Dr. Slamet Muliono Redjosari
Di tengah politik yang penuh dengan kemunafikan dan kepura-puraan, muncul keterbukaan politik berbasis data. Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan tampil berbeda dengan gaya politik yang blak-blakan, jujur, dan berani mengungkap penyimpangan. Meski menuai kontroversi, sikapnya menantang budaya diam yang selama ini menutupi kesalahan atas nama stabilitas. Fenomena ini memperlihatkan dua wajah politik Indonesia, kejujuran yang membawa perubahan dan kemunafikan yang melanggengkan kebusukan kekuasaan.
Kejujuran Politik
Dalam lanskap politik nasional yang kerap diwarnai kepura-puraan dan kepentingan tersembunyi, munculnya gaya komunikasi politik yang jujur dan terbuka. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Purbaya Yudhi Sadewa, dengan berbagai pernyataannya yang langka sekaligus menyegarkan. Dikatakan langka karena menyampaikan dengan berbasis data yang kuat. Dikatakan menyegarkan karena publik mendapatkan harapan baru.
Di tengah kebiasaan politik yang cenderung menutup-nutupi masalah, gaya blak-blakan ini berfungsi sebagai terapi publik terhadap rasa frustasi masyarakat atas lemahnya transparansi pengelolaan negara. Data menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap elite politik Indonesia terus menurun. Dalam konteks ini, gaya politik terbuka menjadi oase moral di tengah kemunafikan politik dan birokrasi.
Kejujuran politik bukan hanya soal moral pribadi, tetapi juga soal tata kelola publik. Salah satu di antaranya, ketika Purbaya dengan tegas menolak penggunaan dana APBN untuk menanggung utang Woosh, kereta cepat Jakarta–Bandung. Dia sedang menunjukkan bentuk tanggung jawab fiskal yang jarang ditunjukkan pejabat publik lain. Sikapnya memperlihatkan keberpihakan pada prinsip good governance, yakni penggunaan anggaran yang efisien dan akuntabel. Ia juga menolak ikut dalam rombongan ke Tiongkok yang hendak membahas pembiayaan Whoosh, dengan alasan tidak ingin terlibat dalam kebijakan yang berpotensi menambah beban keuangan negara. Tindakan seperti ini, meskipun tampak sederhana, merupakan bentuk nyata kejujuran politik yang berakar pada keberanian moral, berani berbeda demi kepentingan publik.
Kejujuran politik lainnya, tampak ketika Purbaya menyoroti fenomena “anggaran mengendap” di pemerintah daerah. Ia mengungkap bahwa dana daerah yang mengendap di bank mencapai sekitar Rp 285 triliun, padahal banyak daerah mengeluh kekurangan dana untuk pembangunan. Data ini memperlihatkan adanya ketidakefisienan dan lemahnya perencanaan anggaran. Dengan membuka fakta tersebut ke ruang publik, Purbaya bukan sekadar berbicara, tetapi menegakkan fungsi kontrol sosial terhadap sistem keuangan negara.
Gaya keterbukaan ini juga terlihat saat ia mengkritik proyek aplikasi Cortex, yang diklaim sebagai hasil karya anak SMA. Namun justru menyebabkan penerimaan pajak menurun meskipun anggarannya mencapai Rp 1,3 triliun. Kritik ini menyingkap persoalan klasik dalam politik pembangunan, diman proyek yang didorong oleh semangat pencitraan, bukan oleh perencanaan matang. Transparansi Purbaya memaksa publik dan pemerintah untuk mengevaluasi ulang pola manajemen proyek nasional, khususnya yang berkaitan dengan efektivitas anggaran dan integritas lembaga pelaksana.
Kejujuran politik juga tampak ketika ia menolak gagasan family office, lembaga pengelolaan dana orang kaya, karena menilai skema itu berpotensi menjadi tempat pencucian uang terselubung. Purbaya mengingatkan bahwa negara seharusnya mengelola dana publik, bukan memfasilitasi akumulasi kekayaan privat. Sikap ini menunjukkan bahwa kejujuran politik tidak selalu populis, namun prinsipnya tegas, yang mana tidak menggadaikan etika demi keuntungan jangka pendek.
Kemunafikan Politik
Berbanding terbalik dengan gaya jujur dan blak-blakan, kemunafikan politik telah mengakar dalam tubuh birokrasi. Ia tumbuh dari kombinasi antara kepentingan ekonomi, loyalitas semu, dan budaya diam yang diwariskan dari sistem feodal. Banyak pejabat publik memilih untuk “diam demi stabilitas” alih-alih berbicara demi kebenaran. Dalam situasi ini, politik kehilangan moralnya dan berubah menjadi arena transaksi.
Di tengah blak-blakan dan kejujuran politik ini, muncul Hasan Nasbi, mantan kepala kantor Kepresidenan era Jokowi, menegur Purbaya agar tidak mengkritik secara terbuka karena dapat memicu perpecahan internal cabinet. Hal itu mencerminkan paradigma politik yang mengutamakan keseragaman semu dibanding transparansi publik.
Pandangan semacam itu menempatkan “soliditas pemerintah” di atas kepentingan rakyat, padahal demokrasi justru menuntut akuntabilitas terbuka. Kritik Purbaya seharusnya dibaca sebagai bentuk partisipasi politik yang sehat, bukan sebagai ancaman terhadap kesatuan pemerintahan. Reaksi balik yang muncul memperlihatkan wajah kemunafikan politik yang lebih dalam, yakni ketika kritik dianggap ancaman karena dapat mengungkap jaringan kepentingan yang selama ini tersembunyi.
Kemunafikan politik juga tampak dalam kebijakan energi. Pertamina misalnya, selama bertahun-tahun berjanji membangun tujuh kilang minyak baru untuk mengurangi ketergantungan impor dari Singapura. Namun hingga kini janji itu tidak pernah terwujud. Akibatnya, Indonesia masih harus menanggung biaya impor tinggi yang membebani APBN. Ketika Purbaya mengungkap fakta ini, reaksi defensif segera muncul, termasuk dari internal Pertamina sendiri. Namun menariknya, ada salah satu pejabat Pertamina yang menemui Purbaya dan mengakui kebenaran sebagian kritiknya, bahwa banyak pihak di dalam tubuh perusahaan minyak itu terganggu karena kehilangan komisi dari impor minyak. Fakta ini menggambarkan dengan jelas bagaimana kemunafikan politik bekerja, dimana kebenaran sering kali diakui diam-diam, tetapi ditolak di ruang publik.
Fenomena blak-blakan Purbaya berbasis data ini merupakan bentuk kejujuran di tengah kemunafikan politik. Hal ini selaras dengan konteks masyarakat modern yang menuntut keterbukaan, kemunafikan ini justru menggerogoti legitimasi negara. Memang gaya komunikasi politik Purbaya yang terbuka dipandang menciptakan anomali dalam sistem politik yang penuh dengan kemunafikan.
Purbaya telah menunjukkan kejujuran politik yang harus mendapatkan dukungan luas sekaligus menjadi budaya politik, asal bukan politik pencitraan untuk mendapatkan target politik tersembunyi. Disinilah pentingnya daya kritis publik terus ditumbuhkan, agar tidak terjadi sihir politik rezim sebelumnya.
Di tengah budaya kemunafikan yang dipandang biasa dan akan mengakar kuat bilamana mengalami pembiaran, maka kejujuran Purbaya memang menimbulkan kegaduhan politik. Namun kegaduhan politik itu lebih banyak menimpa segelintir elite yang selama ini mendapat keuntungan politik ekonomi. Sementara rakyat kebanyakan justru mendapatkan optimisme dan harapan baru di tengah penderitaan ekonomi.
Surabaya, 30 Oktober 2025