Sore itu, Rabu, 22 Oktober 2025, suasana di Masjid Ulul Albab Kampus 2 Gunung Anyar tampak berbeda dari biasanya. Di tengah siluet senja dan semilir angin Surabaya, sayup-sayup terdengar lantunan selawat yang dibawakan dengan penuh khidmat oleh grup banjari Imadus Sholawat. Tabuhan rebana yang ritmis seakan memanggil para mahasiswa untuk berkumpul, menandai dimulainya sebuah hajatan besar yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Sosiologi (HIMASOS) FISIP UINSA.
Bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional, HIMASOS melalui Departemen Keagamaan mempersembahkan sebuah simpul diskusi yang tidak biasa. Jika tahun-tahun sebelumnya peringatan ini identik dengan ceramah konvensional di balik podium, kali ini Kabinet Abhinava membawa napas baru. Mereka menyulap ruang ibadah menjadi panggung Talkshow Inspiratif yang dinamis, memadukan tradisi spiritual dengan diskursus intelektual yang segar.
Membingkai Perjuangan Melalui Visual
Kemeriahan peringatan hari santri tahun ini terasa lebih berwarna dengan adanya kompetisi kreativitas. Di sudut-sudut auditorium, terpampang karya-karya dari lomba infografis bertajuk “Menyambung Juang, Meraih Masa Depan.” Lomba ini bukan sekadar ajang unjuk gigi kemampuan desain, melainkan sebuah ikhtiar mahasiswa sosiologi dalam membedah sejarah perjuangan santri dan menerjemahkannya ke dalam bahasa visual yang mudah dipahami oleh generasi digital.
Ketua HIMASOS, Kharisma Ade Rosalia, tampak bersemangat saat menjelaskan filosofi di balik acara ini. Baginya, santri masa kini menghadapi medan tempur yang berbeda; bukan lagi angkat senjata, melainkan adu gagasan di ruang siber.
“Dunia digital adalah medan dakwah baru. Kami mengusung tema “Santri Mandiri, Indonesia Berprestasi: Menguatkan Spirit Keilmuan dan Kebangsaan di Era Digital” karena kami tidak ingin santri hanya menjadi penonton yang pasif. Santri harus menjadi pemain kunci, menjadi kreator konten yang membawa nilai-nilai keberagaman, dan menjadi motor penggerak peradaban di ruang digital,” ujar Kharisma dengan nada optimis saat diwawancarai oleh jurnalis LPM Parlemen.
Mendobrak Stigma: Santri di Garis Depan Modernitas
Memasuki sesi inti, suasana diskusi semakin hangat saat Faiz Chishomuddin naik ke atas panggung. Sosok da’i muda berprestasi ini dihadirkan untuk membedah realitas kehidupan santri dari sudut pandang orang dalam (insider). Dengan gaya bicara yang tenang namun lugas, Faiz seolah menjadi jawaban atas berbagai stigma miring yang selama ini melekat pada dunia pesantren.
Di bawah panduan moderator Rahma Widia Sari, Faiz membedah bagaimana identitas santri seharusnya menjadi katalisator, bukan penghambat kemajuan. “Stigma bahwa santri itu eksklusif atau gagap teknologi harus kita hapus dengan pembuktian. Kita harus berani mengambil risiko, mencoba hal baru, dan tetap kritis terhadap perubahan zaman,” ungkap Faiz di depan ratusan pasang mata mahasiswa.
Ia menekankan bahwa personal branding bagi seorang santri di media sosial adalah bentuk dakwah kontemporer. Menurutnya, kesalehan tidak boleh hanya berdiam diri di dalam musala, tetapi harus dipancarkan melalui perilaku digital yang positif. Strategi dakwah masa kini, menurut Faiz, adalah bagaimana kita tetap menjaga jati diri santri—dengan segala kerendahan hati dan kedalaman ilmunya—namun tetap mampu berbicara dengan bahasa dunia global.
Sosiologi, Karakter, dan Pengabdian
Inovasi yang diinisiasi oleh HIMASOS ini memberikan gambaran jelas bahwa sosiologi bukan sekadar ilmu tentang masyarakat yang kaku di dalam buku teks. Melalui kegiatan ini, HIMASOS membuktikan bahwa pemahaman sosiologis harus berakar pada karakter dan moralitas yang kuat. Program kerja ini menjadi jembatan bagi mahasiswa untuk mengasah religiusitas sekaligus kepekaan sosial mereka sebelum nantinya terjun langsung ke tengah masyarakat.
Tepat pukul 17.00 WIB, saat matahari mulai meredup di cakrawala Gunung Anyar, acara berakhir dengan penuh kesan. Para peserta pulang tidak hanya membawa pengetahuan baru, tetapi juga semangat baru untuk menjadi “Santri Digital” yang berintegritas.
Peringatan Hari Santri Nasional di FISIP UINSA tahun ini sukses menjadi pengingat: bahwa menjadi santri adalah tentang menjaga semangat juang para kiai, sementara menjadi mahasiswa sosiologi adalah tentang merawat kemanusiaan. Keduanya melebur dalam satu harmoni di bawah naungan Masjid Ulul Albab.
Berita ini didasarkan pada pemberitaan yang sudah diterbitkan oleh LPM Parlemen.