Fakultas Ilmu Sosial & Politik
October 21, 2025

SAICoPSS 2025: Menavigasi Konflik, Menemukan Harmoni Global

SAICoPSS 2025: Menavigasi Konflik, Menemukan Harmoni Global

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Ampel Surabaya membuka rangkaian Sunan Ampel International Conference on Political and Social Science (SAICoPSS) 2025 dengan diskusi mendalam tentang konflik dan ketahanan global. Mengusung tema “Navigating Conflict and Building Resilience: Interdisciplinary Perspective on Society, Power, and Global Sustainability,” konferensi hari pertama yang digelar Selasa, 21 Oktober 2025 ini menghadirkan dua pembicara kunci, Prof. Dr. Isa Anshori, M.Si. dari UINSA Surabaya dan Prof. Anurat Ananatanatom, Ph.D. dari Burapha University, Thailand.

Acara yang berlangsung di Auditorium FISIP UINSA ini dipandu oleh Ilham Dary Athallah, S.I.P., M.Hub.Int., dosen Hubungan Internasional, yang membawa suasana konferensi menjadi dinamis dan interaktif. Hadir dalam forum ini puluhan akademisi, peneliti, mahasiswa, dan praktisi sosial politik dari dalam maupun luar negeri yang antusias menggali pemikiran para narasumber.

Konferensi SAICoPSS tahun ini tidak hanya menjadi ajang akademik berskala internasional, tetapi juga ruang refleksi dan dialog lintas disiplin yang menyoroti peran ilmu sosial dan politik dalam memahami serta menanggapi dinamika global. Setelah seremoni pembukaan, rangkaian sesi pleno dimulai dengan menghadirkan dua pembicara kunci yang menawarkan perspektif mendalam dan kontekstual tentang konflik, ketahanan, dan keberlanjutan dari sudut pandang interdisipliner.

Menafsir Konflik dari Perspektif Keislaman dan Sosial

Dalam sesi pertama, Prof. Dr. Isa Anshori, M.Si. membawakan materi bertajuk “Menavigasi Konflik dan Membangun Ketahanan: Perspektif Interdisipliner tentang Masyarakat, Kekuasaan, dan Keberlanjutan Global.” Dalam paparannya, Prof. Isa mengajak peserta untuk memahami bahwa konflik adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Beliau menegaskan, konflik bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi perlu dimaknai secara mendalam agar dapat dikelola menuju perubahan sosial yang konstruktif. “Konflik sudah ada sejak awal kehidupan manusia,” ujarnya. “Bahkan dalam kisah penciptaan Nabi Adam, kita melihat benih konflik yang pertama kali muncul.”

Prof. Isa kemudian mengutip Surat Al-Baqarah ayat 30, yang menggambarkan percakapan antara Allah dan malaikat tentang penciptaan Adam sebagai khalifah di bumi. Dari kisah ini, beliau menegaskan bahwa terdapat tiga akar utama konflik, yakni kekuasaan (khalifah), pemanfaatan sumber daya alam, dan ideologi.

“Konflik, dalam konteks sosial, memiliki dua wajah,” lanjutnya. “Ia bisa menjadi sumber perubahan sosial yang positif, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi keteraturan.” Dalam ilmu sosial modern, dua paradigma besar muncul dari perbedaan tafsir ini—yang satu melihat konflik sebagai motor perubahan, sedangkan yang lain memandangnya sebagai gangguan terhadap stabilitas sosial.

Dalam konteks global yang penuh ketegangan, Prof. Isa menawarkan pendekatan berbasis nilai keislaman. Menurutnya, Islam memberikan jalan penyelesaian konflik yang berkeadilan dan damai. Prinsip musyawarah merupakan cara paling ideal untuk mengelola perbedaan, dengan syarat adanya keseimbangan kekuatan. “Pihak yang memulai konflik harus ditekan agar tercipta keadilan,” jelasnya.

Beliau juga menekankan pentingnya membaca ulang dinamika konflik global yang berdampak pada konteks lokal. Dalam salah satu bagian paparan, Prof. Isa mencontohkan fenomena terorisme yang sering dikaitkan dengan ideologi Islam radikal. Ia menceritakan strategi KH Khozin, seorang kiai pesantren yang sempat dicurigai mendukung gerakan radikal. Dengan membuka dialog, transparansi, dan kegiatan sosial produktif, sang kiai justru berhasil mengubah stigma menjadi kepercayaan publik.

“Respon lokal terhadap isu global seperti ini adalah bentuk nyata dari ketahanan sosial,” tegasnya. “Ketika masyarakat mampu menghadapi konflik dengan kebijaksanaan dan kreativitas, mereka sebenarnya sedang membangun ketahanan peradaban.”

Paparan Prof. Isa menjadi pengingat bahwa konflik bukanlah sekadar persoalan permusuhan, melainkan ujian kemanusiaan yang menuntut kedewasaan sosial dan spiritual.

Konflik dan Pembangunan di Thailand

Sesi kedua menghadirkan Prof. Anurat Ananatanatom, Ph.D. dari Burapha University, Thailand, yang menyampaikan dua topik penting: “Conflict and Sustainable Development Issues in Thailand” dan “Strengthening Public Administration Education.”

Dalam paparan pertamanya, Prof. Anurat menjelaskan bahwa konflik di Thailand bersumber dari tiga hal utama, yaitu ketimpangan struktur kekuasaan, pesatnya industrialisasi, dan rendahnya partisipasi warga. Konflik, menurutnya, tidak selalu tampak dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi sering kali muncul sebagai ketegangan sosial yang melekat dalam proses pembangunan.

Salah satu kasus yang ia angkat adalah Eastern Economic Corridor (EEC)—proyek besar yang menjadi simbol industrialisasi di Thailand. Di balik geliat ekonomi, muncul konflik antara kepentingan ekspansi industri dan perlindungan lingkungan. Warga lokal menuntut kompensasi yang layak dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan. “Inilah contoh bahwa pembangunan tanpa partisipasi menciptakan ketegangan sosial yang halus, tetapi berbahaya,” ujarnya.

Selain itu, Prof. Anurat membahas konflik berkepanjangan di Thailand Selatan, yang berakar pada perbedaan identitas agama dan etnis. Ia menekankan bahwa dialog damai dan program penghidupan berkelanjutan menjadi solusi penting. “Kita tidak bisa membangun perdamaian tanpa keadilan sosial,” katanya. “Sustainable development cannot succeed without peace and social harmony.

Dalam topik kedua, Prof. Anurat menyoroti pentingnya pendidikan administrasi publik yang transformatif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Ia menyebut bahwa penelitian adalah pilar utama transformasi pendidikan.

Beliau menjelaskan tiga misi besar pendidikan tinggi di Thailand, yakni:

  • University-community partnership (kemitraan universitas dan masyarakat),
  • Service learning and student engagement (pembelajaran berbasis pengabdian dan keterlibatan mahasiswa), dan
  • Digital extension (perluasan akses melalui digitalisasi).

Ketiga misi ini, menurutnya, menjadi pondasi penting dalam membangun institusi pendidikan yang adaptif dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Sebagai contoh sukses, ia menyinggung konsep Bio-Circular Green Economic (BCG), sebuah model ekonomi nasional Thailand yang mengintegrasikan bioteknologi, daur ulang, dan inovasi hijau. “Konsep ini menunjukkan bagaimana sains, kebijakan publik, dan partisipasi warga dapat menyatu untuk mendukung keberlanjutan,” jelasnya.

Dialog tentang Perdamaian dan Partisipasi

Setelah dua paparan utama, moderator Ilham Dary Athallah membuka sesi tanya jawab yang berlangsung interaktif. Peserta dari berbagai latar belakang akademik mengajukan pertanyaan yang memperkaya diskusi.

Pertanyaan pertama datang dari peserta yang menyoroti konflik global yang sengaja dibiarkan untuk kepentingan politik dan ekonomi tertentu. Ia bertanya bagaimana strategi nyata untuk keluar dari lingkaran konflik semacam itu. Menanggapi hal ini, Prof. Isa menegaskan pentingnya menekan pihak yang memulai konflik sebagai langkah menciptakan keseimbangan kekuatan. “Perdamaian sejati hanya akan lahir dari keadilan yang ditegakkan,” ujarnya.

Pertanyaan kedua ditujukan kepada Prof. Anurat mengenai cara menjembatani perbedaan budaya antara wilayah utara dan selatan Thailand. Ia menjelaskan bahwa Thailand menerapkan kebijakan desentralisasi, memberi kewenangan luas kepada pemerintah daerah untuk merancang pembangunan sesuai kebutuhan lokal.

Pemerintah Thailand juga membentuk Southern Border Province Administrative Center (SBPAC) sebagai lembaga yang mempromosikan dialog lintas agama, reformasi pendidikan, dan penghargaan terhadap budaya lokal. “Desentralisasi adalah cara kami membangun rasa memiliki di masyarakat,” kata Prof. Anurat.

Pertanyaan ketiga menyinggung peran organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam mengatasi konflik di Thailand. Prof. Anurat menilai OMS berperan penting sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah. Mereka menyediakan ruang aman untuk berdiskusi, memediasi komunikasi politik, dan mempromosikan budaya dialog tanpa kekerasan.

“Tanpa masyarakat sipil yang kuat, negara kehilangan denyut demokrasinya,” ungkapnya. “Mereka bersama akademisi kampus adalah aktor kunci dalam membangun budaya damai dan toleran.”

Dari Konflik Menuju Ketahanan Global

Menutup hari pertama SAICoPSS 2025, suasana akademik terasa hidup oleh beragam refleksi dan wawasan lintas negara. Kedua pembicara menghadirkan pandangan yang saling melengkapi: Prof. Isa menekankan akar spiritual dan sosial dari konflik, sedangkan Prof. Anurat menyoroti dimensi struktural dan kebijakan publik.

Hari pertama konferensi pun berakhir dengan kesan mendalam. Para peserta tidak hanya membawa wawasan baru tentang teori konflik dan ketahanan, tetapi juga semangat untuk menerapkan prinsip-prinsip perdamaian dan kolaborasi lintas budaya dalam kehidupan nyata.

Dengan demikian, SAICoPSS 2025 menjadi simbol komitmen UIN Sunan Ampel Surabaya untuk terus berkontribusi dalam wacana global tentang masyarakat, kekuasaan, dan keberlanjutan, sekaligus mengukuhkan peran akademisi Indonesia dalam membangun dunia yang damai dan berkeadilan.(ASE)

 


Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan dan program FISIP UINSA, silakan kunjungi dan ikuti media sosial kami di Instagram.

Spread the love

Tag Post :

Categories

Berita