Dr. Abu Bakar
Diskursus sosial modern, hukum kerap dipahami sebagai seperangkat norma positif yang bersifat mengikat dan koersif. Pendekatan semacam ini, meskipun tidak keliru, cenderung mereduksi makna hukum semata-mata sebagai instrumen pengendalian sosial. Al-Qur’an, sebaliknya, memandang hukum dalam horizon etik dan teologis yang lebih luas, yakni sebagai bagian dari amanah sosial yang melekat pada eksistensi manusia sebagai subjek moral dan anggota masyarakat.
Al-Qur’an tidak memisahkan dimensi spiritual dan sosial kehidupan manusia. Prinsip-prinsip keadilan, keteraturan, dan tanggung jawab sosial menjadi fondasi penting dalam membangun tatanan masyarakat yang berkeadaban. Oleh karena itu, ketaatan terhadap hukum perlu dibaca bukan hanya sebagai kewajiban yuridis, melainkan sebagai manifestasi kesadaran moral dan religius yang berorientasi pada kemaslahatan bersama.
Amanah sebagai Fondasi Etika Sosial
Konsep amanah menempati posisi sentral dalam bangunan etika sosial Al-Qur’an. Perintah untuk menyampaikan amanah dan menegakkan hukum secara adil.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا ۖ وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. an-Nisā’ [4]: 58)
Amanah memiliki dimensi normatif dan institusional. Amanah tidak berhenti pada relasi individual, tetapi mencakup pengelolaan urusan publik yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Kerangka hukum ini, dipahami sebagai instrumen penjaga amanah sosial. Pelanggaran terhadap hukum bukan sekadar penyimpangan prosedural, melainkan bentuk kegagalan moral dalam menjaga kepercayaan sosial. Ketaatan hukum menjadi prasyarat bagi terpeliharanya legitimasi sosial dan stabilitas kehidupan bersama.
Ketaatan terhadap Otoritas dan Tata Aturan
Dasar normatif bagi ketaatan terhadap tata aturan melalui perintah menaati Allah, Rasul, dan ulī al-amr.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad), serta ulī al-amr di antara kamu.” (QS. an-Nisā’ [4]: 59)
Keteraturan sosial memerlukan otoritas yang sah dan diakui. Ketaatan terhadap otoritas tidak dimaksudkan sebagai legitimasi absolut kekuasaan, melainkan sebagai mekanisme menjaga ketertiban dan kemaslahatan publik.
Kerangka negara hukum modern, menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai produk konsensus sosial yang bertujuan menjamin perlindungan hak serta pemenuhan kewajiban warga negara. Selama hukum dirumuskan dan ditegakkan berdasarkan prinsip keadilan, kemaslahatan, dan non-diskriminasi, ketaatan terhadapnya sejalan dengan nilai-nilai normatif Al-Qur’an. Kepatuhan terhadap hukum tidak hanya dipahami sebagai kewajiban administratif, tetapi juga sebagai manifestasi etika kewargaan yang bertanggung jawab dan ekspresi komitmen moral terhadap keadilan sosial.
Ketatan Hukum sebagai Tanggung Jawab Kolektif
Ketertiban sosial tidak dapat dibebankan semata-mata kepada aparat penegak hukum, tetapi membutuhkan partisipasi aktif seluruh warga sebagai Tanggung Jawab Kolektif. Setiap bentuk pelanggaran hukum berpotensi menimbulkan efek domino yang merusak tatanan sosial.
Peringatan Al-Qur’an tentang munculnya kerusakan akibat perbuatan manusia (QS. ar-Rūm [30]: 41) dapat dibaca sebagai kritik normatif terhadap pengabaian hukum dan etika sosial. Ketaatan hukum, dalam hal ini, berfungsi sebagai mekanisme preventif untuk menjaga keberlanjutan kehidupan sosial yang adil dan tertib.
Keadilan sebagai Orientasi Normatif Hukum
Al-Qur’an secara tegas menempatkan keadilan sebagai orientasi utama hukum.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. an-Naḥl [16]: 90)
Perintah untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan menegaskan bahwa hukum tidak boleh dilepaskan dari dimensi etis. Hukum yang adil tidak hanya ditentukan oleh teks normatifnya, tetapi juga oleh komitmen kolektif untuk mematuhinya secara konsisten.
Al-Qur’an juga mengingatkan agar sentimen kebencian atau kepentingan kelompok tidak mengaburkan objektivitas keadilan (QS. al-Mā’idah [5]: 8). Prinsip ini menegaskan bahwa ketaatan hukum harus didasarkan pada kesadaran etis, bukan sekadar kepatuhan formal. Dengan demikian, hukum berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial yang berorientasi pada keadilan substantif.
Tantangan Ketaatan Hukum di Era Digital
Transformasi digital menghadirkan dinamika baru dalam praktik ketaatan hukum. Media sosial membuka ruang ekspresi publik yang luas, namun sekaligus menghadirkan potensi pelanggaran hukum dan etika. Fenomena disinformasi, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial menunjukkan lemahnya integrasi antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab hukum.
Nilai-nilai Al-Qur’an tentang kehati-hatian dalam bertutur dan bertindak relevan untuk membangun literasi hukum digital (QS. al-Ḥujurāt [49]: 6). Kesadaran bahwa setiap ucapan memiliki implikasi moral dan sosial perlu diinternalisasikan agar ruang digital berfungsi sebagai medium edukatif, bukan arena konflik.
Ketaatan terhadap hukum merupakan manifestasi amanah sosial dan kesadaran etis manusia. Hukum tidak semata-mata dipahami sebagai instrumen koersif, tetapi sebagai sarana normatif untuk mewujudkan keadilan, ketertiban, dan kemaslahatan bersama. Dalam konteks masyarakat modern dan ruang publik digital, internalisasi nilai-nilai Al-Qur’an menjadi penting untuk memperkuat budaya taat hukum yang berkeadaban. Dengan menempatkan ketaatan hukum sebagai bagian integral dari etika keimanan dan kewargaan, masyarakat diharapkan mampu membangun tatanan sosial yang tidak hanya tertib secara normatif, tetapi juga adil secara substantif.