
Perjalanan panjang reformasi hukum pidana Indonesia akhirnya menemukan titik terangnya dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Ini bukan sekadar pergantian pasal, melainkan sebuah pergeseran paradigma fundamental. Selama lebih dari satu abad, Indonesia hidup di bawah bayang-bayang Wetboek van Strafrecht (WvS), sebuah produk hukum kolonial Belanda yang dibuat pada tahun 1918 dengan tujuan kontrol dan penindasan.
Kini, melalui KUHP baru, Indonesia menegaskan kedaulatan hukumnya. Politik hukum yang diusung bukan lagi sekadar menjaga ketertiban (rust en orde) ala kolonial, melainkan demokratisasi, dekolonisasi, dan harmonisasi dengan nilai-nilai Pancasila.
1. Pergeseran Paradigma: Dari Pembalasan Menuju Pemulihan
Inti dari politik hukum dalam KUHP baru adalah perubahan filosofi pemidanaan. Jika KUHP lama (WvS) sangat kental dengan nuansa retributif (pembalasan dendam), KUHP baru mengadopsi pendekatan yang lebih humanis dan modern.
Tiga Pilar Utama Politik Hukum KUHP Baru:
- Dekolonisasi & Nasionalisasi: Melepaskan diri dari nilai kolonial dan memasukkan nilai-nilai kearifan lokal (living law) serta Pancasila sebagai jiwa hukum.
- Keseimbangan (Daad-Dader Strafrecht): Keseimbangan antara perbuatan (objektif) dan sikap batin pelaku (subjektif). Tidak hanya menghukum perbuatannya, tetapi memperhatikan kondisi manusianya.
- Orientasi Restoratif & Rehabilitatif: Penjara bukan lagi satu-satunya solusi utama (ultimum remedium).
Terlihat jelas adanya Pedoman Pemidanaan baru yang revolusioner. Hakim kini memiliki opsi “Judicial Pardon” (pemaafan hakim), di mana seseorang yang bersalah bisa saja tidak dipidana jika alasannya dapat diterima secara kemanusiaan. Selain itu, diperkenalkan sanksi alternatif seperti Pidana Pengawasan dan Kerja Sosial untuk mencegah efek buruk penjara bagi pelaku tindak pidana ringan (di bawah 5 tahun).
2. Delik Agama dan Moralitas: Jalan Tengah di Tengah Perbedaan
Salah satu aspek paling sensitif dan menyita perhatian publik dalam KUHP baru adalah pengaturan mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kepercayaan serta masalah kesusilaan. Pengaturan ini merupakan kompromi politik antara standar HAM internasional dan nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia yang religius.
A. Perlindungan Terhadap Agama (Pasal 300 – 305)
Negara hadir bukan untuk membatasi kebebasan berfikir, melainkan untuk menjaga kerukunan umat beragama (ketertiban umum). Beberapa poin krusial meliputi:
- Penghinaan & Permusuhan (Pasal 300 & 301): Melarang perbuatan di muka umum yang bersifat permusuhan atau ujaran kebencian terhadap agama/kepercayaan.
Catatan Penting: Penjelasan pasal ini memberikan pengecualian (alasan pembenar) bagi pernyataan yang bersifat ilmiah atau objektif. Ini adalah pengaman agar ruang diskusi akademis tidak mati.
- Hasutan Ateisme (Pasal 302): Melarang hasutan agar seseorang menjadi tidak beragama atau berpindah agama dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini melindungi hak konstitusional warga negara untuk memeluk agamanya tanpa intimidasi.
- Gangguan Ibadah & Penodaan (Pasal 303 – 305): Mengatur sanksi bagi mereka yang membuat gaduh, merintangi ibadah dengan kekerasan, hingga menodai/merusak rumah ibadah. Sanksi diperberat jika disertai perusakan properti (hingga 5 tahun penjara).
B. Kesusilaan: Mencegah Main Hakim Sendiri
Isu perzinaaan (Pasal 411) dan kohabitasi/kumpul kebo (Pasal 412) sering disalahpahami oleh dunia internasional. Politik hukum Indonesia menempatkan ini sebagai upaya menghormati lembaga perkawinan.
Namun, kuncinya ada pada sifat Delik Aduan Absolut.
- Polisi tidak boleh melakukan penggerebekan tanpa aduan.
- Pengadu dibatasi hanya pada: Suami/Istri, Orang Tua, atau Anak.
- Peran Kepala Desa sebagai pengadu dihapuskan.
Tujuannya jelas: Negara mengakui nilai moral masyarakat bahwa zina itu salah, namun negara membatasi intervensi hukum hanya jika pihak keluarga yang dirugikan melapor. Ini adalah mekanisme untuk mencegah masyarakat melakukan persekusi atau main hakim sendiri.
3. Tantangan Implementasi: Sosialisasi dan Penegakan
Meskipun secara substansi KUHP baru dinilai lebih maju (progresif), tantangan terbesarnya ada pada sumber daya manusia.
- Multitafsir: Pasal-pasal baru seperti “penghinaan agama” atau “hukum yang hidup di masyarakat” (hukum adat) berpotensi ditafsirkan secara liar jika aparat tidak paham filosofinya.
- Kesiapan Aparat: Polisi, Jaksa, dan Hakim harus mengubah pola pikir dari “menghukum seberat-beratnya” menjadi “memulihkan keadaan”. Pelatihan intensif selama masa transisi 3 tahun (sebelum berlaku efektif) adalah kewajiban mutlak.
4.Tinjauan Strategis: Perspektif Ketahanan Nasional (Lemhannas)
Menambahkan dimensi strategis pada analisis ini, kehadiran KUHP baru memiliki korelasi erat dengan konsep Ketahanan Nasional (Tannas) yang diajarkan oleh Lemhannas RI. Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan dalam menghadapi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG).
Berikut adalah relevansi KUHP Baru terhadap gatra-gatra (aspek) Ketahanan Nasional:
A. Gatra Ideologi
KUHP baru berfungsi sebagai benteng ideologi Pancasila. Dengan menghapus asas konkordansi (hukum Belanda) dan menggantinya dengan nilai-nilai Pancasila, hukum pidana kita kini memiliki “ruh” kebangsaan. Pasal-pasal yang melarang penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila (seperti Marxisme-Leninisme yang diatur dalam pasal lain) adalah bentuk konkret ketahanan ideologi.
B. Gatra Sosial Budaya
Ketahanan sosial budaya tercermin dari bagaimana KUHP mengakomodasi Hukum Adat (Living Law). Ini adalah pengakuan bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk (Bhinneka Tunggal Ika). Dengan mengakui hukum adat, negara memperkuat kohesi sosial di tingkat lokal, mencegah konflik horizontal, dan menjaga identitas budaya bangsa agar tidak tergerus oleh nilai-nilai liberalisme ekstrem yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
C. Gatra Politik & Keamanan
Stabilitas keamanan tidak hanya dicapai dengan senjata, tetapi dengan kepastian hukum.
- Pengaturan yang jelas mengenai tindak pidana terorisme, makar, dan penghinaan terhadap simbol negara dalam KUHP baru bertujuan menjaga stabilitas politik.
- Namun, pendekatan restorative justice juga mengurangi potensi “dendam sosial” akibat penegakan hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah, yang jika dibiarkan dapat menjadi ancaman bagi ketahanan nasional.
Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP adalah sebuah lompatan sejarah. Ia bukan produk yang sempurna, namun ia adalah produk yang otentik dan dibuat oleh bangsa sendiri, untuk menjawab kebutuhan bangsa sendiri.
Dari perspektif politik hukum, ini adalah keberhasilan dekolonisasi. Dari perspektif agama, ini adalah upaya menjaga kesucian nilai spiritual di ruang publik. Dan dari perspektif Ketahanan Nasional, KUHP baru adalah instrumen strategis untuk memperkuat jati diri bangsa dan menjaga kedaulatan hukum di tengah dinamika global. Tugas kita selanjutnya adalah mengawal masa transisi ini agar “niat baik” pembentuk undang-undang tidak terdistorsi dalam pelaksanaannya di lapangan.