UIN Sunan Ampel Surabaya
November 21, 2025

TAK SEKADAR UJIAN NAIK KELAS

TAK SEKADAR UJIAN NAIK KELAS

Oleh Sirajul Arifin*

Naik kelas bukan penghargaan sesaat. Bukan dicapai secara tiba-tiba. Tetapi butuh perjuangan panjang. Butuh pengorbanan yang tak terbatas. Indonesia merdeka bukan ujug-ujug. Ada kuasa langit yang terlibat, “berkat rahmat Tuhan …” Siapa di antara yang mengunduh kuasa dan rahmat-Nya? Itulah pertanyaan yang perlu direnungkan. Perlu melihat bukti dan kilas baliknya. Siapa yang terlibat di dalamnya. Apakah keterlibatannya hanya dulu atau hingga sekarang? Atau justru selamanya, selama Indonesia ada dan berdiri tegak sejajar dengan negara-negara lain.

Adakah peran kyai, santri, dan pesantren? Nah, tulisan ini kuangkat untuk melihat peran kyai, santri, dan pesantren. Peran nyata ketiganya dicoba untuk kusajikan dalam tulisan ini. Bahwa ujian yang sedang menimpa kyai, santri dan pesantren tak menghilangkan esensi peran besarnya. Tak tenggelam di antara letusan narasi-narasi negatif. Tak pupus di tengah sekian banyak hujatan. Tak berhenti pada selesainya hujatan. Dan tak hanya untuk menjawab pertanyaan “sekadar ujian naik kelas.” Diksi yang biasa dipakai hanya untuk meneduhkan. Padahal ada peran sentral yang terlupakan atau sengaja dilupakan. 

Peran yang Terlupakan

Pernyataan singkat mengawali bagian ini. Pernyataan dan sekaligus pertanyaan dari kegelisahan saya. Kegelisahan dalam menyikapi fenomena. Fenomena yang seakan menafikan atau paling tidak mendegradasi peran. Baik peran kyai, santri, maupun pesantren. Tiga istilah saya gunakan bukan untuk membedakannya. Memang menggunakan kata “atau”. Penggunaan kata “atau” hakikatnya sebagai bentuk tanggapan atas banyak pandangan yang memisahkannya.

Walau dalam beberapa hal bisa dipisahkan. Tetapi saya ingin menyatukannya. Menyatukan untuk memperkuat posisinya. Ketiganya menyatu dalam satu posisi. Posisi sebagai yang kerap dilupakan. Jika dalihnya lupa, maka mungkin bisa dimaafkan. Namun bila disetting melupakan, maka upaya itu tak serta mudah dimaafkan. Bukan berarti tak bisa, tetapi cukup berproses dalam pemaafannya.

Tuntutan atas fenomena yang sangat viral baru-baru ini adalah kritik pedas untuk tidak melupakan. Bahkan dianggap sebagai penghinaan dan seterusnya. Mereka menuntut bukan tidak rela atas peran suci yang dimainkan kyai, santri dan pesantren. Tetapi mereka berharap jangan melupakan apalagi menghinanya. Kyai, santri, dan pesantren merupakan tiga elemen yang memiliki peran sentral dalam perkembangan sosial, pendidikan, dan keagamaan di Indonesia.

Ketiganya tidak hanya menjadi pilar spiritual umat Islam tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap perjuangan kemerdekaan, pembentukan karakter bangsa, dan pembangunan nasional. Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dalam perjalanannya, institusi pesantren beserta tokoh-tokohnya, yakni kyai dan santri, telah memainkan peran penting dalam membangun identitas nasional.

Sejak masa penjajahan hingga era kemerdekaan dan reformasi, pesantren menjadi pusat pendidikan, dakwah, dan pergerakan sosial-politik yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Peran tersebut menjadikan pesantren bukan hanya lembaga keagamaan tetapi juga agen perubahan sosial yang berkontribusi pada pembangunan bangsa.

Apakah Sekadar Ujian?

Fenomena viral bukan sekadar ujian. Apalagi sekadar ujian naik kelas. Tetapi merupakan tamparan keras bagi dunia pesantren. Baik kepada kyai, santri maupun pesantren. Padahal kyai, santri maupun pesantren memiliki peran kuat dalam konteks berbangsa dan bernegara. Tidak saja dulu dan sekarang tetapi juga untuk masa depan.

Kyai memiliki posisi strategis sebagai pemimpin spiritual, pendidik, dan panutan masyarakat. Dalam konteks kebangsaan, kyai berperan sebagai pemimpin moral dan sosial. Kyai menjadi sumber rujukan nilai-nilai etika dan spiritual yang menuntun masyarakat dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak masa kolonial, banyak kyai memimpin perlawanan terhadap penjajahan, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Abdul Karim (Lirboyo).

Di tengah tantangan globalisasi dan radikalisme, kyai berperan menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama dan nasionalisme, mengedepankan Islam yang rahmah li al-âlamîn. Kyai turut berkontribusi dalam pengembangan ekonomi umat, pendidikan, dan kesejahteraan sosial melalui lembaga pesantren dan organisasi kemasyarakatan. Sementara sebagai santri, santri memiliki peran penyebar nilai-nilai toleransi, persaudaraan, dan keadilan di tengah masyarakat.

Sejarah mencatat peran santri dalam resolusi jihad 22 Oktober 1945 yang memobilisasi umat Islam melawan penjajahan. Sedangkan di era modern, santri aktif di berbagai bidang—pendidikan, politik, teknologi, hingga ekonomi kreatif—tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman. Santri menjadi penghubung antara warisan keilmuan klasik Islam dengan tantangan dunia modern. Santri yang demikian adalah produk yang dilahirkan, dirawat, dan dibesarkan di pesantren.

Pesantren sebagai tempat para kyai menempa adab dan adat adalah suatu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang memiliki sistem pendidikan khas berbasis nilai keagamaan dan kebangsaan. Fungsinya tidak hanya sebagai tempat belajar agama tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan masyarakat. Peran pesantren meliputi mencetak karakter, menyebarkan kebaikan dan melestarikan budaya, serta dalam banyak hal menjadi agen pembangunan ekonomi.

Pesantren menanamkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, kemandirian, dan tanggung jawab yang menjadi modal dasar pembangunan bangsa. Pesantren berperan dalam menjaga tradisi Islam Nusantara yang toleran dan adaptif terhadap budaya lokal. Banyak pesantren mengembangkan kewirausahaan berbasis ekonomi syariah, koperasi, dan usaha mikro yang meningkatkan kemandirian umat. Pesantren juga aktif dalam penanganan isu-isu sosial seperti kemiskinan, pendidikan non-formal, dan deradikalisasi.

Ada relevansi kuat dari ketiganya. Di era modern, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks, namun nilai-nilai yang ditanamkan oleh kyai, santri, dan pesantren tetap relevan. Dengan mengedepankan prinsip moderasi, toleransi, dan keadilan sosial, mereka dapat berperan sebagai moral compass dalam menjaga persatuan nasional. Kolaborasi antara pesantren dan pemerintah dalam bidang pendidikan, ekonomi digital, dan pemberdayaan masyarakat menjadi kunci untuk membangun Indonesia yang maju dan berakhlak.

Jadi, kyai, santri, dan pesantren merupakan tiga pilar penting dalam pembentukan karakter dan jati diri bangsa Indonesia. Peran mereka tidak terbatas pada bidang keagamaan tetapi juga meluas ke ranah sosial, politik, dan ekonomi. Dalam konteks negara modern, eksistensi mereka menjadi bukti bahwa nilai-nilai Islam dan nasionalisme dapat berjalan kelindan dalam mewujudkan masyarakat yang beradab, adil, dan makmur.

Perkuat Peran Sentral

Kyai, santri dan pesantren memang sedang diuji bukan sekadar untuk naik kelas, melainkan semakin memperkuat peran sentralnya. Ujian datang selain dari perubahan zaman dan arus globalisasi juga dari merebaknya bentuk kontra-narasi di ruang publik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di tengah serangan ideologi transnasional, disinformasi keagamaan, serta tantangan modernisasi, pesantren dituntut untuk menasbihkan kembali posisinya sebagai center of excellence dalam pendidikan Islam yang moderat, inklusif, dan maslahah.

Dalam konteks ini, kyai memegang peranan sebagai penjaga otoritas moral dan spiritual. Figur kyai bukan hanya berfungsi sebagai pengajar ilmu keislaman, tetapi juga sebagai moral leader yang menjadi rujukan dalam menyikapi isu-isu sosial dan keagamaan. Melalui keteladanan, kebijaksanaan, dan kemampuan adaptifnya terhadap perubahan, kyai berperan penting dalam membangun karakter santri yang tangguh, berintegritas, serta terbuka terhadap perbedaan.

Sementara, santri sebagai generasi penerus dihadapkan pada tantangan baru dalam era digital dan global. Mereka dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memiliki kompetensi literasi digital, sosial, dan kebangsaan. Santri harus menjadi agen moderasi beragama yang dapat menyebarkan nilai-nilai Islam “rahmah” di berbagai lini kehidupan, termasuk melalui media sosial dan ruang publik modern.

Adapun pesantren, sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi. Keberhasilan pesantren dalam merespons perubahan zaman sangat bergantung pada kemampuannya melakukan transformasi manajerial, kurikuler, dan kultural tanpa kehilangan jati diri. Pesantren perlu terus memperkuat fungsi tridharmanya.

Kontra-narasi terhadap nilai-nilai pesantren, baik dalam bentuk radikalisme agama maupun sekularisme ekstrem, justru memperlihatkan urgensi kehadiran pesantren di tengah masyarakat modern. Publik, baik di tingkat nasional maupun global, mulai melihat pesantren sebagai model pendidikan yang mampu mengintegrasikan antara ilmu, iman, dan akhlak.

Dengan demikian, penguatan peran kyai, santri, dan pesantren bukan hanya menjadi kebutuhan internal umat Islam tetapi juga menjadi bagian dari agenda nasional dalam membangun peradaban Indonesia yang toleran, berkeadilan, dan berkemajuan. Semoga bermanfaat.

*Dosen dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Spread the love

Tag Post :

Categories

Column, Column UINSA