saja, sebagai contoh, teori pembelajaran bermakna yang diproduksi oleh Richard E. Mayer. Dia adalah seorang profesor Amerika ahli psikologi pendidikan. Dia membangun teori yang disebut dengan three learning outcomes (tiga capaian pembelajaran).

Teori three learning outcomes yang disebut di atas meliputi: no learning, rote learning dan meaningful learning. Mudahnya begini pemaknaannya: no learning berarti pembelajaran hampir tanpa bekas, rote learning itu pembelajaran hafalan, dan meaningful learning itu pembelajaran bermakna. Semakin memberi kecakapan untuk melakukan transfer pengetahuan yang dikuasai ke kebutuhan problem solving, semakin masuk pembelajaran itu ke dalam kategori meaningful learning. Semakin jauh dari kecakapan transfer itu, maka semakin dekat sebuah pembelajaran ke dalam kategori no learning (lihat Richard E. Mayer,“Rote Versus Meaningful Learning,” Theory Into Practice, 41(4) (2002): 226–227).  

(Foto: Hasil Penggabungan Foto Richard E. Mayer dan Karyanya)

Menjamin pembelajaran agar tidak terganggu adalah pintu masuk untuk mewujudkan pembelajaran yang bermakna. Nah, untuk merealisasikan prinsip ini, ada dua rumus yang penting untuk menjadi pertimbangan. Pertama,semakin dewasa usia peserta didik, semakin kompleks tantangan yang bisa menjadi penghalang terselenggaranya pembelajaran yang bermakna dimaksud. Tantangan tersebut tak lagi terbatas pada urusan material, seperti sarana dan prasarana pembelajaran. Melainkan sudah bergerak masuk ke area psikososial. Ada urusan perasaan dan emosi sosial yang menyembul ke depan permukaan. Tantangan yang muncul dalam urusan perasaan dan emosi sosial ini muncul akibat sosialisasi dan interaksi yang tidak mulus dengan sesamanya. Itu semua terjadi karena semakin dewasa usia peserta didik, semakin luas aktivitas sosialisasi dan interaksi dengan selainnya.  

Karena itulah mengapa di kampus seperti UIN Sunan Ampel Surabaya sudah ditetapkan kebijakan Kampus Sebagai Rumah Kedua (lihat tulisan “Kampus Sebagai Rumah Kedua (seri-1)” pada URL: https://uinsa.ac.id/blog/kampus-sebagai-rumah-kedua-seri-1).  Untuk sampai kepada derajat ideal Kampus Sebagai Rumah Kedua dimaksud, maka kampus harus bisa memenuhi dua kriteria indikator: aman dan nyaman. Prinsip second home is where the heart is menjadi tageline dari konsep Kampus Sebagai Rumah Kedua dimaksud. Seperti halnya rumah, kampus adalah tempat hati bersemayam. Tempat hati mendapatkan ketenangan. Tempat hati meraih kedamaian. Tempat hati menemukan kesejukan. Situasi psikososial seperti ini dibutuhkan untuk terciptanya pembelajaran yang bermakna.

Kedua, semakin mandiri peserta didik akibat semakin dewasa usia dan pengalaman sosialnya, semakin tinggi kebutuhan terhadap urusan dan standar kenyamanan pembelajaran. Di sinilah kita bisa melihat mengapa guru SMA dalam kisah yang diuraikan di atas mengambil kebijakan teknis di kelas dengan menyarankan dan bahkan meminta para siswa untuk membawa parfum ke sekolah. Kebutuhan untuk menjamin kenyamanan pembelajaran tampak sangat kuat dalam pertimbangan sang guru. Sebab, saat kenyamanan terganggu, dikhawatirkan efektivitas pembelajaran pun juga akan terganggu. Dalam kaitan ini, kenyamanan sudah masuk dalam pertimbangan diri peserta didik usia dewasa dalam mengalami, menjalani, dan menyerap pembelajaran yang bermakna.  

Karena itulah, kebijakan sang guru SMA seperti diceritakan di atas sudah mempertimbangkan standar kenyamanan diri yang semakin tinggi di kalangan peserta didiknya. Dan ini menjadi poin kecerdasan sang guru. Kecakapannya membaca pergerakan standar kenyamanan dengan mempertimbangkan situasi yang muncul dalam keseharian siswa menandai kecerdasan sang guru dalam upaya untuk menjaminmutukan proses pembelajaran yang diselenggarakan. Mungkin bagi guru secara kebanyakan menyarankan dan bahkan meminta siswa untuk membawa parfum ke sekolah dianggap sebagai hal yang aneh, tapi bagi guru SMA yang kuceritakan di atas justeru sudah menjadi pertimbangan mendesak. Bukankah ini inovasi teknis yang dilakukannya untuk menjamin efektivitas pembelajaran yang diselenggarakan?

Lalu Apa Pelajarannya?

Ikhtiar sang guru SMA di atas adalah sebuah inspirasi. Setiap diri perlu untuk mengambilnya. Bisa saja secara copy and past. Bisa pula dengan cara meng-copy lalu menginovasinya kembali lebih jauh. Istilah popularnya, ATM. Yakni, amati, tiru, modifikasi. Dengan begitu, bisa saja bentuk ikhtiar inovatifnya tak lagi persis sama. Kebutuhan untuk menyerap inspirasi ini makin tinggi bagi pendidik yang melaksanakan pembelajaran kepada peserta didik dalam usia yang makin dewasa. Termasuk dalam hal ini adalah dosen. Sebab, mahasiswa dengan usia yang lebih dewasa dari pada peserta didik pada jenjang di bawahnya pasti dihadapkan pada kompleksitas situasi dan kondisi yang menjadi tantangan yang tidak ringan.

Karena itu, ada dua pelajaran penting yang bisa dipetik oleh para pendidik, termasuk dosen di perguruan tinggi. Pertama, jangan pernah berhenti berinovasi untuk kepentingan peningkatan efektivitas pembelajaran. Teruslah berikhtiar untuk lahirnya inovasi pembelajaran. Bahkan tantangan yang semakin membesar, termasuk perubahan yang sangat cepat, menuntut diambilnya inovasi yang berkesinambungan. Sebab, tantangan menuntut respon serius nan solutif. Saat tak menemukan solusi, maka tantangan itu akan semakin bergerak tak terkendali. Begitu pula cepatnya perubahan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat menuntut adanya respon yang cepat dan berarti. Hanya inovasi yang mampu menjawab semua itu. Maka, jangan pernah berhenti, apalagi mundur, dari langkah inovatif.

Kebutuhan berinovasi di atas semakin tinggi saat pendidikan dihadapkan pada prinsip kebermaknaan (meaningfulness). Prinsip ini mempersyaratkan efektivitas pembelajaran yang didasarkan pada tingkat capaian (outcome) yang dihasilkan. Capaian dimaksud akan memberi pengaruh yang ditimbulkan. Dari titik inilah munculnya konsep pendidikan berdampak sebagai pendamping bagi konsep pendidikan bermakna. Literatur terkini menyebut pendidikan berdampak secara partikular dengan istilah impactful learning (lihat sebagai contoh, Shani Evenstein Sigalov dan Rafi Nachmias, “Wikipedia as a Platform for Impactful Learning” seperti di bagian bawah ini).

Kedua, seraplah selalu hal baru dari kehidupan peserta didik bersama dengan kemajuan teknologi terkini yang melingkupi. Langkah ini penting dilakukan untuk pertimbangan perubahan penyelenggaraan pembelajaran ke arah yang lebih baik. Tanpa ada praktik penyerapan terhadap hal baru, tak akan muncul inovasi strategis yang dibutuhkan untuk terjadinya pembelajaran bermakna. Mengapa begitu? Itu karena semua proses dan tahapan pembelajaran harus dekat dengan kehidupan peserta didik. Tidak seharusnya ada jarak. Dengan begitu, semua yang diproses oleh guru dalam pembelajaran akan dirasakan sebagai sebuah kebutuhan penting oleh peserta didik.

Jika perubahan dalam proses dan tahapan pembelajaran sudah dianggap dan dirasakan dekat dengan kebutuhan peserta didik, maka mereka pun akan merasa bahwa inovasi yang dilakukan oleh sang guru adalah bagian dari kebutuhan mereka juga. Jika yang demikian sudah berkembang, maka perubahan menuju perwujudan pendidikan bermakna juga akan semakin mudah direalisasikan. Dampak yang diharapkan dari peserta didik untuk cakap dalam menciptakan solusi untuk problem hidup mereka pun juga sangat bisa diharapkan. Hanya, tantangannya memang soal kecakapan guru dalam merespon cepatnya kemajuan teknologi, khususnya di bidang komunikasi dan informasi. Semakin cakap dan tanggap, semakin mudah inovasi yang dilakukan untuk diterima oleh peserta didik. Begitu pula sebaliknya. Pembelajaran yang menyenangkan memang tak langsung-kontan berkaitan dengan capaian pembelajaran. Tapi, itu sangat dibutuhkan untuk terwujudnya pembelajaran bermakna. Yakni, agar peserta didik terfasilitasi untuk bisa cakap dalam mendatangkan solusi untuk hidup mereka, berbekal pembelajaran yang pernah diikuti. Karena itu, menjaga aroma ruang kelas adalah bagian dari upaya untuk mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan dimaksud. Tentu ini adalah standar tambahan untuk sebuah kebermaknaan yang dibutuhkan oleh penyelenggaraan pendidikan. Dan ikhtiar yang dilakukan oleh guru SMA seperti diilustrasikan dalam kisah di atas adalah langkah inovasi terukur walaupun bermula dari hal kecil dalam keseharian peserta pembelajaran.

Spread the love

Tag Post :

rectorinsights

Categories

Column, Column UINSA