Surabaya, 04 November — Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya telah menerima kabar Bahagia dari salah satu Dosen FSH yaitu Bapak Mukhammad Nur Hadi, M.H. yang telah lolos di konferensi AICIS+ 2025 dan Konferensi CILIS di Melbourne Australia. Pengumuman kelulusan di terima pada tanggal 28 Oktober 2025.

AICIS+ 2025 merupakan versi baru dari konferensi tahunan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Depok, Jawa Barat, dan didukung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam – Kementerian Agama RI. Konferensi ini di adaakan demi mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan pendekatan multidisipliner (ilmu sosial, teknologi, lingkungan, ekonomi) guna menjawab tantangan global kontemporer. Menteri Agama menekankan bahwa “konferensi ini menjadi bagian dari respons terhadap isu kemanusiaan global”.
CILIS merupakan singkatan dari, Islamic Studies Postgraduate Conferenc. Konferensi ini Merupakan konferensi tahunan yang diprakarsai oleh CILIS di Melbourne Law School yang diselenggarakan oleh Centre for Indonesian Law, Islam and Society (CILIS). Konferensi ini di adakan demi mengumpulkan mahasiswa pascasarjana yang meneliti topik-topik terkait Islam, baik dari Australia maupun internasional.
Bapak Mukhammad Nur Hadi, M.H. serta tiga temannya yaitu Ibu Zainatul Ilmiyah, Bapak Maskur Rosyid, dan Bapak Fahruddin Ali Sabri, masing-masing dari instansi yang berbeda yakni dari UIN Sunan Ampel Surabaya dan UIN Walisongo Semarang. Penelitiannya memiliki daya tarik yang sangat kuat, yang berjudul “Protecting or Exploiting the Environment? Interpretive Contestation of Islamic Legal Maxims on Mining in Indonesia’s Digital Public Sphere”.
Penelitian ini memberikan wawasan seluas-luasnya bagi para peserta konferensi sekaligus memancing diskusi dengan penuh antusias. Penelitian ini mengulas perdebatan sengit di ruang publik digital Indonesia terkait tafsir kaidah fikih Islam (qawāʿid fiqhiyyah) dalam isu tambang yang melibatkan dua ormas islam terbesar yaitu, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Perdebatan ini muncul setelah pemerintah memberikan izin prioritas pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2024. Para akademisi islam memiliki perbedaan pandangan dalam menafsirkan kaidah fikih yang digunakan untuk membenarkan atau menolak keterlibatan ormas dalam bisnis tambang.
Pihak pertama, yang diwakili oleh Ulil Abshar Abdalla (NU), menilai bahwa tambang dapat dikelola selama memberi kemaslahatan ekonomi dan tidak menimbulkan kerusakan besar. Ia mengedepankan prinsip “memilih mudarat yang lebih ringan” (idhā taʿāraḍat mafsadatān rūʾiya akhaffuhumā) dan “pada dasarnya semua muamalah dibolehkan” (al-aṣl fī al-muʿāmalāt al-ibāḥa). Pandangan ini disebut sebagai tafsir advokatif-pragmatis, karena menekankan manfaat ekonomi jangka pendek bagi organisasi dan umat.
Pihak kedua, diwakili oleh Arif Maftuhin, Hengki Ferdiansyah, dan Airlangga Pribadi, menolak pendekatan tersebut. Mereka menilai bahwa eksploitasi tambang bertentangan dengan maqāṣid al-sharīʿa, terutama perlindungan terhadap lingkungan (ḥifẓ al-bīʾah) dan kehidupan manusia (ḥifẓ al-nafs). Mereka mendorong lahirnya “Fiqh Energi Terbarukan” dan menempatkan kemaslahatan jangka panjang serta keadilan antargenerasi di atas keuntungan ekonomi sesaat. Pandangan ini disebut tafsir advokatif-futuristik.
Penelitian ini menegaskan bahwa ruang publik digital (seperti Kompas.id, Islami.co, Maftuh.in, dan Facebook) telah menjadi arena penting bagi kontestasi otoritas hukum Islam. Debat ini menunjukkan bahwa tafsir hukum Islam dapat bersifat lentur dan responsif terhadap isu-isu modern seperti keadilan lingkungan, politik ekonomi, dan kebijakan pembangunan nasional.
Reportase: Desy Khoirur Rusida
Redaktur: Desy Khoirur Rusida