
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
“Jika saja kita tidak bisa mendapatkan the brightest students, maka kita perkuat skills mereka.” Demikian ucap sahabatku Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. dr. Achmad Zaki, M.Epid., Sp.OT. FICS. Frase “the brightest students” dalam kalimat pernyataan tersebut dimaksudkan untuk menunjuk calon mahasiswa yang akan diterima untuk kemudian menjadi mahasiswa baru sebuah program studi. Adapun kata “mereka” di ujung akhir kalimat pernyataan dimaksud ditujukan untuk merujuk kepada mahasiswa yang menjadi peserta didik program studi dengan kondisi yang tidak termasuk kategori the brightest students dimaksud.
Aku mendengar langsung kalimat pernyataan di atas. Disampaikan kepadaku bersama teman-teman tim manajemen kedokteran UIN Sunan Ampel Surabaya. Kala itu, Rabu (29 Oktober 2025), kami sedang melakukan kunjungan kerja dan pendalaman kerjasama pengampuan ke kampus FK UIN Jakarta. Hari memang masih pagi. Cuaca juga sangat cerah. Karena itu, kalimat pernyataan yang disampaikan sahabatku, dekan FK UIN Jakarta itu menambah pagiku kala itu semakin bersinar cerah. Karena, bagiku, kalimat pernyataan itu penuh makna. Penting untuk ditelaah lebih mendalam.
Kalimat pernyataan di atas tampak disampaikan oleh dekan FK UIN Jakarta sebagaimana dimaksud dalam kepentingan untuk mengandaikan dua hal penting. Pertama, kondisi raw input (masukan mentah) mahasiswa yang tak masuk ke dalam golongan mahasiswa dengan kecerdasan top. Kedua, cara untuk membangun sukses dengan kondisi awal yang tak serba top. Kedua hal dimaksud masing-masing merupakan kondisi awal yang ada dan harus dihadapi, serta jawaban atas kondisi yang ada itu. Kalimat pernyataan dimaksud sekaligus menjadi nasehat untuk lahirnya kebijakan pendidikan yang relevan.
Konteks kalimat pernyataan di atas adalah pengelolaan sumber daya mahasiswa. Perihal pertama yang disebut dalam pernyataan dekan FK UIN Jakarta di atas berkaitan erat dengan kondisi raw input. Yakni, calon mahasiswa, atau mahasiswa baru. Saat tingkat keketatan dalam seleksi tak tinggi, terlepas apapun penyebabnya, hasil yang didapatkan pun juga pasti tak menunjuk kepada potensi yang tinggi. Ilustrasi sebaliknya atas mahasiswa dengan tingkat potensi yang tinggi digambarkan oleh dekan di atas dengan istilah the brightest students. Dalam praktiknya, mereka yang masuk atau juga tidak masuk kategori the brightest students sama-sama harus mendapatkan layanan pendidikan yang setara.

Pertanyaannya, apa yang lalu harus dilakukan secara partikular oleh perguruan tinggi terhadap sumber daya mahasiswa-mahasiswa barunya yang tak masuk kategori the brightest students? Dekan FK UIN Jakarta di atas memiliki strategi menarik: memperkuat skills mereka. Dan, skills itu akan menjadi kekuatan personal para mahasiswa itu. Kekuatan personal itu menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage) dan sekaligus kelebihan komparatif (comparative advantage) mereka. Keunggulan kompetitif berarti nilai kemampuan yang mengantarkan pemiliknya memiliki daya saing di hadapan selainnya. Adapun kelebihan komparatif berarti kemampuan yang bisa mengantarkan pemiliknya melebihi sesamanya.
Hight Potentials, atau High Skills?
Kalimat pernyataan Dekan FK UIN Jakarta di atas membuka kembali selubung dua konsep besar. Yakni, potency dan skill. Frase the brightest students dalam kalimat pernyataan dimaksud memang mengandung makna kompetensi dan juga potensi. Disebut kompetensi, karena sumber daya manusia mereka memang merupakan hasil dari proses Pendidikan, tapi levelnya di bawah jenjang pendidikan tinggi. Karena itu, kondisi sumber daya mereka masih bisa disbeut potensi dalam konteks pendidikan tinggi, karena status mereka masih dalam pengertain calon mahasiswa perguruan tinggi. Potensi berarti yang belum teraktualisasi untuk konteks pendidikan tertentu, dan kompetensi menunjuk pada hasil dari proses intervemsi, di antaranya oleh pendidikan.
Skill atau keteramapilan memiliki cakupan makna yang sedikit berbeda aksentuasi Keterampilan dalam cakupan kata skill berarti the ability to use one’s knowledge effectively and readily in execution or performance (lihat “skill” dalam URL: https://www.merriam-webster.com/dictionary/skill). Dalam definisi ini, skill memang ditandai oleh kepemilikan pengetahuan, tapi kata itu dicirikan dengan dual hal: pertama, kemampuan menggunakan pengetahuan yang dimiliki secara efektif, dan kedua, kemampuan memanfaatkan pengetahuan dimaksud dengan penuh kesiapan. Kedua ciri tersebut diilustrasikan dengan dua kata kunci, masing-masing adalah effectively (secara efektif) dan readily (dengan penuh kesiapan).
Maka, skill tak mempersyaratkan secara mutlak kepemilikan atas beragam pengetahuan, yang dalam ungkapan lain banyak diistilah dengan hard competency (kompetensi kasar). Yakni, kemampuan dalam melahap semua materi pengetahuan yang ada dalam buku atau produk keilmuan tercetak-mapan. Alih-alih, skill mempersyaratkan kecakapan praktis implementatif dalam memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki di kehidupan konkret. Kecakapan praktis implementatif itu dikerangkai dengan dua atribut pengikat: secara efektif, dan dengan penuh kesiapan. Dalam ungkapan lain, kecakapan dimaksud dikenal juga dengan istilah soft competency.
Semua pemangku kepentingan pendidikan selalu senang dan berharap dengan kondisi yang baik dari raw input peserta didiknya. Semakin baik raw input, semakin mudah pula proses pendidikan itu dijalankan. Semakin penuh tantangan [untuk tidak mengatakan semakin buruk] sebuah raw input, maka semakin menantang pula proses pendidikan yang harus diselesaikan. Tetapi, kenyataan memberikan pelajaran bahwa raw input itu tidak selalu hadir dalam kapasitas yang selalu serba top.
Maka, siapapun penyelenggara pendidikan sudah sewajarnya dan bahkan seharusnya untuk memikirkan apa yang harus dilakukan untuk merespon dan sekaligus menyambut semua potensi sumber daya manusia dari peserta didik yang ada di dalamnya. Sebab, kemuliaan penyelenggara pendidikan itu bukan sekedar diukur dari seberapa baik hasil yang dijumpai pada akhir penyelenggaraan layanan pendidikan yang ada didalamnya. Tetapi juga sekaligus ditakar oleh seberapa hebat dan efektif penyelenggara pendidikan itu melakukan desain processing terhadap layanan pendidikan yang dijalankan, terlepas dari kondisi raw input peserta didik yang ada di dalamnya.
Karena itu, ketika diskusi mengenai high potentials dan high skills dilakukan, tentu seluruh pemangku kepentingan harus berpikir bahwa selalu ada keragaman dalam potensi yang dimiliki oleh sumber daya peserta didiknya. Nah, keragaman ini membutuhkan kecerdasan dan keefektifan cara melangkah dari para penyelenggara pendidikan. Untuk itulah, maka apapun kondisi yang dihadapi terkait dengan profil sumber daya peserta didik yang ada didalamnya, penyelenggara pendidikan memiliki kewajiban yang sama untuk menyediakan layanan terbaik, baik bagi mereka yang masuk kategori the bright students ataupun yang tidak.
Mengapa begitu? Alasannya sederhana. Yakni, karena semua segmen sumber daya peserta didik adalah bagian dari raw materials yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan. Begitu warga masyarakat memberikan kepercayaan kepada lembaga pendidikan itu, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, skema penyelenggaraan layanan pendidikan yang terbaik bagi seluruh segmen sumber daya peserta didik di lembaga itu harus dilakukan sebaik mungkin. Prinsip itu berlaku di level satuan pendidikan yang diselenggarakan dan dikelola di dalamnya. Termasuk di perguruan tinggi.
Tiga Pekerjaan Rumah
Diskusi mengenai high competency dan high skills di atas memang perlu dikembangkan lebih lanjut. Kepentingannya bukan soal keharusan memilih antara keduanya. Bukan itu. Kepenitngannya sesederhana ini: masing-maisng dari keduanya penting didorong naik untuk menunjang sukses peserta didik. Termasuk dalam hal ini adalah sukses mahasiswa. High competency perlu terus diperkuat di dalam diri mahasiswa agar modal kelebihan personal itu bisa memudahkan mahasiswa menyambut sukses hidupnya. Juga, high skills harus dikembangkan pada diri mahasiswa karena kecakapan yang tinggi membuaat mahasiswa siap menyambut sukses masa depannya.
Pertanyaannya adalah, bagaimana kampus memproses kebutuhan pengembangan kecakapan hidup agar bisa mencapai high skills itu? Jawabannya berlapis tiga. Pertama, pentingnya kampus sebagai rumah kedua sebagai solusi. UIN Sunan Ampel Surabaya ini punya pengalaman dalam mengembangkan konsep dan kebijakan kampus sebagai rumah kedua. Seperti yang telah menjadi bagian dari tulisan saya sebelum-sebelumnya (contoh, lihat di URL: https://uinsa.ac.id/kampus-sebagai-rumah-kedua-seri-1/; juga di URL: https://uinsa.ac.id/student-central-kampus-sebagai-rumah-kedua-seri-2/), kampus sebagai rumah kedua ini sangat dibutuhkan oleh seluruh warga kampus untuk bisa berdiri dan bergerak efektif dalam penyelenggaraan layanan pendidikan yang ada didalamnya.
Mengapa begitu? Karena, kita menghabiskan waktu cukup banyak dalam keseharian kita di kampus. Selain untuk kepentingan kepatuhan terhadap tugas dan kewajiban di kampus, kita menghabiskan waktu yang sekian banyak di kampus untuk berproses, bersosialisasi, dan berkreasi. Maka, kampus sudah seharusnya menjadi rumah kedua. Seperti dibahasa dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, ada dua indikator penting dalam kehidupan kampus sebagai rumah kedua. Indikator pertama, adalah keamanan. Indikator kedua adalah kenyamanan. Dua indikator ini merupakan kondisi utama yang harus ada di dalam kampus. Seluruh pemangku kepentingan wajib untuk menegakkan dua prinsip indikator ini agar kampus bisa mewujud dan sekaligus memerankan diri sebagai rumah kedua bagi seluruh warga kampus.
Jika kampus sudah bisa menampilkan diri sebagai tempat yang paling aman bagi warga kampusnya, maka seluruh sumber daya mahasiswa yang ada di dalamnya akan bisa mengalami proses yang baik dalam konteks dan sekaligus kepentingan untuk mengembangkan diri. Saat rasa aman itu tidak tercipta, maka tentu akan ada segmen dari kelompok sumber daya mahasiswa itu yang akan mengalami situasi yang sulit. Sebab, kebutuhan mereka untuk mengembangkan diri tidak terfasilitasi secara baik di kampus itu. Karena itu, rasa aman adalah kebutuhan esensial seluruh warga kampus, apalagi mahasiswa.
Sebaliknya, jika kampus tidak bisa menjamin sebagai tempat yang aman bagi seluruh warga kampus untuk berproses, bersosialisasi dan berkreasi, tentu produktivitas mereka di dalam kampus itu akan segera dipertaruhkan. Mengapa begitu? Karena, mereka segera merasa bahwa kampus bukan tempat yang aman untuk beraktivitas, bersosialisasi, dan berkreasi di ruang publik yang menjadi kebutuhan mereka sehari-hari. Maka, kebutuhan terhadap rasa aman di kampus itu menjadi kebutuhan universal.
Hal yang sama juga terjadi kepada prinsip rasa nyaman. Maka, kampus pun juga harus menjadi tempat yang paling nyaman bagi mahasiswa untuk beraktivitas, bersosialisasi, dan juga berkreasi. Sebab, rasa nyaman itu membuat setiap hati akan terpaut ke dalam dan dengannya. Saat rasa nyaman tercipta, maka kampus akan kemudian menjadi tempat yang paling baik bagi mahasiswa untuk mempertaruhkan hati dalam beraktivitas, bersosialisasi, dan juga berkreasi. Nah, tempat yang nyaman ini menjadi kebutuhan semua warga kampus, tidak saja dosen atau pegawai, tapi juga sekaligus mahasiswa. Nah, kebutuhan untuk bisa mencapai rasa nyaman di kampus ini harus bisa ditunaikan oleh seluruh pemangku kepentingan, khususnya penyelenggara pendidikan tinggi di kampus itu.
Jika kampus bisa memerankan diri sebagai rumah kedua dengan indikator kenyamanan dan keamanan seperti diuraikan di atas, maka kebutuhan mahasiswa untuk bisa mengembangkan kecakapan hidup agar bisa mencapai high skills akan segera bisa dipenuhi. Sebab, high skills itu tidak datang tiba-tiba. High skills tidak muncul sekonyong koder. Itu karena high skills merupakan kondisi yang harus diperjuangkan melalui praktik pengembangan. Untuk itulah, high skills membutuhkan kondisi yang sangat baik. Kampus sebagai rumah kedua adalah konsep penting dan sekaligus kebijakan yang harus ditunaikan di perguruan tinggi.
Langkah kedua yang harus dilakukan untuk memproses kebutuhan pengembangan kecakapan hidup agar bisa mencapai high skills adalah, pentingnya penyediaan skema proses pembelajaran yang mendalam bagi seluruh mahasiswa yang dimiliki. Sebab, dalam profil sumber daya mahasiswa yang dikelolanya, tak semua masuk kategori the brightest students. Bahkan, jumlah mereka biasanya cenderung melebihi jumlah mahasiswa yang masuk kategori the brightest students itu. Proses pembelejaran yang mendalam ini harus mengandung dua hal utama: bermakna dan berdampak. Kata “bermakna” berarti proses pembelajaran yang ada di dalamanya membantu meningkatkan kecakapan kognitif mereka secara keseluruhan. Kata “berdampak” menunjuk kepada tingkat perubahan dalam keterampilan praktis pada diri mahasiswa secara keseluruhan.
Untuk mewujudkan pembelajaran yang mendalam di atas, maka prinsip desain penyelenggaraan pembelajaran yang patut dikembangkan adalah: penuhi mahasiswa dengan aktivitas yang membuat mereka kaya pengalaman. Tentu, pengalaman di sini dalam maksud dan nilai positif. Sebab, proses mengalami ini sangat dibutuhkan mahasiswa untuk memperkuat keterampilan praktis mereka dan sekaligus mempertajam kecakapan kognitif mereka. Tentu, kata “aktivitas” dalam konteks ini adalah dalam pengertian positif. Artinya, kampus patut membuat desain pengelolaan aktivitas yang memberikan dampak positif bagi penguatan kecakapan kognitif dan keterampilan prakti smahasiswa.
Di kampus UINSA Surabaya sendiri, pengalaman akademik dan sosial didesain untuk dialami, dimiliki, dan dicatatkan secara kuat. Bentuknya adalah Sistem Kredit Ekskurikuler (SKEK). Skema ini adalah kerangka pendamping bagi desain pembelejaran kurikuler. Semua pembelajarn di kelas perkuliahan didorong untuk memberikan pengalaman kognitif yang kuat kepada seluruh mahasiswa. Kekayaan teori dan refeksinya diproses untuk dikuasai oleh semua mahasiswa. Tapi, semua desain kurikuler itu teta dianggap belum cukup kuat untuk mengembangkan sumber daya mahasiswa. Karena itu, dalam kebijakan UINSA, dibutuhkan kerangka pendamping atas desain kurikuler itu.
Kepentingan dari pendamping desain kurikuler dimaksud adalah agar kecakapan kognitif yang dikuasai mahasiswa dapat diperkaya dengan keterampilan praktis-implementatif. Dengan begitu, seluruh mahasiswa, baik dalam kategori the bright students atau tidak, sama-sama bisa mempertebal kekayaaan akademik dan praktis mereka. Di sinilah keterampilan dalam cakupan makna skill seperti yang dimaksudkan di atas bisa dikembangkan untuk kemudian dimiliki oleh seluruh mahasiswa. Maka, frase “memperkuat skill mahasiswa” dalam kalimat pernyataan Dekan FK UIN Jakarta di atas menemukan penerjemahan konkretnya melalui skema kurikuler melalui pembelajaran mendalam dan ekstrakurikuler melalui model SKEK dimaksud.
Langkah ketiga yang harus dilakukan untuk memproses kebutuhan pengembangan kecakapan hidup agar bisa mencapai high skills adalah, pentingnya pengembangan desain penguatan kecakapan hidup (life skills) mahasiswa dalam proses penyelengaraan layanan pendidikan di kampus. Kita penting untuk memikirkan tentang kecakapan hidup ini. Karena, kecakapan hidup secara konseptual merupakan kemampuan dasar, bahkan kalau bisa dibilang adalah esensial yang memungkinkan setiap individu bisa menavigasi secara efektif semua tantangan dalam kehidupan keseharian mereka.
Pengalaman konkret akan menumbuhkan dan memperkuat kemampuan dasar yang bernama kecakapan hidup itu. Ia bisa berkontribusi secara langsung terhadap pengembangan tiga kebutuhan dasar seorang anak manusia: perkembangan diri (personal growth), kesejahteraan-kemapanan diri (personal wellbeing), dan sekaligus sukses diri (personal success) di panggung kehidupan nyata. Nah karena itu, life skills ini dibutuhkan oleh setiap individu. Atas dasar itu, maka setiap orang dewasa, utamanya penyelenggara pendidikan tinggi, harus memikirkan skema pengembangan life skills mahasiswa.
Kenapa harus begitu? Karena sekali lagi, life skills ini tidak datang tiba-tiba. Life skills itu butuh dikembangkan dan diperjuangkan. Alasannya sederhana. Mengalami langsung akan memunculkan kecakapan hidup yang dibutuhkan. Dengan pengalaman langsung itu, mereka akan bisa memiliki skema dalam internal diri mereka untuk bisa menavigasi setiap tantangan yang datang kepada kehidupan sehari-hari mereka. Life skills ini sangat penting karena bagaimanapun berkaitan langsung dengan pertumbuhan diri seseorang.
Mahasiswa membutuhkan kuatnya life skills ini dalam konteks untuk menumbuhkan personal growth mereka. Sebab, bagaimanapun, kemapanan hidup mereka itu sangat bergantung pada personal growth yang ada pada diri mereka. Dalam konteks inilah, apa yang menjadi cita-cita bersama untuk bisa meraih kesejahteraan dalam hidup atau yang disebut dengan well-being bukan sesuatu yang hanya sekedar menjadi cita-cita yang melangit, tapi sekaligus bisa di-landing-kan di level praktis kehidupan keseharian mereka.
Jika personal growth serta well-being di atas bisa diciptakan melalui pengembangan life skills, tentu semua itu akan menjadi modal besar bagi mahasiswa untuk meraih sukses pada kehidupan mereka. Sukses di sini tentu bisa beragam cakupan sekaligus juga beragam konteks. Namun, apapun ragam itu, life skills bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Ia dibutuhkan untuk memperkuat dan sekaligus mempertebal kecakapan yang harus dimiliki oleh mahasiswa, mulai dari kognitif-konseptual hingga psikomotorik-praktis.
Lalu Apa Pelajarannya?
Jangan pernah pesimis menyambut masa depan. Itu rumus penting yang harus dijaidkan sebagai pelajaran. Sebab, apapun kondisi yang dihadapi, sukses itu bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Ada banyak cara menuju sukses. Karena itu, kondisi apapun yang ada dalam diri dan lingkungan keluarga kita, jangan pernah pesimis. Tetaplah tegak menatap dan sekaligus menjemput masa depan. Setiap peserta didik, termasuk mahasiswa, penting memegangi kuat-kuat rumus ini. Sebab, sukses itu memiliki lahannya sendiri. Juga, sukses itu memiliki zamannya sendiri. Maka, apapun kondisi diri dan lingkungan, jangan pernah lupa bahwa sukses itu akan memiliki konteks perwujudannya masing-masing.

Tentu, bagi penyelenggara pendidikan, termasuk kampus, dibutuhkan kebijakan penciptaan dan sekaligus penyediaan layanan yang terbaik bagi seluruh peserta didiknya. Itu dibutuhkan agar rumus hidup seperti diuraikan di paragraf di atas terfasilitasi dengan baik dalam layanan pendidikan yang dijalankan. Salah satunya melalui penjaminan kampus sebagai rumah kedua di atas. Penting untuk diingat, konsep keragaman individu (individual differences) harus disambut sebagai material penting bagi penyelenggaraan layanan pendidikan. Itu penting agar seluruh potensi keragaman yang ada di diri peserta didik bisa terfasilitasi untuk tumbuh dan berkembang maksimal.
Akhirnya, hidup memang tak selalu dilengkapi dengan yang serba ideal. Kerap yang tidak ideal justeru datang untuk dialami. Hanya, kenyataan seperti itu tak berarti lalu membuat diri menjadi pasrah, lalu menyerah. Bukan. Sama sekali bukan begitu. Justeru, Tuhan menurunkan yang tidak ideal ke dalam hidup kita itu sebagai sebuah pelajaran. Agar masing-masing kita belajar untuk mengayuh kemuliaan. Sebab, kemuliaan itu diperjuangkan. Tak akan kemuliaan datang tiba-tiba. Tantangan dalam bentuk kesulitan, impitan, dan bahkan keterbatasan justeru baik untuk mempertajam nilai kemuliaan itu. Karena itu, sukses itu banyak cara. Semua diri perlu berlari ke arahnya. Dan mewujudkannya bisa dengan beragam langkah itu. Tentu, yang positif adalah prasyaratnya.