UIN Sunan Ampel Surabaya
July 30, 2025

TERWUJUD, TAK TERWUJUD, TETAP BERSUJUD

TERWUJUD, TAK TERWUJUD, TETAP BERSUJUD

Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّعْبُدُ اللّٰهَ عَلٰى حَرْفٍۚ فَاِنْ اَصَابَهٗ خَيْرُ ِۨاطْمَئَنَّ بِهٖۚ وَاِنْ اَصَابَتْهُ فِتْنَةُ ِۨانْقَلَبَ عَلٰى وَجْهِهٖۗ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةَۗ ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ

“Di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi (tidak dengan penuh keyakinan). Jika memperoleh kebaikan, dia pun tenang. Akan tetapi, jika ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang (kembali kufur). Dia merugi di dunia dan akhirat. Itulah kerugian yang nyata” (QS. Al Haj [22]: 11)

            Judul artikel ini terinspirasi oleh sebuah tulisan besar di punggung truk pengangkut semen di jalan raya. Bagi saya, tulisan itu menampar perilaku kita kebanyakan yang hanya mendekat Allah ketika susah karena keinginnya tak terwujud, dan lupa Allah ketika dalam keadaan senang karena semua keinginannya terwujud. Perilaku demikian disebut dalam ayat di atas muslim yang beragama di tepian, tidak di tengah, sehingga kadang serong kanan dan kadang ke kiri. Inilah salah satu ciri orang munafik.

            Menurut Ibnu Abbas dalam sebuah hadis riwayat Al Bukhari, ayat ini turun setelah Nabi SAW kedatangan tamu yang unik. Penduduk Makkah yang ikut berhijrah ke Madinah ini, ketika istrinya melahirkan bayi laki-laki atau untanya beranak-pinak, ia memuji Islam agama yang menyenangkan. Sebaliknya, jika sang istri melahirkan bayi perempuan atau untanya tidak beranak-pinak, ia mencaci Islam agama sumber kesialan. Dalam budaya Arab saat itu, lahirnya anak perempuan dipandang menjatuhkan martabat keluarga. Oleh sebab itu, ketika semua putra Nabi SAW meninggal dunia, tinggal yang perempuan belaka, masyarakat menyebut Nabi SAW orang yang terhina (al abtar). Lalu, Allah SWT menjawab, “Sungguh orang yang membencimu itulah yang terhina (al abtar) (QS. Al Kautsar [108]: 3)

            Muslim yang beragama di tepian, imannya berubah-berubah sesuai dengan keadaan ekonomi atau kesehatan inilah yang mendapat sindiran Allah melalui ayat yang dikutip di atas, dan beberapa ayat lainnya. Antara lain ayat-ayat berikut ini,“Apabila Kami menganugerahkan kenikmatan kepada manusia, niscaya dia berpaling dan menjauhkan diri (dari Allah dengan sombong). Namun, apabila dia ditimpa kesusahan, niscaya dia berputus asa” (QS. Al Isra’ [17]: 83). “Apabila Kami menganugerahkan kenikmatan kepada manusia, niscaya dia berpaling (tidak mensyukuri nikmat-Nya) dan menjauhkan diri (dari Allah dengan sombong). Namun apabila kesusahan menimpanya, dia akan banyak berdoa” (QS. Fussilat [41]: 51); “Adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, berkatalah dia, “Tuhanku telah memuliakanku.” Sementara itu, apabila Dia mengujinya lalu membatasi rezekinya, berkatalah dia, “Tuhanku telah menghinaku.” (QS. Al Fajr [89]: 11-12)

            Berdasarkan ayat-ayat di atas, manusia terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mendekat kepada Allah untuk meminta pertolongan-Nya ketika susah, dan menjauh dari-Nya ketika senang, seolah-olah ia mengatakan “good-bye” kepada-Nya. Kedua, mendekat kepada Allah dengan semangat ketika hidupnya nyaman, dan menjauh dari-Nya ketika susah. Inilah muslim yang mengukur kemuliaan Allah dengan ukuran egonya. Jika menguntungkan, maka Allah disebut Maha Baik, lalu memperbanyak ibadah sebagai ekspresi syukurnya. Sebaliknya, jika keadaan tidak cocok dengan keinginannya, Allah disebut dengan sebutan yang negatif, misalnya Allah Tidak Adil, Allah Tidak Maha Mendengar, atau Allah Tidak Mahapengasih, dan sebagainya, lalu menjauh dari Allah, atau malas beribadah. Dua kelompok inilah yang sama-sama tercela dalam pandangan Allah. Kita harus berterima kasih kepada sopir truk pengangkut semen yang memberi nasihat yang amat berharga.

            Lawan dari beragama pada tepian adalah beragama dengan keteguhan iman, tegak lurus dalam penyembahan, tanpa terpengaruh sedikit pun kesenangan atau kesedihan yang dialami. Inilah yang disebut sikap istiqamah yang dipuji Allah dalam Al Qur’an serta dijanjikan aneka macam pertolongan dan kebahagian.

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ

“Sungguh orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian istiqamah yaitu tetap (dalam pendiriannya), akan turun malaikat-malaikat kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan bersedih hati serta bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS. Fussilat [41]: 30). Baca juga QS. Al Ahqaf [46]: 13, QS. Hud [11]: 112, dan QS. Al Jin [72]: 16.

Sufyan bin Abdillah, r.a, suatu hari datang kepada Nabi SAW meminta nasihat yang singkat, padat dan mengena, lalu ia berpesan,   

قُلْ اَمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

“Katakanlah, aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah” (HR. Muslim).

Istiqamah bukan persoalan mudah seperti memasak sayur atau merebus telur. Ia memerlukan latihan yang amat amat panjang. Nabi SAW pun pernah bercerita ubannya tumbuh karena memikirikan teguran Allah agar lebih istiqamah (QS. Hud [11]: 112).

Terus berlatihlah untuk istiqamah. Terus cerialah dalam suka dan duka dengan istiqamah. Allah SAW tidak hanya menghargai hasil, tapi juga proses dan kesungguhan. Tetaplah bersujud di saat keinginan terwujud atau tak tak terwujud.

Sumber: (1) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 27, p. 145, dan juz 24, p. 225-231, (2)   M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, vol 8, p. 163-164, dan vol 12, p.50, (3) An Nawawi, Al Arba’in An Nawawiyah.

Spread the love

Tag Post :

Categories

Column, Column UINSA