
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Pertemuan akan segera dilakukan malam itu, Jumat (03 Oktober 2025). Antara mahasiswa empat kohot (angkatan) dan pimpinan Lembaga Pengembangan Pesantren dan Diniyah (LPPD) Jawa Timur. Tempatnya di Wisma Nusantara, Kairo, Mesir. Wisma itu merupakan gedung hasil pembelian Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) tahun 1995. Mahasiswa empat kohot itu para penerima beasiswa LPPD Jawa Timur, baik jenjang program sarjana S1 maupun magister S2 di Universitas Al-Azhar, Kairo. Malam itu memang sedang akan diselenggarakan monitoring dan evaluasi atas prestasi dan perkembangan kemajuan kuliah mereka.
Monitoring dan evaluasi itu dilakukan oleh LPPD untuk memastikan kuliah para mahasiswa yang mendapatkan beasiswa LPPD di program S1 dan S2 di Universitas Al-Azhar di atas dalam kinerja terbaik. Termasuk juga menyelesaikan problem teknis jika memang ada. Namun yang tak kalah pentingnya adalah kegiatan itu sekaligus untuk kepentingan seleksi penerimaan beasiswa S2 atau program magister untuk tahun 2025. Lalu, berbincanglah kami berempat dalam perjalanan menuju Wisma Nusantara di atas malam itu. Membincangkan program berkelanjutan pengadaan dan pengelolaan beasiswa ke Universitas Al-Azhar Kairo oleh Gubernur Jawa Timur di atas itu.
“Ngapain Bu Gubernur membuat program berkelanjutan pengadaan beasiswa dalam jumlah besar itu? Kenapa pula beliau sendiri yang berinisiatif untuk memberikan beasiswa program S2 dan S3, baik di dalam maupun luar negeri, Termasuk di Universitas Al-Azhar itu? Tak cukupkah hanya beasiswa untuk program S1? Kenapa?” Demikian sejumlah pertanyaan retorik yang kusampaikan kepada Prof. Dr. KH. Abdul Halim Subahar dan Prof. Dr. KH. Muhibbin Zuhri, masing-masing selaku ketua dan sekretaris LPPD Jawa Timur, dan KH. Abdul Hadi Nur, Lc., pengasuh Pesantren Nurul Qadim Kabupaten Probolinggo. Kebetulan kami berempat sedang ditugaskan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk melakukan seleksi calon penerima beasiswa S2 di Universitas Al-Azhar, Kairo itu. Juga ada KH Mukhlashon Jalaluddin yang menjadi abah bagi para mahasiswa LPPD di kampus itu.

Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu hanya retorik semata. Karena kami berempat sudah tahu jawabannya. Tapi bukan itu yang ingin kami tuju dengan pertanyaan-pertanyaan itu sebetulnya. Melainkan, kekaguman yang ingin kami bincangkan atas program pemberian beasiswa S1, S2, dan S3 bagi warga Jawa Timur yang dikembangkan oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa itu. “Sebab, kalau berpikir pendek, tentu program itu tak akan bisa segera diketahui buahnya,” sahutku tegas. “Tentu pula, tak akan bisa dirasakan manisnya sang buah dalam waktu segera,” tambahku untuk meyakinkan. “Itu pasti investasi jangka panjang!” pungkasku.
“Lalu, kenapa Bu Khofifah mengambil pilihan kebijakan itu?” tanyaku untuk mengundang pembicaraan lebih dalam. “Ini kalau bukan karena visi yang besar, tentu tak akan ada pimpinan pemerintahan daerah yang mengambil pilihan kebijakan seperti itu,” ujarku lebih lanjut. Karena itu, kusampaikan keyakinanku kepada tiga orang yang bersamaku menuju Wisma Nusantara Kairo itu. Kubilang begini, “Pasti ada rahasia besar di balik kebijakan itu.” Ya, kebijakan penyediaan dan pengelolaan beasiswa S1 hingga S3 bagi warga Jawa Timur oleh Gubernur, termasuk ke Universitas Al-Azhar, itu pasti memiliki rahasia besar di baliknya. Dan itu yang penting untuk diungkap dan menjadi pelajaran bersama.
Apalagi, kita semua tahu, kataku kepada empat orang di atas, bahwa program beasiswa adalah program investasi jangka panjang. Sementara, bagi banyak pemimpin politik pemerintahan, investasi jangka pendek tentu jauh lebih menarik bagi kepentingan pendulangan keuntungan pribadi (personal benefit) sang pemimpin daripada investasi jangka panjang semacam pemberian beasiswa S1, S2, dan S3 di atas. Mengapa? Karena hasilnya segera bisa diklaim sebagai produk kebijakannya. Sementara kalau investasi jangka panjang, sang pemimpin politik pemerintahan itu mungkin tak ikut merasakan dampaknya segera. Karena itu, dia pun tak akan bisa mengklaim hasil kebijakannya dengan segera.
Karena itu, pertanyaan-pertanyaan di atas penting diutarakan untuk menyibak rahasia-rahasia besar di balik kebijakan penyediaan dan pengelolaan beasiswa dalam jumlah besar itu. Apalagi, dalam satu periode pemerintahannya yang pertama (1998-2023), Gubernur Jawa Timur itu sudah berhasil mengkuliahkan 6.876 warga Jawa Timur. Dari jumlah itu, telah lahir para doktor dan magister dari kampus-kampus ternama di Jawa Timur. Bahkan sudah puluhan pula yang telah terfasilitasi untuk kuliah S2 di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Detailnya bisa dilihat pada data LPPD Dalam Angka di bawah. Tentu angka-angka sebanyak itu berkontribusi besar bagi pengembangan sumber daya manusia yang bermutu di Jawa Timur. Tentu program penyediaan beasiswa kuliah lintas jenjang itu investasi besar tapi jangka panjang.

Lalu apa sejatinya rahasia di balik kebijakan strategis penyediaan dan pengelolaan beasiswa kuliah lintas jenjang itu? Isyarat kuat lalu diberikan oleh Prof. Dr. KH. Abdul Halim Subahar sebagai jawaban atas rahasia besar di atas. Dalam arahannya saat memulai kerja monitoring dan evaluasi di Wisma Nusantara Kairo malam itu, selubung rahasia besar itu dibuka perlahan tapi pasti olehnya. “Mengapa sih ada pemberian beasiswa, termasuk S2 di Universitas Al-Azhar ini?” tanya Prof. Halim, panggilan akrabnya, secara retorik kepada para mahasiswa penerima beasiswa S1 dan S2 di Al-Azhar itu. “Ibu Gubernur ingin ada percepatan pengembangan sumber daya manusia di Jawa Timur yang berkualitas,” begitu tukasnya.
Pemimpin Visioner
Kerja pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas itu adalah kerja jangka panjang. Dan aku yakin pemimpin dengan pengalaman banyak dan panjang sekelas Bu Khofifah Indar Parawansa di atas sangat sadar dan paham soal itu. Tapi, kata kunci “percepatan” yang dijelaskan Prof. Halim Subahar di atas mengilustrasikan dan menegaskan soal visi besar gubernur perempuan pertama Jawa Timur itu. Pengembangan sumber daya manusia memang program jangka panjang. Tapi, bukan berarti program jangka panjang itu tak perlu diintervensi. Bukan berarti tidak bisa diikhtiarkan lebih baik. Sama sekali bukan. Tetap semua itu bisa lakukan.
Program jangka panjang akan tetap berdimensi waktu panjang jika tak dilakukan intervensi. Tapi, saat intervensi diberikan, maka ikhtiar terbaik sedang dilakukan. Karena itu, intervensi yang terukur melalui kebijakan strategis merupakan ikhtiar jitu yang dibutuhkan dan sekaligus bisa dilakukan. Di titik inilah visi seorang pemimpin diuji. Kecakapan manajerialnya sedang ditakar. Apakah dia akan menerima begitu saja dimensi jangka panjang itu, ataukah dia akan melakukan kebijakan strategis untuk mengintervensi dimensi jangka panjang itu hingga muncul ikhtiar serius untuk mengubahnya demi kebutuhan terkini dan mendatang yang tak bisa ditawar-tawar kembali.
Kata “percepatan” yang diutarakan ulang oleh ketua LPPD Jawa Timur Prof. Halim Subahar di atas menjelaskan bahwa intervensi terukur itu telah dilakukan oleh Gubernur Khofifah Indar Parawansa. Melalui penyediaan dan pengelolaan beasiswa untuk program sarjana S1, magister S2, dan doktoral S3, baik di dalam maupun luar negeri, Bu Gubernur itu sedang menunjukkan betapa kebijakan strategis itu penting bagi perubahan nasib banyak orang. Yang berdimensi waktu panjang bisa diperpendek. Yang hampir diyakini mustahil pun bisa juga dihadirkan dalam waktu segera. Semua itu adalah bagian dari kerja strategis yang diwakili oleh kata “percepatan” atas kebijakan Gubernur seperti dalam ilustrasi Ketua LPPD di atas.
Orang sering bilang, semua sudah ada garis tangannya. Tapi, kenapa pula orang lupa, bahwa garis tangan kerap tak akan bisa lurus-lurus juga jika tak ada campur tangan. Nah, campur tangan itu adalah kebijakan publik. Gubernur Jawa Timur sedang mengajarkan kepada kita semua bahwa pemimpin publik itu harus hadir dengan campur tangan yang konkret melalui kebijakan strategis yang menentukan hajat hidup orang banyak. Penyediaan dan pengelolaan beasiswa untuk program sarjana S1, magister S2, dan doktoral S3, baik di dalam maupun luar negeri, di atas hanya salah satu dari contoh kebijakan strategis untuk mengubah garis tangan warganya yang berjangka panjang menuju kondisi nasib yang lebih baik dalam waktu yang bisa segera diupayakan.
Bukankah mereka yang melakukan praktik seperti itu disebut dengan pemimpin visioner? Pemimpin jenis ini cerdas membaca masa depan. Cakap memahami masalah hari ini. Dan terampil menjadikan masa lalu untuk menjadi bekal dalam menjalani hari ini dan menyongsong tantangan masa depan. Gabungan antara keterampilan mengevaluasi dan merefleksikan masa lalu, kecakapan mengelola kebutuhan hari ini, serta kecerdasan membaca tantangan masa depan membekali pemimpin visioner itu dengan kepiawaian dalam menavigasi penunaian amanah yang diembannya untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umum di bawah kepemimpinannya.
Lalu Apa Pelajarannya?
Penyediaan dan pengelolaan beasiswa S1, S2, dan S3 bagi warga Jawa Timur di atas memang hanya satu contoh kecil dari kerja kepemimpinan yang visioner di atas. Tentu masih banyak kerja-kerja lain yang bisa digunakan untuk menunjuk kepemimpinan visioner itu. Tapi, minimal, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di atas telah memberi pelajaran penting tentang bagaimana menjadi pemimpin visioner itu. Tentu tulisan ini tidak dalam konteks untuk mengglorifikasi siapapun dalam kapasitas apapun di mata kepentingan penciptaan kemaslahatan publik. Tapi, melalui kebijakan penyediaan dan pengelolaan beasiswa kuliah di atas, Gubernur Jawa Timur itu telah menjadi contoh yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari kita.
Artinya, tak perlu jauh-jauh dalam mengambil contoh untuk kepemimpinan visioner itu. Sebab, di dekat kehidupan kita bersama ada teladan baik yang bisa dicontoh. Perhatian mungkin juga bisa diberikan kepada para pemimpin lain yang bisa diteladani. Tapi minimal, kita sudah bisa mengambil satu teladan penting di antara yang mungkin ada di tengah-tengah masyarakat. Dan, praktik kebijakan yang dipertontonkan oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di atas menjadi teladan penting dimaksud. Karena itu, kebajikan itu harus diungkap agar bisa menjadi pelajaran bagi siapa saja yang menginginkan kemuliaan dalam ruang hidup bersama.

Untuk kepentingan itulah, aku mencatat tiga pelajaran penting dari kepemimpinan visioner kebijakan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa melalui kebijakan penyediaan dan pengelolaan beasiswa S1, S2 dan S3, baik di alam dan luar negeri di atas. Ketiga pelajaran itu bisa diuraikan sebagaimana berikut ini. Pertama, sekali menjadi pemimpin jangan pernah kesampingkan kesempatan. Sebab, tak setiap diri bisa menduduki kursi pemimpin. Minimal, tak setiap diri berkesempatan menjadi pemimpin. Pemimpin apa saja dalam maksud ini. Formal atau informal. Meskipun begitu, pemimpin formal di ruang publik menjadi perhatian khusus dalam pembahasan ini. Karena di tangannya terbenam kesempatan untuk menebarkan kemaslahatan umum.
Maka, sangat disayangkan jika kesempatan untuk bisa menebar kebajikan seluas-luasnya melalui kebijakan publik yang berada dalam kewenangannya tak dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk penciptaan kebajikan bersama itu. Sebab, kalau itu terjadi, maka sebetulnya amanah kepemimpinan yang dimiliki tak memberi manfaat banyak kepada publik kecuali manfaat pribadi yang hanya bisa dinikmati oleh dirinya sendiri. Sebut saja kuasa publik, fasilitas jabatan hingga tunjangan sebagai contoh kecil dari manfaat pribadi yang dimaksud tadi.
Karena itu, jangan sia-siakan kesempatan saat diamanahi sebagai pemimpin. Bahkan dalam bahasa yang ekstrem, menyiakan-nyiakan kesempatan dimaksud adalah sebuah pengkhianatan. Pengkhianatan terhadap apa? Ya, pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan oleh publik kepadanya. Bahkan dalam perspektif spiritual, menyia-nyiakan amanah jabatan termasuk pengkhianatan terhadap amanah yang Allah SWT berikan kepadanya dalam mengemban kewenangan atas urusan publik. Maka, jika penyia-nyiaan kesempatan kepemimpinan itu terjadi, kehadirannya di ruang publik sama dengan tak adanya. Dan itu tentu tidak mencerminkan kepentingan untuk menghadirkan-Nya ke dalam pengelolaan urusan publik.
Kedua, visioner memang penting bagi pemimpin, tapi nilai itu harus diterjemahkan ke dalam praktik kebijakan yang terukur nan strategis. Ukuran terukur nan strategis ini terletak dari nilai transformatif yang ditimbulkan. Yakni, tingkat perubahan yang timbulkan dari kebijakan yang diambil untuk sebesar-besarnya kemaslahatan publik dalam waktu yang segera walaupun dimensinya jangka panjang. Melalui kebijakan penyediaan dan pengelolaan beasiswa program sarjana S1, magister S2, dan doktoral S3 yang diuraikan di atas, Gubernur Jawa Timur Khofiah Indar Parawansa telah memberi contoh konkret bagaimana nilai kepemimpinan visioner itu diterjemahkan dengan melakukan percepatan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.

Artinya, perubahan yang ditimbulkan oleh sebuah kebijakan publik yang dilahirkan sangat terukur dan konkret. Hingga yang berjangka panjang pun bisa diintervensi melalui percepatan. Yang tampak hampir mustahil pun juga bisa dilakukan dalam penyegeraan yang terukur. Semua itu menjadi bukti bahwa kepemimpinan visioner itu harus diterjemahkan dan ditindaklanjuti melalui kebijakan yang transformatif. Dampaknya pun segera bisa dirasakan oleh sebanyak-banyaknya warga masyarakat yang berada di bawah kepemimpinannya. Dengan begitu, nilai kepemimpinan visioner itu bukan sekadar wacana, melainkan praktik konkret yang berdampak luas.
Ketiga, memang menjadi pemimpin visioner tak tiba-tiba muncul, melainkan hasil proses tempaan pengalaman yang panjang. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memberi pelajaran menarik: Pengalaman bagaimana visionernya kepemimpinan dengan intervensi kebijakan yang terukur nan strategis yang ditunjukkannya dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Jawa Timur menjadi bukti bahwa tempaan pengalaman yang panjang adalah kata kunci. Rekam jejaknya dalam kepemimpinan sejak mahasiswa hingga menjadi pemimpin ormas perempuan terbesar di Indonesia menjadi bukti konkret atas tempaan pengalaman sebagai kata kunci untuk menjadi pemimpin visioner itu. Pengalaman kepemimpinan politiknya sebagai Menteri melengkapi catatan atas rekam jejak pengalaman sosial itu.
Maka, siapapun hendaknya tak pernah mengabaikan kesempatan hidupnya untuk bersosialisasi ke seluas mungkin gugusan kelompok sosial untuk sebuah kepemimpinan sosialnya. Sebab, semua pengalaman kepemimpinan sosial itu pasti baik. Mungkin seseorang tak bisa merasakan dampak positif aktivitas kepemimpinan sosialnya saat dia berproses. Tapi, pelan namun pasti, semua pengalaman kepemimpinan sosial itu akan memberikan kecakapan tertentu yang dibutuhkan bahkan saat dia mendapatkan kesempatan kepemimpinan formal birokrasi. Dan, Bu Khofifah Indar Parawansa lahir dari proses panjang kepemimpinan sosial itu, hingga saat mendapatkan amanah sebagai Gubernur Jawa Timur pengalaman itu terefleksikan ke dalam visionernya kepemimpinannya.
Saat kepemimpinan dioptimalkan melalui kebijakan yang terukur nan strategis, dampaknya sungguh sangat luas. Karena itu, berpuas diri dengan menjadi pemimpin atau meraih jabatan pimpinan di ruang publik saja tak cukup. Sebab, kepemimpinan harus disempurnakan melalui kepiawaian dalam menavigasi penunaian amanah yang diembannya melalui intervensi kebijakan secara transformatif. Ujungnya adalah lahirnya seluas-luasnya kemaslahatan publik. Semua karakter kepemimpinan tak akan jauh-jauh dari kewajiban untuk melahirkan kebajikan publik. Bahkan, atas kebutuhan realisasi nilai kebajikan yang berdimensi waktu jangka panjang pun, kekuasaan bisa ditransformasikan ke dalam praktik intervensi berupa kebijakan.