
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Semua mata menatap ke arahnya. Pertanda serius menyimak apa yang sedang disampaikannya. “Kita ini sebetulnya berpacu di ruang publik. Maka perlu kita warnai ruang publik dengan tulisan-tulisan positif.” Begitu arahan staf khusus Menteri Agama RI, Dr. Ismail Cawidu, M.Si. pada rapat koordinasi peningkatan tata kelola perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN), di Jakarta, Kamis (14 Agustus 2025). Kalimat arahan staf khusus ini pun membetot perhatian para rektor. Hingga mereka semua khusyuk mencernanya. Mengapa begitu? Karena mereka secara tegas diingatkan oleh staf khusus dimaksud atas tugas sosial kemasyarakatan-keumatan yang harus ditunaikan.
Ada tiga kata kunci dari kalimat arahan staf khusus Menteri Agama RI di atas. Ketiganya adalah “berpacu”, “ruang publik”, dan “tulisan-tulisan positif”. Ketiga kata kunci ini diikat dengan sebuah kata kunci lain yang berdimensi pesan penting: “mewarnai”. Kalimat arahan itu pun bermuara untuk mengingatkan para rektor agar selalu aktif terlibat dalam menyelesaikan urusan sosial kemasyarakatan-keumatan. Pengingatan ini menandakan bahwa ada catatan kritis atas masih lemahnya keterlibatan mereka dalam urusan sosial kemasyarakat-keumatan dimaksud.
Tentu penyebutan kata “rektor” dalam ungkapan Dr. Ismail Cawidu, M.Si. di atas dilakukan untuk mewakili keberadaan warga kampus secara umum. Ada dosen, tenaga kependidikan, dan ada pula mahasiswa. Para rektor itu diingatkan memiliki tanggung jawab sosial kemasyarakatan-keumatan yang tinggi nan melekat kuat pada diri masing-masing. Maka, saat kata “rektor” disebut, sejatinya mukhathab atau subyek pembicaraannya meraih masuk dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa yang menjadi bagian sentral dari warga kampus. Karena itulah, staf khusus Menteri Agama RI itu sejatinya menyasar semua warga kampus dimaksud.
Pesan moral Dr. Ismail Cawidu, M.Si. di atas, jika diungkapkan dengan bahasa serupa, akan berbunyi begini: Jangan telat hadir pada urusan sosial kemasyarakatan-keumatan. Kalimat “Kita ini sebetulnya berpacu di ruang publik” dalam ungkapannya seperti diuraikan sebelumnya menandakan bahwa pergerakan sosial yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat berlangsung sangat cepat. Kata “berpacu” secara partikular menandakan bahwa cepatnya pergerakan sosial dimaksud sangat kuat dirasakan hingga menyerupai laju dalam lintasan pacu. Untuk itu, keberadaan warga kampus tak boleh jauh-jauh dari pergerakan sosial yang cepat itu. Bahkan, harus hadir secara dekat.
Telat hadir berarti tanggung jawab itu tak ditunaikan dengan baik. Lebih-lebih, tak hadir sama sekali berarti mengkhianati tugas suci yang menempel kuat pada keberadaan dan peranannya. Mengajar memang tugas dosen dalam kapasitasnya sebagai pendidik. Tapi, hadir pada urusan sosial kemasyarakatan juga merupakan amanah dosen dalam kapasitasnya sebagai ilmuwan. Memang secara sempit, tugas ilmuwan itu memproduksi ilmu pengetahuan. Tapi, tak cukup hanya menjadi ilmuwan tradisional yang berkutat secara terbatas dengan urusan kelas pembelajaran. Dosen penting untuk menjadi ilmuwan organik yang tumbuh bersama masyarakat, dan kemudian menjadi bagian dari nafas hidup masyarakat itu.
Istilah ilmuwan tradisional dan organik di atas menyusu kepada konsep traditional dan organic intellectual milik Antonio Gramsci dalam karyanya berjudul Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci (1971:5-16). Dalam bangunan konseptualnya, Gramsci membedakan antara kedua jenis intelektual itu. Menurutnya, intelektual tradisional merupakan kategori yang bisa dikenakan kepada figur intelektual menara gading yang melakukan kongsi dan aliansi dengan kaum penguasa. Karena itu, intelektual kelompok ini cenderung konservatif terhadap perubahan sosial.
Sebaliknya, kata Gramsci, intelektual organik merupakan kategori yang bisa dipakai untuk mendeskripsikan figur atau kelompok intelektual yang mendedikasikan dirinya untuk perjuangan menuju kebaikan kelompok sosial masyarakatnya. Energinya tak hanya dibataskan kepada urusan produksi ilmu pengetahuan semata. Melainkan juga meluaskannya pada pelibatan diri dalam penyelesaian urusan publik untuk kepentingan perbaikan kualitas kehidupan mereka. Maka, intelektual organik tak akan jauh-jauh dari urusan keumasyarakatan-keumatan.

Pembedaan yang dibangun Gramsci di atas mengilhamiku untuk merumuskan ilmuwan tradisional dan organik dimaksud. Karena itu, penyebutan istilah “ilmuwan tradisional” dalam tulisanku ini serupa dengan istilah intelektual tradisional dalam konsepsi Gramsci di atas. Begitu pula yang terjadi pada konsep “organik” yang dapat diatribusikan secara serupa pada kata “intelektual” dan “ilmuwan” sebagaimana dimaksud. Aku meminjam konsep traditional dan organic intellectual milik Gramsci di atas untuk menegaskan pentingnya kehadiran dosen pada urusan publik, seperti yang dikehendaki oleh staf khusus Menteri Agama RI, Dr. Ismail Cawidu, M.Si. di atas.
Arahan staf khusus menteri di atas disampaikan untuk mengingatkan para akademisi untuk terlibat aktif mewarnai ruang publik. Maka pesannya, orang kampus hadirlah di ruang publik. Melalui berbagai keberkahan yang bisa dikontribusikan. Minimal melalui produksi gagasan dalam bentuk tulisan. Karena untuk kepentingan algoritma dalam komunikasi digital, yang dilihat adalah siapa yang berbicara. Siapa profil orang yang memproduksinya. Bukan lagi materi yang diperbicangkan. Itu semua dilakukan untuk membedakan posisi akademisi dengan buzzer.
Ruang Publik Keumatan
Frase “ruang publik” yang ditegaskan oleh staf khusus Menteri Agama RI di atas menunjuk kepada ruang yang menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya urusan sosial kemasyarakatan-keumatan. Memang ada yang disebut ruang privat dan ruang publik. Keduanya dipisahkan oleh kadar dan cakupan kebutuhan. Saat kadar dan cakupan kebutuhannya berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak, maka ruangnya bergerak ke dalam ranah ruang publik. Sebaliknya, saat kadar dan cakupan kebutuhannya berurusan dengan kepentingan orang-perorang yang sangat mungkin tak sama satu sama lain, maka urusannya sangat personal dan pergerakannya berhenti menjadi ruang privat.
Bergeraknya ilmuwan tradisional menjadi ilmuwan organik seperti diuraikan di atas tak lepas dari penunaian tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan keumatan. Semakin jauh dari penunaian tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan keumatan dimaksud, semakin dekat seseorang kepada derajat ilmuwan tradisional. Sebaliknya, semakin dekat dengan penunaian tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan keumatan dimaksud, semakin dekat seseorang kepada derajat ilmuwan organik. Akademisi yang melekat ke dalam dirinya peran dan fungsi tridharma sudha barang tentu diseyogyakan menjadi ilmuwan organic. Itulah yang diamanahkan staf khusus Menteri Agama RI, Dr. Ismail Cawidu, M.Si. di atas.
Dalam kontek itulah, maka semakin tinggi jabatan akademisi secara partikular dan warga kampus secara umum, semakin tinggi tanggung jawab sosial kemasyarakatan-keumatan yang harus mereka tunaikan. Sebaga contoh saja, mereka yang telah meraih jabatan tertinggi sebagai Guru Besar, tentu tanggung jawab sosial kemasyarakatan-keumatan yang harus mereka tunaikan juga semakin tinggi. Inilah yang menjelaskan mengapa dalam berbagai regulasi mengenai tenaga pendidik, dosen Guru Besar memiliki tanggung jawab menyebarkan ilmu pengetahuan ke seluas mungkin warga masyarakat.
Arti kehadiran
Kehadiran para Guru Besar sebagai representasi penting dari warga kampus bisa muncul dalam beragam bentuk. Doa memang bagian penting dari kehidupan. Tapi, sebagai pemegang kuasa akademik, para Guru Besar itu tak boleh berhenti hanya pada kontribusi doa. Sebab, ada kekuatan pikiran yang bisa disumbangkan. Kekuatan pikiran ini lahir menyusul kecakapan dan kompetensi akademik yang dimiliki sebagai pemegang jabatan tertinggi fungsional akademik. Karena itu, staf khusus Menteri Agama RI Dr. Ismail Cawidu, M.Si. di atas mengingatkan pentingnya para Guru Besar hadir dengan kekuatan pikiran yang dimiliki untuk membantu penyelesaian urusan sosial kemasyarakatan-keumatan.
Lalu mengapa tulisan disebut secara khusus oleh Dr. Ismail Cawidu, M.Si. di atas? Sederhana sekali penjelasannya. Kekuatan pikiran yang dimiliki para Guru Besar di atas sangat perlu dirumuskan. Dan, perumusan yang paling konkret dan sistematis atas kekuatan pikiran itu adalah melalui tulisan. Ceramah memang penting sebagai medan penyebaran pikiran. Itu pasti diakui oleh semua pihak. Tapi, tulisan tetap memiliki kelebihan yang tak bisa disaingi. Sebab, melalui ungkapan yang tertulis, pikiran-pikiran cerdas itu bisa terumuskan dengan baik. Publik pun lalu bisa menjadikan tulisan para Guru Besar itu sebagai bahan refleksi mendalam dan sekaligus arahan aksi untuk tindakan perbaikan.
Para pemegang amanah publik secara khusus dan warga masyarakat secara umum tentu sangat mengharapkan pikiran yang siap konsumsi. Apalagi, siapapun yang berprofesi sebagai dosen pasti lebih terkondisikan untuk menumpahkan pikiran-pikirannya ke dalam bentuk tulisan daripada selainnya. Termasuk juga ceramah lisan. Karena itu, mengingatkan mereka agar secara aktif terlibat dan hadir alam urusan-urusan sosial kemasyarakatan-keumatan melalui produksi tulisan adalah sesuatu yang sangat lazim. Catatan selama ini yang mengkritisi lemahnya keterlibatan dan kehadiran dosen, apalagi yang telah meraih jabatan Guru Besar, patut menjadi perhatian bersama. Agar yang pernah terjadi tak kembali berketerusan di masa kini dan mendatang.
Lalu, Apa Pelajarannya?
Menunjuk arahan staf khusus Menteri Agama RI Dr. Ismail Cawidu, M.Si. serta pembahasan mengenai ruang publik sosial kemasyarakatan-keumatan dan arti kehadiran akademisi di atas, ada tiga pelajaran penting yang bisa ditarik. Pertama, jangan abai pada urusan publik. Hadirlah dalam urusan kebersamaan mereka. Hadirnta tepat, dan jangan telat. Sebab, telat berarti abai. Telat berarti pembiaran. Maka, telat hadir berarti abai terhadap urusan publik. Telat berarti sama dengan melakukan praktik pembiaran terhadap urusan sosial kemasyarakatan dan keumatan. Padahal, konsep tridharma perguruan tinggi mempersyaratkan kehadiran yang dekat kepada urusan sosial kemasyarakatan dan keumatan dimaksud.
Memang, staf khusus Menteri Agama RI Dr. Ismail Cawidu, M.Si. di atas mengingatkan kehadiran para Guru Besar melalui sumbangsih dan produksi tulisan secara partikular. Tapi, sejatinya, kehadiran yang dituntutkan kepada para akademisi secara umum dan Guru Besar secara khusus di sini dapat diwujudkan ke dalam tiga bentuk dan atau cakupan pengertian: ruhiyan, fikriyan, atau jismiyan. Ruhiyan berarti kehadiran dimaksud diwujudkan dalam bentuk semangat dan perhatian pada urusan kemasyarakatan-keumatan. Urusan publik selalu berada dalam perhatian. Fikriyan bermakna kehadiran yang diwujudkan dalam bentuk produksi pemikiran untuk membantu menyelesaikan urusan kehidupan publik. Adapun cakupan makna jismiyan menunjuk kepada keterlibatan aktif dalam pendampingan dan atau pengabdian kepada masyarakat.
Tentu kehadiran dalam pengertian fikriyan sudah menunjukkan keterlibatan aktifnya dalam urusan publik. Tapi, Avram Noam Chomsky dalam konteks percaturan publik di Amerika bisa menjadi contoh partikular untuk menunjuk pengertian kehadiran dalam cakupan ruhiyan, fikriyan, atau jismiyan secara sekaligus. Dia tak hanya hadir lewat konsen, perhatian dan sentimen pribadinya dalam urusan publik. Dia juga hadir lewat produksi pemikiran dan sekaligus praktik diri melalui pendampingan dan pengabdian dalam urusan publik.
Berangkat dari kehaliannya dalam bidang lingusitik, dia kemudian aktif memproduksi gagasan akademik di ruang yang lebih luas. Politik dan sosial ekonomi adalah di antaranya. Lihatlah karya-karyanya pasca produki magnum opus-nya dalam bidang linguistik yang terkenal Syntactic Structures (The Hague: Mouton and Company, 1957).Di sana ada karyanya yang berjudul Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965) dalam bidang kajian linguistik dan Pirates and Emperors: International Terrorism in the Real World (Amana Books, Inc., 1986) dalam kajian politik internasional. Melalui produksi gagasan hingga aktivisme sosial itu, Avram Noam Chomsky telah memberikan pelajaran konkret bagaimana menerjemahkan kehadiran akademisi secara umum dan Guru Besar secara khusus dalam bentuk dan cakupan pengertian ruhiyan, fikriyan, atau jismiyan di atas.

Kedua, hadirkanlah pikiran-pikiran cerdas yang dimiliki itu dalam bentuk tulisan agar bisa memandu pergerakan masyarakat. Tentu, menceramahkan pikiran-pikiran cerdas itu perlu, dan masyarakat pun juga membutuhkan produksi pemikiran melalui ceramah-ceramah itu. Tetapi jangan berhenti di situ. Jangan mencukupkan diri di ruang itu. Perluaslah produksi gagasan dan pemikiran-pemikiran cerdas itu ke dalam bentuk tulisan. Karena memang salah satu kodrat akademisi adalah menulis. Juga, tulisan memiliki kekuatan reflektif (reflective power) yang kuat bagi sebuah perubahan.
Karena itu, mengukur telat atau tidaknya kehadiran akademisi pada urusan publik sangat sederhana. Makna telat hadir pada urusan publik dimaksud bisa dilihat dari lemahnya produksi gagasan dan pemikiran dalam bentuk tulisan. Memang kehadiran bisa diwujudkan ke dalam tiga bentuk dan cakupan pengertian, yakni ruhiyan, fikriyan, atau jismiyan seperti diuraikan di atas, namun tulisan sudah bisa menandai dua bentuk dan cakupan yang disebut pertama. Yakni ruhiyan dan fikriyan. Tulisanbisa menandakan konsen dan perhatian terhadap urusan publik serta sekaligus mencerminkan pemikiran yang diproduksi untuk mengurai dan memecahkan masalah yang menjadi kepentingan sosial kemasyarakatan dan keumatan itu.
Ketiga, jadilah intelektual organik yang tumbuh bersama dan sekaligus bisa menjadi suara publik. Kita selama ini mengenal istilah “menara gading”. Dalam konteks pemikiran Gramsci seperti disebut di atas, istilah ini di antaranya menunjuk kepada mengaitnya akademisi dengan penguasa. Tapi, dalam konteks Indonesia, istilah tersebut lebih menunjuk ke arah abainya akademisi terhadap urusan sosial kemasyarakatan-keumatan. Hidupnya hanya di antara rumah, kelas, dan perpustakaan/ruang penelitian. Apa yang tumbuh, berkembang, dan terjadi di tengah masyarakat tak pernah menjadi perhatiannya. Nah istilah “menara gading” ini tidak menjadi kosa kata yang menempel ke intelektual organik. Sebab, intelektual organik lebih membuat akademisi dekat dengan kehidupan masyarakat. Wujud minimalnya adalah perhatian terhadap urusan publik.
Perhatian terhadap urusan publik bisa ditumbuhkan dan dikembangkan melalui kebersamaan aktif dalam dinamika kehidupan mereka. Dengan kebersamaan aktif ini, seorang ilmuwan lebih empatik kepada warga masyarakat. Dia bukan datang untuk menggurui. Melainkan hadir untuk membangkitkan kesadaran internal dalam diri individu dan gugusan individu di tengah masyarakat bahwa mereka bisa berdaya dengan kekuatan sendiri. Dengan begitu, mereka bisa menjadi tuan bagi diri dan nasibnya sendiri. Tak bergantung kepada sesamanya.
Dengan pertimbangan itu, maka ungkapan mutiara hikmah di atas ikut berubah seperti ini: undhur ma qala wa undhur man qala. Lihatlah apa yang dikatakan, dan lihat pula siapa yang mengatakan. Bukan substansi materi semata yang penting, tapi juga profil dari figur yang memproduksi yang juga penting. Dalam kaitan inilah, posisi Guru Besar begitu pentingnya bagi produksi materi yang bisa dikonsumsi oleh publik. Dengan kekuatan pikiran yang dimiliki serta kekuatan kemandirian-obyektifitas yang dipertontonkan, dosen secara umum dan Guru Besar secara khusus akan dapat menyumbangkan banyak hal kepada perbaikan kualitas hidup masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan pertimbangan itu, maka ungkapan mutiara hikmah di atas ikut berubah seperti ini: undhur ma qala wa undhur man qala. Lihatlah apa yang dikatakan, dan lihat pula siapa yang mengatakan. Bukan substansi materi semata yang penting, tapi juga profil dari figur yang memproduksi yang juga penting. Dalam kaitan inilah, posisi Guru Besar begitu pentingnya bagi produksi materi yang bisa dikonsumsi oleh publik. Dengan kekuatan pikiran yang dimiliki serta kekuatan kemandirian-obyektifitas yang dipertotonkan, dosen secara umum dan Guru Besar secara khusus akan dapat menyumbangkan banyak hal kepada perbaikan kualitas hidup masyarakat, bangsa dan negara.

Kekuatan pikiran dan kemandirian-obyektifitas di atas telah membedakan mereka para akademisi itu dari buzzer. Lebih-lebih saat kekuatan pikiran dan kemandirian-obyektifitas datang dari para Guru Besar. Tentu, bukan buzzer yang akan mewarnai ruang publik, melainkan para akademisi hebat yang akan mengkerangkai. Maka, jangan telat hadir pada urusan sosial kemasyarakatan-keumatan. Itu semua dibutuhkan agar ruang publik kondusif bagi mengembangnya kebajikan bersama. Bahkan lebih dari itu: agar mahkota ruang publik tak terenggut oleh mendominasinya praktik buruk sejumlah pihak akibat telat dan bahkan absennya kehadiran para insan akademik yang mulia itu.