Ulama, Kekuasaan, dan Harga Sebuah Jarak
Mengapa sejarah selalu mencatat ulama paling berwibawa justru ketika mereka berani menolak godaan istana
Mukhammad Zamzami

Imam al-Bukhari (w. 870 M) berdiri di hadapan utusan gubernur Khurasan. Pesan penguasa sederhana: datanglah ke istana, ajari anak-anak pejabat ilmu hadis. Bagi kebanyakan orang, itu kehormatan, jalan lapang menuju kedekatan dengan kekuasaan. Tapi jawaban Bukhari membuat telinga kaku: “Silakan anak-anak Anda belajar ke madrasah hadis.”
Kalimat pendek itu adalah perlawanan. Tak kasar, tapi tegas. Tak frontal, tapi menggores harga diri istana. Hasilnya tragis. Bukhari diasingkan ke sebuah desa, hidup dalam sunyi, hingga wafat. Nama gubernur yang mengasingkannya hilang ditelan waktu. Tapi Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, kitab yang disusunnya, menjadi teks yang dibaca jutaan orang hingga hari ini (al-Dhahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’).
Awal Retakan
Pertanyaan besar pun lahir: mengapa ulama dan penguasa sering tak akur? Retakan itu sesungguhnya sudah muncul sejak politik Islam berubah bentuk.
Empat khalifah pertama masih dianggap mampu menyatukan otoritas agama dan politik. Tapi setelah Ali terbunuh dan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah, kursi khalifah menjadi tahta dinasti. Tragedi Karbala, saat Husein cucu Nabi dibantai, menjadi luka sejarah.
Ahmet T. Kuru (Islam, Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment, 2019) menegaskan, hanya “al-Khulafā’ al-Rashidūn” yang diakui menyatukan agama dan politik. Sesudah itu, klaim religius khalifah tinggal simbol. Otoritas agama perlahan pindah ke pundak ulama.
Negara Selalu Mencoba
Namun, negara tak pernah rela kehilangan monopoli. Dari istana Damaskus hingga Baghdad, penguasa selalu mencari ulama untuk melegitimasi kekuasaannya. Ulama pun diuji: ikut menyokong, atau menjaga jarak.
Sejarah penuh kisah pahit. Abu Hanifah (w. 767 M) menolak jabatan hakim Abbasiyah. Ia dipenjara, disiksa, dan, menurut sebagian riwayat, diracun (al-Khatib al-Baghdadi, Tārīkh Baghdād). Malik bin Anas dicambuk karena fatwanya dianggap melawan penguasa (Ibn ‘Abd al-Barr, al-Intiqā’). Ahmad bin Hanbal (w. 855 M) dipukul dalam peristiwa Miḥnah, ujian ideologi Abbasiyah (Ibn al-Jawzi, Manāqib Aḥmad). Ja‘far al-Shadiq (w. 765 M) pun diyakini diracun atas intrik politik istana (al-Mufid, al-Irshād).
Bahkan Imam Syafi’i (w. 820 M) tak luput. Saat muda, ia menerima jabatan hakim di Najran. Keadilannya membuat pejabat setempat sakit hati. Ia dituduh bersekongkol dengan gerakan Alawiyin, ditangkap, dan dibawa ke Baghdad. Harun al-Rasyid (w. 809 M) hampir menjatuhkan hukuman mati, sebelum ia diselamatkan Muhammad bin Hasan al-Syaibani (w. 805 M) , ulama besar Hanafi. Peristiwa itu, dicatat Ibn Hajar dalam Ṭabaqāt al-Shāfi‘iyyah, dan dibahas Mohammad Fadel dalam artikelnya “A Tragedy of Politics or an Apolitical Tragedy” [2008]. Sejak itu Syafi’i lebih hati-hati menjaga jarak dari kekuasaan.)
Ironinya, mereka yang dijatuhkan negara justru berdiri lebih tinggi dalam sejarah. Nama para khalifah sering tenggelam dalam daftar panjang, sementara nama ulama tetap hidup dalam doa dan kitab.
Bayangan di Negeri Kita
Polanya berulang. Di negeri-negeri Muslim hari ini, termasuk Indonesia, tarik-ulur itu terus hidup. Pemerintah butuh legitimasi moral dari ulama. Ulama butuh ruang independensi agar tak terseret jadi stempel.
Ketika ulama terlalu dekat dengan kekuasaan, mereka rawan kehilangan wibawa. Sebaliknya, menjaga jarak sering dianggap pembangkangan. Tapi sejarah berkali-kali membuktikan: justru mereka yang menolak bujukan istana yang dikenang panjang.
Harga Sebuah Jarak
Ada harga yang harus dibayar untuk menjaga jarak. Abu Hanifah membayarnya dengan racun. Malik dengan cambuk. Ahmad dengan pukulan. Syafi’i dengan penjara. Bukhari dengan pengasingan.
Semua pelajaran itu mengerucut pada satu hal: otoritas moral ulama tak bisa dibeli dengan jabatan atau gelar. Ia justru lahir dari keberanian menolak.
Ulama yang terlalu dekat dengan penguasa mungkin hidup nyaman. Tapi sejarah sering melupakan mereka. Sebaliknya, ulama yang memilih menanggung derita justru dikenang sebagai mercusuar integritas.