
Oleh: Moh. Syaeful Bahar
Pada tahun 90an, semangat menghadirkan Islam dalam wajah filantropi dan progresif jauh lebih kuat dari sekadar wajah Islam ritual yang kaku dan terbatas pada ruang domistik semata. Tahun 90an, saat saya sedang menempuh Pendidikan S1, cendekiawan muslim seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Sahal Mahfud, KH. Masdar Farid Mas’udi, Nurchalish Madjid (Cak Nur), Emha Ainun Najib (Cak Nun), Prof. Dawan Raharjo dan Prof. Harun Nasution adalah nama-nama yang populer dan banyak diikuti pemikirannya oleh mahasiswa dan umat Islam.
Beberapa karya para cendekiawan tersebut menghiasi berbagai forum diskusi di banyak kampus. Fiqh Sosial yang banyak disuarakan oleh KH. Sahal Mahfud mendapat sambutan hangat di tengah-tengah Masyarakat. Ide-ide segar Gus Dur tentang pribumisasi Islam dan ibadah horisontal juga mendapatkan reaksi positif dari umat Islam. Cak Nur juga menyuarakan ide serupa, yaitu tentang pembaharuan Islam sebagai agama yang memiliki tanggungjawab besar dalam ranah sosial serta tidak boleh berhenti hanya pada fungsi ritual semata juga mendapatkan dukungan besar terutama oleh dunia kampus saat itu.
Para cendekiawan Muslim tersebut lebih banyak memperkenalkan Islam sebagai agama pembebasan, agama yang membawa pesan-pesan kesetaraan dan keadilan sosial, bahkan menjadi kekuatan moral yang menuntut para penganutnya untuk berani bersuara lantang melawan kebatilan dan ketidakadilan. Ajakan para cendikiawan ini tentu mendapatkan sambutan yang luar biasa dari para mahasiswa dan para muslim urban yang ada di kota-kota besar.
Bukan hal yang sulit untuk menjelaskan, mengapa sambutan positif tersebut menjadi sangat besar di tengah-tengah umat Islam. Salah satunya, karena saat itu, Orde Baru gagal mempraktikkan pemerintahan yang bersih, yang adil dan berpihak pada rakyat kebanyakan dan sebaliknya, di tahun 90 an awal, puncak praktik kosupsi, kolusi dan nepotisme mencapai puncak kejahatannya.
Wajah Filantropi IAIN
Kampus IAIN, termasuk IAIN Sunan Ampel Surabaya tempat saya belajar saat itu, juga menjadi pusat berkembangnya ide-ide Islam filantropi ala Gus Dur, KH. Sahal, KH. Masdar F. Mas’udi, Cak Nur, Cak Nun, Prof. Dawan dan Prof. Harun Nasution. Bukan hanya organisasi intra kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang dengan semangat membara belajar dan ikut menyebarkan pemikiran para cendikiawan tersebut, organisasi ekstra kampus juga melakukan hal yang serupa, PMII dan HMI menjadi ladang paling subur tumbuh dan berkembangnya Islam filantropis dan progresif.

Saya masih ingat persis, bagaimana para mahasiswa tahun 90an tersebut berebut membeli dan membaca buku-buku Islam progresif karya dari para cendikiawan muslim dari berbagai negara. Buku-buku Hasan Hanafi, seperti Al yasar fil Islam (Islam kiri), Abdullah Ahmed an Na’im (Dekonstruksi Syariah), Mahmud Muhammad Toha, Ashgar Ali Engineer (Islam dan Teologi Pembebesan), Farid Esack adalah buku wajib yang harus dibaca oleh mahasiswa IAIN saat itu. Gairah untuk menujukkan keberpihakan Islam pada kelompok tertindas, pada kelompok rentan serta dukungan Islam pada demokrasi menjadi diskusi harian yang mendapat panggung mewah di kampus IAIN.
Semangat Islam filantropis dan progresif berhasil menggeser Islam ritual yang cenderung statis dan hanya mengandalkan aspek-aspek ibadah formal. Para dosen dan mahasiswa jauh lebih bangga dikatan sebagai aktivis dan pekerja sosial dibandingkan hanya disebut sebagai dosen dan mahasiswa dengan tampilan “Islami” dan nampak “soleh”. Mereka tak peduli dengan pakaian mereka, mereka tak harus memakai jubah dan jilbab lebar untuk mendapatkan predikat Islami, namun mereka peduli dan sangat sensitif pada isu-isu ketidakadilan yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat. Mahasiswa pada saat itu, tidak akan berteriak lantang tentang isu penistaan agama tapi mereka akan lantang dan turun ke jalan jika ada bukti penindasan dan ketidakadilan seperti kasus Nipah di Madura dan kasus Kedungombo di Boyolali.
Semangat untuk menunjukkan wajah Islam progresif ini semakin dahsyat ketika banyak dosen muda berdatangan dari negara-negara Barat setelah mereka pulang belajar di kampus-kampus keren di Barat. Kampus IAIN tidak lagi hanya menjadi refrensi utama dalam kajian-kajian Islam dengan pendekatan klasik dan kitab kuning sebagai rujukan utamanya, tapi dengan tampilnya dosen-dosen muda ini di ruang diskusi publik, IAIN muncul dengan wajah sekuler, IAIN tampil lebih profan karena berani menjelaskan Islam dengan pendekatan teori-teori sekuler.
Bukan hal yang aneh ketika media-media cetak nasional seperti Kompas dan Jawa Pos, saat itu, dipenuhi tulisan dosen IAIN. Di kampus saya, di IAIN Sunan Ampel, beberapa dosen, menjadi penulis tetap di Kompas dan Jawa Pos. Nama-nama besar, seperti Prof. Nur Syam, Prof. Abd. A’la, Prof. Masdar Hilmy dan Prof. Akh. Muzakki menjadi penulis yang selalu ditunggu tulisannya di Kompas dan Jawa Pos. Selain tulisannya yang renyah dan nyaman dibaca, tulisan para dosen IAIN saat itu juga sangat kuat dalam penguasaan teori dan penyajian datanya.
Sebagian besar mahasiswa IAIN, terutama mereka yang alumni pesantren, terdorong masuk ke IAIN karena mereka tertarik dan ingin meniru kehebatan dosen-dosen muda tersebut. Mereka ingin menjadi ilmuwan organik, ilmuwan yang positioningnya jelas, berpihak dan bersama rakyat di saat negara gagal memberikan keadilan pada rakyatnya sendiri.
UIN dan Tuntutan Kesalehan Ritual
Pasca tumbangnya Orde Baru, dominasi negara semakin kecil terutama dalam hal kontrol pada agama. Negara tidak lagi terlalu ketat mengontrol dan mengawasi ekspresi keagamaan, bahkan dalam hubungan agama dan politik sekalipun. Beberapa partai berbasis ideologi agamapun bermunculan, sebagai contoh PKS, PPP dan Bulan Bintang.
Longgarnya negara dalam kontrol pada agama ini berbuah meningkatnya spritualitas agama sebagian besar umat Islam, terutama mereka yang hidup di perkotaan. Fenomena malam terakhir di bulan Ramadhan menjadi salah satu bukti kuatnya spritualitas masyarakat muslim urban ini menanjak. Telah menjadi pemandangan yang lumrah, di tiap akhir Ramadhan, masjid-masjid di kota-kota besar selalu dipenuhi umat Islam yang berharap dan berburu lailatul qadar.

Pemandangan ini tidak akan ditemukan di masjid-masjid yang ada di desa-desa. Bahkan, kecenderungannya, perbedaan ini selevel dengan perbandingan 180 derajat. Di kota, semakin akhir di bulan Ramadhan, masjid-masjid semakin ramai dan umat Islam semakin bergairah beribadah. Sedangkan di desa, semakin akhir bulan Ramadhan, masjid semakin sepi dan umat Islam nampak kehilangan gairahnya.
Majlis ta’lim dan kelompok-kelompok pengajian ekslusif, yang diselenggarakan bukan hanya di masjid-masjid tapi juga di hotel-hotel berbintang, bermunculan di kota-kota besar. Perempuan berjilbab lebar, laki-laki dengan jenggot rapi serta berkopiah bukan hal yang sulit untuk ditemukan di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa masyarakat kota sedang bergeser, dari masyarakat sekuler menjadi religious. Mereka bukan hanya menanjak spritualitasnya namun juga bangga menunjukkan identitas keIslaman dengan memakai atribut-atribut kesolehan.
Berikut juga, saat memilih pendidikan untuk anak. Masyarakat kota, para muslim urban ini, berbondong-bondong memilih sekolah Islam sebagai tempat belajar anaknya. Beberapa sekolah berbasis Islam di Surabaya, seperti Al Hikmah, Al Falah, Khodijah, Muhammadiyah dan Ta’miriyah adalah beberapa sekolah Islam yang diburu oleh muslim urban untuk pendidikan anak-anak mereka.
Bagaimana dengan UIN? Tentu UIN juga mendapatkan berkah atas pergeseran ini. Saat saya masih menjabat sebagai Wakil Dekan 3 di FISIP UIN Sunan Ampel, saya mendapat pengakun dari banyak wali mahasiswa. Mereka memilih kampus UIN Sunan Ampel karena mereka yakin bahwa anaknya akan mendapatkan dua manfaat yang mungkin tidak di dapat dari kampus umum, yaitu manfaat ilmu dan manfaat akhlaq. Mereka yakin, dengan menjadi mahasiswa UIN, anaknya akan bisa menatap masa depan, terserap dalam dunia kerja, tapi juga punya benteng agama dan moral sebagai bekal mengarungi kehidupan.
Sangat mungkin dari puluhan ribu mahasiswa UIN Sunan Ampel saat ini, tidak lagi didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa yang datang dari daerah yang notabenenya anak desa, tapi justru adalah anak-anak kota yang berdatangan dari Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Malang dan Mojokerto. Mereka tidak hanya alumni pesantren dan madrasah, namun juga lulusan sekolah-sekolah negeri di kota-kota tersebut. Apalagi, sejak prodi-prodi umum dibentuk dan didirikan di UIN Sunan Ampel, jumlah mahasiswa yang tidak punya latar belakang desa, pesantren dan madrasah, saya kira, semakin banyak jumlahnya.
Satu sisi, fakta dan fenomena ini menjadi berita bahagia dan kenyataan positif yang harus disyukuri, tapi di saat yang sama, ini menjadi tantangan yang tak ringan bagi UIN Sunan Ampel. Jika pada tahun 90an, IAIN Sunan Ampel dapat dengan gagah berada di pilihan sebagai kampus penyemai Islam progresif dan transformatif yang bercorak filantropis, maka, saat ini, semangat Islam progresif harus diimbangi dengan hal-hal yang lebih ritual dan formal. Mungkin, dulu IAIN tidak terlalu peduli dengan pakaian, sekarang, UIN harus memperhatikan tampilan, mulai dari pakaian hingga ke prilaku keseharian mahasiswa dan dosennya. Jika dulu, IAIN lebih banyak fokus pada kemanfaatan sosial dari nailai-nilai Islam, sekarang harus ditambahkan dengan kemanfaatan ritual dan spiritual. Jika tidak, ada warga UIN yang akan tertinggal dalam semangat keIslaman yang sedang dibangun. Siapa mereka? Mahasiswa dan keluarga mahasiswa yang tidak punya back ground pesantren dan madrasah.
Tanpa memperhatikan sesuatu yang bersifat ritual dan formal, terutama yang berkaitan dengan fiqh dasar dan etika dasar dalam Islam, hampir dipastikan, mereka yang tidak memiliki back ground pesantren dan madrasah ini akan tercecer di belakang, bahkan, sangat mungkin, mereka akan terlepas dari rombongan besar UIN Sunan Ampel dan akan ikut rombongan kelompok lain yang tak sama dengan UIN Sunan Ampel. UIN Sunan Ampel mungkin tak perlu mengubah semangat dan substansi perjuangannya, tapi juga perlu memperhatikan strategi dan tampilan baru dalam dakwah dan perjuangannya.