Fakultas Dakwah dan Komunikasi
December 3, 2025

Spiritualitas dan Etika Dakwah di Era Post Truth

Spiritualitas dan Etika Dakwah di Era Post Truth

Spiritualitas dan Etika Dakwah di Era Post Truth

oleh
Dr. Sokhi Huda, M.Ag.
Dosen KPI, FDK, UINSA

Di tengah lautan informasi digital yang tidak bertepi, era post truth muncul seperti kabut tebal yang mengaburkan batas antara fakta dan fiksi, emosi dan realitas. Bagi umat Islam Indonesia yang hidup di persimpangan tradisi dan modernitas, dakwah bukan lagi sekadar menyampaikan ayat atau hadis melainkan perjuangan membersihkan hati dari godaan sensasi viral agar pesan rahmat tetap jernih menembus jiwa. Tulisan ini mengajak kita merenung tentang bagaimana spiritualitas yang dalam dan etika yang kokoh dapat menjadi jangkar dakwah di zaman yang kebenaran sering kalah oleh like dan share.

Kabut Post Truth Menyelimuti Dakwah
Bayangkan seorang dai berdiri di mimbar maya Instagram atau TikTok, dikelilingi ribuan komentar yang saling bertentangan. Ada yang memuji sebagai “ustaz paling benar”, ada pula yang mengutuk sebagai “penyebar fitnah”. Ini bukan skenario fiksi, melainkan realitas dakwah kontemporer di Indonesia, di mana post truth—era di mana perasaan lebih kuat daripada bukti—telah meresap ke setiap sudut ruang publik. Hoaks berbalut ayat suci, potongan video ceramah tanpa konteks, hingga narasi polarisasi yang membagi umat menjadi “kita versus mereka” menyebar lebih cepat daripada fakta yang diverifikasi.

Dalam konteks Indonesia, banjir disinformasi ini diperparah oleh echo chamber (ruang gema) media sosial, di mana algoritma memelihara prasangka kita sendiri, membuat dakwah berubah menjadi kompetisi popularitas bukan panggilan Ilahi. Umat yang haus petunjuk sering terjebak: memilih konten yang menegaskan keyakinannya, meskipun lemah sanadnya, daripada mencari kebenaran yang menyakitkan tetapi membangun. Akibatnya, agama yang seharusnya menyatukan justru menjadi bahan bakar perpecahan, dari isu politik hingga konflik sesama Muslim.

Spiritualitas sebagai Sumber Air di Gurun Digital
Spiritualitas dakwah bukanlah pelarian mistis dari dunia nyata melainkan fondasi ontologis yang mengembalikan esensi dakwah pada penghambaan kepada Allah, bukan pada kepuasan ego atau rating YouTube. Seorang dai yang spiritual adalah ia yang telah menaklukkan nafsu amarahnya sebelum berbicara tentang amar ma’ruf-nahi munkar; ia yang muhasabah (koreksi diri) dalam setiap postingan, bukan untuk view tetapi untuk memastikan apakah itu mendekatkan hamba kepada Tuhan.

Di era post truth, spiritualitas ini menjadi benteng. Bayangkan seperti tasawuf klasik yang mengajarkan hubb al-jah (cinta pada kemasyhuran) sebagai musuh besar: hari ini, ia bereinkarnasi sebagai kecanduan algoritma yang memaksa dai memproduksi konten sensasional demi bertahan di lini masa. Namun, dai spiritual justru memilih jalan sunyi: zikir malam hari untuk membersihkan niat, renungan atas firman Allah “al-da’wah ila Allah bi al-hikmah” agar pesan dakwah lahir dari keikhlasan, bukan ambisi. Bagi umat luas—dari pedagang pasar hingga profesional kantor—dakwah semacam ini menawarkan oase: bukan janji surga instan, tetapi jalan panjang menuju takwa yang autentik.

Etika Dakwah Hikmah di Tengah Kebisingan
Etika dakwah di era post truth menuntut lebih dari sekadar sopan santun; ia adalah komitmen pada kebenaran pesan, keluhuran mazhab, dan kasih sayang pada mad’u (mitra dakwah). Al-Qur’an memerintahkan “serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik” (Q.S. al-Nahl [16]: 125). Di zaman yang didominasi oleh emosi, etika ini menjadi revolusioner: verifikasi sebelum share, konteks sebelum kutip, dan dialog sebelum vonis.

Secara praktis, etika dakwah, di antaranya, mencakup empat rambu;

  1. tabayyun wajib: tidak menyebarkan tuduhan tanpa dua saksi adil, apalagi di era yang deepfake dapat memalsukan suara ulama,
  2. bahasa rahmah: menghindari generalisasi “semua kelompok X sesat” yang memicu islamofobia dan perpecahan umat,
  3. transparansi sanad (jalur transmisi): mengakui batas ilmu pribadi, membedakan opini dan fatwa, agar umat belajar berpikir kritis bukan fanatik buta.
  4. konsistensi laku: dakwah yang kredibel adalah dakwah yang selaras antara kata di mimbar dan perbuatan di pasar.

Etika ini sesungguhnya bukan beban melainkan pelindung: melindungi dakwah dari tuduhan provokasi, melindungi umat dari disinformasi, dan melindungi Islam dari citra keras dan sensasi yang bertentangan dengan prinsip rahmatan li al-‘alamin (rahmat bagi semesta alam). 

Tantangan dan Peluang Dakwah yang Resilien
Era post truth menghadirkan tantangan ganda, yakni erosi kepercayaan pada ulama dan lembaga serta polarisasi yang membuat dakwah sulit menembus echo chamber. Namun, peluangnya besar, yaitu literasi digital sebagai dakwah baru, konten kreatif yang dapat menggabungkan nilai-nilai sufistik dengan meme, podcast yang mendalam tetapi ringkas. Strategi literasi dakwah—mengajarkan umat memilah hoaks, memahami metodologi istinbath (pertimbangan untuk keputusan hukum normatif)—menjadi jihad kontemporer.

Di Indonesia, yang 200 juta pengguna medsos mungkin haus konten Islam, dakwah resilien adalah dakwah yang moderat: wasathiyyah yang tidak condong ekstrem kanan atau kiri tetapi berbasis epistemologi terbuka. Ia memanfaatkan disrupsi digital untuk menyebarkan nilai kemanusiaan, sambil tetap berpijak pada spiritualitas yang anti-narsisisme.

Menuju Dakwah yang Resilien
Pada akhir renungan ini, spiritualitas dan etika dakwah di era post truth mengajak kita kembali pada nilai inti, yakni dakwah adalah laku membersihkan jiwa, bukan menaklukkan timeline. Saat kebenaran kalah oleh popularitas, dai sejati memilih perilaku jujur meski sepi pengikut, adil meski terhadap “kita sendiri,” dan penuh rahmah meski dunia penuh amarah. Umat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, membutuhkan dakwah seperti ini; bukan sorotan lampu panggung tetapi cahaya lampion yang hangat dan abadi. Dengan spiritualitas sebagai akar dan etika sebagai buah, dakwah tidak akan tenggelam dalam banjir post truth melainkan menjadi sungai yang mengalirkan hikmah bagi peradaban yang haus makna.

Wa Allah a’lam.

 

Spread the love

Tag Post :

#suarafdk, #suarafdkuinsa, 2025, Etika Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Post Truth, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Spiritualitas

Categories

Column, Column UINSA