Surabaya, 23 September 2025 – Pusat Studi Fiqh dan Masyarakat Muslim (FIQHUNA) Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Ampel Surabaya kembali menyelenggarakan Sharia Forum seri kesepuluh dengan tema “Menuju Fikih Kebangsaan Pro Difabel.” Kegiatan yang berlangsung di Ruang A 201 Lt. 2 Gedung FSH ini menghadirkan Dr. Syamsuri, M.H.I., dosen Fakultas Syariah dan Hukum, sebagai pemateri utama. Acara ini dihadiri oleh dosen, mahasiswa, peneliti, dan aktivis yang memiliki perhatian besar terhadap isu-isu keagamaan, hak asasi manusia, serta kesetaraan penyandang disabilitas dalam perspektif Islam.

Dalam pemaparannya, Dr. Syamsuri mengawali dengan paparan kondisi penyandang disabilitas di Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang dengan beragam keterbatasan, mulai dari fisik, sensorik, mental, hingga intelektual. Meski negara telah menerbitkan berbagai regulasi seperti UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan sejumlah peraturan pemerintah terkait hak-hak difabel, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kelompok ini masih menghadapi diskriminasi, keterbatasan akses, dan minimnya keterlibatan dalam ruang-ruang sosial, termasuk dalam praktik keagamaan. Hal ini menjadi urgensi bagi para ahli fikih untuk merumuskan paradigma baru hukum Islam yang inklusif dan berpihak kepada penyandang disabilitas.
Lebih lanjut, Dr. Syamsuri menjelaskan bahwa dalam literatur fikih klasik, para ulama telah memberikan perhatian terhadap kondisi difabel. Imam al-Syafi’i, Ibnu Qudamah, Burhan al-Din al-Marghinani, dan para fuqaha lainnya memberikan keringanan hukum bagi penyandang disabilitas, seperti bolehnya shalat sambil duduk atau berbaring, tayamum bagi yang tidak mampu berwudhu, hingga rukhsah meninggalkan shalat Jumat dan berjamaah jika tidak memungkinkan. Bahkan, mereka juga membolehkan pelaksanaan haji melalui perwakilan dan mewajibkan pihak lain membayar zakat fitrah bagi yang tidak mampu. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip at-taysir (kemudahan) telah lama menjadi bagian integral dalam khazanah hukum Islam bagi kelompok difabel.
Dr. Syamsuri juga menegaskan pentingnya penguatan dasar normatif-teologis dalam mewujudkan fikih pro-difabel. Ayat-ayat Al-Qur’an seperti Surah ‘Abasa [80]: 1–10 yang menegur Nabi karena berpaling dari seorang sahabat tunanetra, menjadi landasan moral bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan perhatian penuh dalam dakwah dan kehidupan keagamaan. Selain itu, hadis-hadis Nabi juga menunjukkan keterlibatan aktif sahabat difabel dalam kehidupan publik, seperti Abdullah bin Ummi Maktum yang pernah ditunjuk menjadi imam dan muazin, atau kisah Rasulullah SAW yang mendatangi rumah sahabat tunanetra untuk menunaikan shalat berjamaah. Semua ini menegaskan bahwa Islam secara tegas mengakui hak akses dan partisipasi difabel dalam kehidupan sosial dan keagamaan.
Dalam sesi pembahasan, pemateri juga memaparkan sejumlah kaidah fikih yang relevan, seperti al-masyaqqah tajlibu al-taysir (kesulitan mendatangkan kemudahan), al-dharar yuzal (kemudaratan harus dihilangkan), dan al-wali ahqqu bi al-du‘afa (pemimpin bertanggung jawab atas kaum lemah). Kaidah-kaidah ini dapat dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan hukum Islam yang tidak hanya memberikan keringanan bagi difabel, tetapi juga menjamin hak dan partisipasi mereka secara penuh. Selain itu, para ulama klasik seperti Imam al-Ramli dan al-Khallal juga telah menegaskan tanggung jawab negara dalam menyediakan akses publik yang layak bagi kaum difabel, bahkan jika perlu menggunakan dana dari baitul mal untuk melindungi dan memfasilitasi kebutuhan mereka.
Diskusi berjalan interaktif dengan berbagai pertanyaan dari peserta, mulai dari implementasi fikih inklusif dalam kehidupan bernegara hingga strategi konkret menghadirkan keadilan substantif bagi penyandang disabilitas di ranah hukum Islam. Dr. Syamsuri menegaskan bahwa transformasi paradigma fikih yang lebih inklusif bukan berarti keluar dari tradisi klasik, melainkan memperluas cakrawala interpretasi agar hukum Islam mampu menjawab tantangan zaman dan menjamin keadilan sosial bagi semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok difabel.
Sebagai penutup, Sharia Forum #10 menegaskan pentingnya membangun fikih kebangsaan pro-difabel sebagai bentuk aktualisasi nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin dalam konteks keindonesiaan. Forum ini tidak hanya memperluas wawasan peserta tentang hak-hak penyandang disabilitas dalam perspektif hukum Islam, tetapi juga menginspirasi lahirnya gagasan-gagasan baru yang berpihak pada keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan universal.
Reportase: George As’ad Haibatullah El Masnany
Redaktur: George As’ad Haibatullah El Masnany