



Surabaya, 24 Oktober 2025 — Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menggelar Muktamar Ilmu ‘Arudh pertama di Indonesia dengan tema “Revitalisasi Ilmu ‘Arudh: Tradisi, Inovasi, dan Tantangan di Era Digital-AI”. Acara monumental ini berlangsung di Gedung Tower Teungku Ismail Yaqub lantai 9, Kampus A. Yani, UINSA, dan dihadiri puluhan delegasi pondok pesantren, Ma’had Aly, serta perwakilan dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Kegiatan dimulai pukul 08.30 WIB dengan dibuka oleh MC dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Hymne UINSA yang diikuti dengan khidmat oleh seluruh peserta. Kemudian berlanjut ke sambutan Rektor UINSA, Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D. Dalam sambutannya, Rektor menegaskan pentingnya menghidupkan kembali ilmu-ilmu klasik pesantren seperti ‘arudh, falak, dan hadis. Beliau juga menambahkan bahwa perguruan tinggi tidak boleh meninggalkan Pesantren dan Kyai, sebab UIN Sunan Ampel tidak akan pernah ada jika tidak ada Pesantren dan Kyai. Beliau juga sedikit menceritakan asal muasal UIN Sunan Ampel berdiri. Dalam pernyataannya, UIN Sunan Ampel dibangun atas dasar sumbangan-sumbangan tanah yang dibeli para Kyai lalu diserahkan kepada negara agar lulusan-lulusan pesantren juga bisa menempa pendidikan S1. Rektor UINSA tersebut juga menyampaikan tujuan dari digelarnya kegiatan Muktamar Ilmu ‘Arudh ini.
“…Muktamar Ilmu ‘Arudh ini bertujuan untuk ikhya’ ulumuddin versi lain dengan menghidupkan kembali ilmu-ilmu pesantren yang mulai langka,” tegasnya.
Beliau juga berharap agar di tahun berikutnya kegiatan Muktamar Ilmu ‘Arudh bisa kembali digelar dengan diawali oleh pegelaran lomba Syi’ir.
Kegiatan ini berlangsung dengan khidmat karena setiap sesi diskusi, dibawakan oleh pemateri luar biasa yang pada sesi pertama dibuka oleh Drs. KH. Muh. Alwi Yunus, M.Ag. Beliau menyampaikan materi dengan tema “Mengkaji Jejak Historis Ilmu ‘Arudh di Pesantren, Madrasah, dan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia.” Dalam penyampaiannya, ia menekankan bahwa seseorang dapat disebut ahli ‘arudh bila mampu menulis kitab dalam bentuk nadhom. Menurutnya, tantangan terbesar saat ini adalah betapa minimnya tenaga pengajar ahli di bidang ‘arudh.
Dilanjutkan materi kedua yang disampaikan oleh KH. Nuris Zain Tibyan dengan tajuk “Ilmu ‘Arudh dalam Tradisi dan Inovasi Kontemporer.” Beliau menjelaskan bahwa ‘arudh lahir dari tradisi lisan Arab sebelum adanya aksara, dan bahwa karakteristik bahr dalam syair sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis penyair. Kedua sesi ini dimoderatori oleh Masna Hikmawati, M.A., dosen Prodi Bahasa dan Sastra Arab UINSA.
Setelah sesi tanya jawab interaktif dan istirahat salat Jumat, acara dilanjutkan dengan Materi 3 oleh Dr. (H.C.) K.H. Zulfa Mustafa berjudul “Mengembangkan Skill Malakah Syi’riyah di Era Kontemporer”. Dalam penyampaian materi ketiga ini, ditekankan bahwa meskipun ilmu ‘Arudh tergolong langka dan sulit, justru kesulitan inilah yang membuatnya berharga untuk terus dipelajari dan dilestarikan, agar tidak hilang ditelan zaman.
Kemudian acara berlanjut pada Materi 4 oleh Prof. Dr. Mas’an Hamid, M.Ag. berjudul “Perjalanan Panjang dalam Mengajarkan Ilmu ‘Arudh dan Qawafi di Dunia Akademik.” Dalam materi ini, beliau mengajak peserta untuk kembali mengenal dan mempelajari ilmu ‘Arudh, serta membedakannya dengan ilmu-ilmu lainnya melalui contoh-contoh praktis yang memperlihatkan kekhasan dan keindahan ilmu tersebut.
Kedua sesi sore ini dimoderatori oleh H. Abdul Wahab Naf’an, M.A., Ph.D., yang juga menjadi penggagas awal ide penyelenggaraan muktamar.
Khidmatnya kegiatan ini, pastinya tak luput dari usaha panitia penyelenggara. Dalam wawancara eksklusif, Dr. H. Mirwan Akhmad Taufiq, Lc., M.Ed., M.A., selaku Kepala Jurusan Fakultas Adab dan Humaniora, menjelaskan bahwa ide muktamar ini lahir dari inisiatif Rektor UINSA setelah diskusi dengan Dr. Abdul Wahab Naf’an yang baru kembali dari Mesir.
“Ada beberapa ilmu langka pesantren yang perlu kita hidupkan kembali, salah satunya ilmu ‘arudh. Kini, sangat sedikit pesantren atau kampus yang mengajarkannya, bahkan mencari pengajarnya pun sulit,” jelas Ustadz Mirwan.
Beliau menegaskan bahwa Muktamar Ilmu ‘Arudh ini baru pertama kali diadakan secara nasional yang diikuti oleh berbagai pesantren, Ma’had Aly, dan perguruan tinggi yang memiliki Program Studi Bahasa dan Sastra Arab (BSA). Menurutnya, acara ini menjadi langkah awal untuk membangkitkan kembali perhatian terhadap ilmu yang dahulu menjadi ciri khas pesantren.
Tak cukup sampai di situ, kegiatan yang diharapkan akan menjadi cikal bakal Asosiasi Pemerhati Ilmu ‘Arudh ini, juga menyempatkan untuk menggelar sebuah Forum Group Discussion (FGD) dan menghasilkan empat rekomendasi penting:
- Menggalakkan pembuatan syi’ir meskipun belum sempurna.
- Menambah jam pelajaran atau kelas Ilmu ‘Arudh di pesantren dan perguruan tinggi.
- Mengadakan lomba membuat syi’ir dalam ajang Musabaqah Qiraatil Kutub tingkat nasional.
- Membentuk wadah resmi pemerhati Ilmu ‘Arudh dengan nama Asosiasi Pemerhati Ilmu ‘Arudh, yang secara resmi dideklarasikan di UINSA pada 24 Oktober 2025.
Dalam FGD tersebut juga dilakukan deklarasi pembentukan Asosiasi Pemerhati Ilmu ‘Arudh, dengan menetapkan H. Abdul Wahab Naf’an, M.A., Ph.D. (Dosen Fakultas Adab dan Humaniora) sebagai Ketua dan Ustadz Muhammad Ahmadi (Guru Pondok Pesantren Langitan) sebagai Sekretaris Jenderal.
Ustadz Mirwan juga menambahkan bahwa meskipun cakupan acara masih terbatas karena waktu dan persiapan singkat, antusiasme peserta sangat tinggi. Bahkan, karena antusiasme peserta yang tinggi tersebut, kegiatan kemarin juga diadakan secara daring melalui live streaming youtube dengan tujuan agar dapat diikuti secara luas.
“Insyaallah ke depan akan lebih banyak dan lebih baik. Ini baru awal untuk menghidupkan kembali ilmu langka yang bernilai tinggi dalam tradisi pesantren,” pungkas Ustadz Mirwan.
Acara ditutup pukul 16.30 WIB dengan pembacaan rekomendasi muktamar dan doa penutup oleh panitia. Dengan terselenggaranya kegiatan ini, UIN Sunan Ampel Surabaya menegaskan perannya sebagai kampus yang terus berupaya menjaga warisan intelektual pesantren di era digital.
Penulis :
Aniqo Dhamar ‘Asyuro dan Marta Ulin Nuha (Tim Media Fahum)