Dr. Slamet Muliono Redjosari
Setiap manusia memiliki keyakinan hidup yang diyakininya sebagai millah (agama), suatu pandangan hidup, arah keyakinan, dan prinsip bertindak yang dianggap benar. Millah dalam pengertian Al-Qur’an bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga kerangka nilai yang menuntun perilaku kolektif manusia. Oleh karenanya Allah mengutus rasul untuk membimbing di atas millah yang benar. Itulah “Millah Profetik.” Namun kebanyakan manusia memiliki millah sendiri yang umumnya memiliki kepentingan jangka pendek dan sesaat. Itulah “Millah Politik.” Dua millah pun berseberangan dan sulit dikompromikan karena millah profetik berorientasi akherat sementara millah politik berorientasi kepentingan-duniawi. Millah profetik seringkali mengalami perlawanan sengit dari millah politik yang berupaya meredupkan cahaya kebenaran.
Dua Millah
Millah merujuk pada ajaran inti atau pokok-pokok syariat yang tidak pernah berubah sejak manusia pertama hidup hingga manusia akhir zaman. Millah Ibrahim, misalnya, adalah ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, yang menekankan pentingnya ketaatan dan kepatuhan kepada Allah. Demikian pula millah yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan ajaran agama yang disampaikan kepada umat Islam untuk mentauhidkan Allah.
Oleh karena fokus pada ajaran inti atau pokok-pokok syariat, maka nabi menunjukkan jalan (Sabil) yang mengarahkan guna menuju kepada Allah. Apa yang dilakukan oleh nabi kebanyakan mengalami perlawanan dari manusia yang memiliki millah sendiri yang orientasinya untuk kepentingan sesaat. Inilah yang disebut “Millah politik.” Untuk meyakinkan kepada umat, Millah politik juga terdapat narasi moral dan bernuansa “religius” untuk menutupi ambisi ekonomi-politik-kekuasaannya.
Dalam “millah politik” lebih banyak menjadi alat legitimasi untuk menguasai akal dan hati umat, yang ujungnya membuat tipu daya kepada manusia agar mengikutinya. Ketika di akherat, manusia baru menyadari adanya tipuan itu, maka mereka menyesal dan mengadukannya kepada Allah. Al-Qur’an menegaskan hal ini sebagaimana firman-Nya :
وَقَا لُوْا رَبَّنَاۤ اِنَّاۤ اَطَعْنَا سَا دَتَنَا وَكُبَرَآءَنَا فَاَ ضَلُّوْنَا السَّبِيْلَاۡ
“Dan mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Ahzab : 67)
Ayat ini menggambarkan kondisi sosial-politik dimana kepemimpinan duniawi diposisikan seolah mewakili kehendak Tuhan. Para pengikut tidak lagi menggunakan akal untuk menimbang kebenaran, melainkan menyerahkan sepenuhnya kesadaran kepada elite politik dan agama yang memonopoli tafsir kebenaran. Inilah bentuk awal dari “millah politik” dimana ideologi yang mempersonifikasi kebenaran pada manusia, bukan pada wahyu.
Dalam sejarah umat manusia, penyimpangan millah kerap dibungkus dengan slogan kebaikan. Mereka yang menolak kebenaran, mengklaim membela moralitas, tradisi, atau kemanusiaan. Dalam mempengaruhi orang lain, mereka berani menjamin dosa asal mengikuti millahnya. Semua itu hanyalah perkataan dusta, sebagaimana yang disingkap Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا اتَّبِعُوا سَبِيلَنَا وَلْنَحْمِلْ خَطَايَاكُمْ ۗ وَمَا هُمْ بِحَامِلِينَ مِنْ خَطَايَاهُمْ مِنْ شَيْءٍ ۗ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Artinya :
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang beriman, ‘Ikutilah jalan kami, dan kami akan memikul dosa-dosamu,’ padahal mereka sedikit pun tidak sanggup memikul dosa-dosa mereka sendiri. Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (QS Al-‘Ankabut: 12)
Ayat ini menyingkap retorika klasik para penyesat yang mengaku bertanggung jawab atas kesalahan orang lain, seolah memiliki kuasa menebus dosa. Pola ini terus berulang dalam politik modern, dimana pemimpin atau ideolog yang berjanji menanggung beban rakyat, namun sesungguhnya menjerumuskan mereka ke dalam kerusakan sosial dan moral. Setiap “millah politik” yang tidak berakar pada kebenaran ilahiah akan berujung pada kedustaan dan manipulasi.
Millah Menyesatkan
Strategi penyesatan ini tidak pernah sederhana. Ia berlangsung halus, bertahap, dan terstruktur. Kelompok yang berkuasa menggunakan bahasa, media, dan kebijakan sebagai instrumen untuk membelokkan pandangan umat. Al-Qur’an menggambarkan bagaimana kaum lemah akhirnya menyadari bahwa mereka tertipu oleh propaganda para pemimpin yang congkak. Berikut pernyataan Al-Qur’an :
وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا بَلْ مَكْرُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَا أَنْ نَكْفُرَ بِاللَّهِ وَنَجْعَلَ لَهُ أَنْدَادًا ۗ فَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ
“Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, ‘(Tidak!) Sebenarnya tipu daya-mu pada waktu malam dan siang yang menghalangi kami, ketika kamu menyeru kami agar kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya.’ Mereka menyatakan penyesalan ketika melihat azab.” (QS Saba’: 33)
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga menggambarkan pola dominasi ideologis sepanjang zaman. Tipu daya malam dan siang merupakan pengendalian kesadaran melalui narasi, hiburan, dan kebijakan yang membuat manusia nyaman dalam kesesatan. Inilah strategi meredupkan cahaya kebenaran. Cara yang halus, bukan dengan menghancurkan secara frontal, tetapi dengan menutupinya perlahan-lahan hingga cahaya itu tampak samar.
Dalam dunia modern, bentuk-bentuk millah penyesat ini muncul dalam ideologi materialisme, sekularisme, liberalisme, hingga ekstremisme agama. Semua menawarkan janji kebebasan, kemajuan, atau keselamatan, namun sesungguhnya menjauhkan manusia dari pusat kebenaran, yaitu tauhid. Mereka berjuang bukan untuk menegakkan keadilan Allah, melainkan mempertahankan sistem yang memberi keuntungan pada kelompok tertentu. Maka millah yang menolak bimbingan wahyu guna melegalisasi tindakan menyimpang.
Islam hadir sebagai jalan lurus yang melampaui semua kepentingan manusia. Ia tidak tunduk pada logika kekuasaan, tetapi pada logika kebenaran. Islam mengajarkan bahwa kebenaran bukanlah milik kelompok, melainkan milik Allah. Karena itu, tugas umat bukan menciptakan millah baru, tetapi menjaga kemurnian millah Ibrahim, dimana jalan tauhid yang menempatkan Allah sebagai pusat kehidupan.
Namun, menjaga cahaya kebenaran memerlukan keberanian spiritual dan intelektual. Dalam era informasi, di mana kebenaran sering dikaburkan oleh opini dan kepentingan, tugas utama orang beriman adalah menyalakan kembali cahaya itu. Setiap kali muncul millah baru yang menolak nilai-nilai ilahiah, kita terpanggil untuk menegaskan kembali kalimat tauhid sebagai fondasi perlawanan terhadap penyesatan.
Surabaya, 9 Nopember 2025