Surabaya, 7 Oktober 2025 – Pusat Studi Fiqh dan Masyarakat Muslim (FIQHUNA) Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Ampel Surabaya kembali menggelar Sharia Forum seri kesebelas dengan tema “Reinterpretasi ‘Iddah: Dari Tradisi Menuju Transformasi Sosial.” Kegiatan yang dilaksanakan di Ruang 201, Lt. 2 Gedung A FSH ini menghadirkan Dr. Umi Chaidaroh, S.H., M.H.I., dosen Fakultas Syariah dan Hukum UINSA, sebagai pemateri utama. Forum ini dihadiri oleh dosen, mahasiswa, dan peneliti yang antusias mendiskusikan dinamika pemikiran hukum Islam dalam menghadapi perubahan sosial modern.

Dalam pemaparannya, Dr. Umi Chaidaroh menjelaskan bahwa reinterpretasi terhadap konsep ‘iddah (masa tunggu pasca perceraian atau wafatnya suami) bukanlah upaya membongkar hukum Islam, melainkan usaha menggali kembali makna terdalam dari teks-teks suci agar tetap relevan dengan konteks sosial masa kini. Ia memulai dengan memaparkan teori kemaslahatan (maṣlaḥah) yang dikembangkan oleh Najm al-Din al-Tufi, seorang pemikir hukum Islam dari abad ke-13, yang meyakini bahwa akal manusia memiliki kebebasan untuk menentukan kemaslahatan (maṣlaḥah) dan kerusakan (mafsadah) dalam ranah muamalah dan adat kebiasaan. Menurut al-Tufi, nalar manusia cukup untuk menilai baik dan buruknya sesuatu tanpa harus selalu bergantung pada teks wahyu secara literal, selama hal itu bertujuan menghadirkan kemaslahatan bagi umat.
Lebih lanjut, al-Tufi menempatkan maṣlaḥah sebagai dalil independen yang tidak selalu terkait dengan teks-teks suci. Dalam pandangannya, selama sesuatu dinilai bermanfaat oleh akal, maka ia dapat menjadi dasar hukum, bahkan jika tidak secara eksplisit didukung oleh Al-Qur’an atau hadis. Meskipun begitu, wilayah penerapan maṣlaḥah menurutnya terbatas pada persoalan muamalah, bukan ibadah, karena urusan ibadah sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Pandangan ini kemudian diteruskan oleh pemikir modern seperti Rashid Ridha dan Abid al-Jabiri, yang menegaskan bahwa dalam situasi tertentu, kemaslahatan bisa didahulukan dibanding teks, tanpa bermaksud meniadakan hukum ilahi, melainkan menunda penerapannya agar lebih sesuai dengan konteks sosial masyarakat.
Namun, Dr. Umi juga menyoroti adanya kritik terhadap pandangan ini, di antaranya dari ulama seperti Zahid al-Kawthari, yang menilai teori al-Tufi terlalu berani dan berpotensi “menundukkan syariat di bawah kehendak manusia.” Kritik tersebut menunjukkan bahwa perdebatan antara otoritas teks dan akal telah menjadi wacana panjang dalam sejarah hukum Islam. Menurut Dr. Umi, perbedaan pandangan semacam ini justru menjadi ruang penting bagi pembaruan hukum Islam yang lebih kontekstual dan manusiawi, tanpa harus melepaskan dasar-dasar ilahiah syariat.
Dari sudut pandang ini, Dr. Umi mengaitkan teori maṣlaḥah dengan upaya reinterpretasi terhadap konsep ‘iddah. Ia menegaskan bahwa revisi pemahaman terhadap hukum ‘iddah bukanlah bentuk pembangkangan terhadap nash, melainkan usaha memahami kembali makna teks dalam kerangka maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan hukum Islam). Dengan menggunakan pendekatan gerakan ganda (double movement) yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman, proses penafsiran hukum seharusnya dilakukan melalui dua tahap: pertama, memahami konteks sosial-historis turunnya ayat, dan kedua, menggeneralisasi prinsip-prinsip moralnya untuk diterapkan dalam realitas kontemporer. Dengan metode ini, hukum Islam dapat tetap hidup, kontekstual, dan berkeadilan sosial.
Dalam konteks modern, lanjut Dr. Umi, penerapan hukum ‘iddah sebagaimana yang telah baku terkadang menimbulkan persoalan sosial dan ekonomi bagi perempuan. Misalnya, perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga dapat mengalami kesulitan ekonomi jika harus berhenti bekerja selama masa ‘iddah. Padahal, dalam kaidah fikih ditegaskan bahwa “agama tidak bertujuan untuk mempersulit manusia” (al-masyaqqah tajlib al-taysīr) dan “tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain” (lā ḍarar wa lā ḍirār). Berdasarkan prinsip ini, reinterpretasi terhadap ketentuan ‘iddah dapat dibenarkan secara maqāṣid, yaitu demi menjaga kemaslahatan dan menghindari kemudaratan bagi perempuan.
Forum juga membahas ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum ‘iddah, seperti QS. al-Baqarah [2]: 228 dan QS. al-Ṭalāq [65]: 1. Dari analisis linguistik terhadap ayat-ayat tersebut, Dr. Umi menjelaskan bahwa perintah ‘iddah tidak selalu harus dipahami sebagai kewajiban mutlak, karena bentuk fi‘il yang digunakan tidak secara eksplisit menunjukkan keharusan (amr ṣarīḥ). Bahkan, sebagian ulama menilai bahwa perintah tersebut bersifat ta‘līmāt (instruksi kontekstual), bukan ḥukm syar‘i yang bersifat universal. Pendekatan semacam ini membuka peluang untuk memahami hukum ‘iddah secara lebih dinamis dan sesuai dengan kondisi perempuan di era modern.
Sebagai penutup, Dr. Umi menegaskan bahwa reinterpretasi hukum Islam, termasuk konsep ‘iddah, bukanlah bentuk dekonstruksi terhadap ajaran agama, melainkan langkah menuju transformasi sosial yang berkeadilan dan sesuai dengan ruh maqāṣid al-sharī‘ah. Dalam pandangannya, fikih harus mampu menjadi sarana pembebasan dan pemberdayaan, bukan sekadar kumpulan hukum formal yang membatasi. Melalui forum ini, peserta diajak untuk melihat hukum Islam sebagai sistem nilai yang hidup, yang senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensi ilahiahnya.
Reportase: George As’ad Haibatullah El Masnany
Redaktur: George As’ad Haibatullah El Masnany