Surabaya, 9 September 2025 – Pusat Studi Fiqh dan Masyarakat Muslim (FIQHUNA) Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Ampel Surabaya kembali menggelar Sharia Forum seri kesembilan dengan tema “Merekonstruksi Relasi Perempuan dan Masjid.” Forum ini berlangsung di Ruang 201, Lt. 2 Gedung A FSH, dan dihadiri oleh dosen, mahasiswa, peneliti, serta aktivis yang memiliki perhatian pada isu gender dan keagamaan. Acara ini menghadirkan Ahmad Afif Alifi, Asisten Peneliti FIQHUNA sekaligus mahasiswa Hukum Keluarga Islam, sebagai pemateri utama.

Dalam pemaparannya, Afif mengangkat inspirasi dari buku Reclaiming the Mosque karya Prof. Jasser Auda, yang menyoroti bagaimana akses perempuan ke masjid sering kali dibatasi dalam sejarah modern, padahal pada masa Nabi Muhammad SAW, perempuan memiliki peran aktif dalam memakmurkan masjid. Ia menyinggung fenomena global, di mana di beberapa belahan dunia—termasuk di Inggris dan Amerika—perempuan masih diperlakukan sebagai “warga kelas dua” di masjid, dengan ruang terbatas dan fasilitas yang kurang memadai. Kontras dengan itu, hadis-hadis sahih menunjukkan bahwa para sahabiyah, seperti Aisyah, Asma binti Abu Bakar, maupun Rufaidah, pernah aktif beribadah, belajar, bahkan memberikan pelayanan sosial di masjid Nabi.
Afif menekankan pentingnya metodologi yang benar dalam membaca Al-Qur’an dan hadis. Ia mengkritisi praktik pembacaan parsial yang hanya mengambil sebagian dalil tanpa memperhatikan konteks dan tujuan syariat, serta kecenderungan historisisme yang memutlakkan interpretasi ulama masa lalu tanpa mempertimbangkan perkembangan zaman. Sebagai gantinya, ia menawarkan pendekatan maqashidi—pembacaan berbasis tujuan syariat—untuk mengintegrasikan berbagai pandangan sehingga hukum Islam dapat tetap relevan, adil, dan holistik.

Diskusi forum juga mengupas hadis-hadis yang kerap disalahpahami sebagai pembatasan bagi perempuan. Misalnya hadis tentang shalat perempuan di rumah yang lebih baik dibandingkan di masjid, yang sejatinya lahir dari konteks khusus perselisihan rumah tangga Umm Humaid dan suaminya, bukan sebuah larangan mutlak. Begitu pula hadis yang menyamakan kehadiran perempuan dengan hewan dalam membatalkan shalat, yang dibantah langsung oleh Aisyah RA sebagai riwayat yang keliru. Dari berbagai contoh ini, Afif menegaskan perlunya kritik matan hadis untuk memastikan makna yang sesuai dengan semangat Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Antusiasme peserta semakin terlihat ketika topik “saf perempuan di masjid” dibahas. Afif menjelaskan bahwa hadis yang menyebut saf terbaik bagi perempuan adalah saf belakang bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan pengaturan ruang yang relevan pada masa itu. Dengan konteks sosial yang berbeda, aturan ini dapat ditinjau kembali melalui maqashid syariah, dengan tujuan utama tetap menjaga kesucian ibadah, kehormatan jamaah, dan keterlibatan perempuan dalam kehidupan keagamaan.
Sebagai penutup, Afif menegaskan bahwa rekonstruksi peran perempuan di masjid bukan berarti keluar dari Al-Qur’an dan hadis, melainkan justru kembali kepada semangat asli Islam yang inklusif. Dengan metodologi yang tepat, hukum Islam dapat ditafsirkan ulang agar tetap sejalan dengan tujuan-tujuan mulia syariat, yaitu keadilan, kemaslahatan, dan kesetaraan umat. Forum ini pun memberikan pemahaman baru bahwa masjid seharusnya menjadi ruang persatuan dan pemberdayaan seluruh umat, tanpa memandang gender, sebagaimana dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
Reportase: George As’ad Haibatullah El Masnany
Redaktur: George As’ad Haibatullah El Masnany