Fakultas Ilmu Sosial & Politik
October 20, 2025

Perkuat Hubungan Bersejarah, Policy Lab KemitraAN Indonesia-Uzbekistan Digelar di UINSA Surabaya

Perkuat Hubungan Bersejarah, Policy Lab KemitraAN Indonesia-Uzbekistan Digelar di UINSA Surabaya

Fisip UINSA – Dalam rangka memperdalam dan merumuskan langkah strategis kemitraan bilateral, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Direktorat Asia Selatan dan Tengah bekerja sama dengan mitra akademisi serta kementerian/lembaga teknis, menyelenggarakan acara “Policy Lab: Perumusan Strategi Kemitraan Indonesia–Uzbekistan”. Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari, 16-18 Oktober 2025, dipusatkan di kampus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Gunung Anyar, Surabaya.

Acara ini dirancang sebagai forum intensif untuk memetakan potensi, mengidentifikasi tantangan, dan merumuskan rekomendasi kebijakan konkret guna memperkuat hubungan kedua negara, dengan fokus khusus pada penjajakan kerja sama Sister Province antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Samarkand (Uzbekistan).

Kegiatan utama berupa diskusi panel dan stocktaking dilaksanakan pada hari kedua, Jumat (17/10). Acara dibuka secara resmi oleh Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika (Aspasaf) Kementerian Luar Negeri dan Rektor UINSA Surabaya, yang dalam sambutannya menekankan pentingnya sinergi antara diplomasi dan dunia akademik sebagai basis perumusan kebijakan luar negeri yang cerdas.

“Hari ini kita membangun platform yang menghubungkan diplomasi praktis dengan kajian akademik, agar kerja sama Indonesia–Uzbekistan tidak sekadar simbolis tetapi menghasilkan langkah konkret,” ujar Direktur Jenderal Aspasaf dalam sambutannya

Rektor UINSA Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D  mengatakan: “Kami berharap kegiatan ini menjadi jembatan antara kampus dan diplomasi, agar akademik benar-benar memberi kontribusi dalam menghadapi tantangan zaman.”

Penyelenggaraan di kampus UINSA menunjukkan pentingnya perguruan tinggi menjadi ruang dialog strategis terutama bagi isu lintas-negara dan kawasan. Melalui forum seperti ini, kampus tidak hanya sebagai institusi pendidikan, tetapi juga sebagai mitra aktif dalam diplomasi dan pembangunan nasional.

Secara khusus, pengembangan kerja sama antar-provinsi melalui mekanisme Sister Province menunjukkan bagaimana diplomasi sub-nasional dapat menjadi komponen penting dalam hubungan bilateral modern. Kerja sama antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Samarkand menjadi contoh konkret bagaimana potensi sejarah, budaya, ekonomi, dan kebijakan dapat disinergikan.

Jejak Sejarah Sebagai Fondasi Kemitraan

Sesi I yang bertajuk “Understanding the Landscape & Context” menghadirkan Duta Besar Uzbekistan untuk Indonesia, H.E. Oybek Eshonov, sebagai pembicara kunci. Dubes Eshonov menyoroti kedekatan historis dan spiritual yang telah lama terjalin.

“Tokoh besar seperti Imam al-Bukhari, al-Maturidi, dan at-Tirmidzi berasal dari Uzbekistan. Bagi Indonesia, kami mungkin ‘far from sight, but close to the heart’ (jauh di mata, namun dekat di hati),” ujar Dubes Eshonov.

Beliau juga mengenang kunjungan bersejarah Presiden Sukarno ke makam Imam al-Bukhari, yang kini diabadikan dalam museum Sukarno di Uzbekistan. “Indonesia adalah sahabat dekat dan mitra yang dapat diandalkan,” tegasnya.

Dubes Eshonov menambahkan bahwa kedua negara tengah bergerak menuju kemitraan strategis, didukung oleh kerja sama antarparlemen dan komisi gabungan antarpemerintah. Secara khusus, ia menyoroti inisiatif kerja sama antara Provinsi Samarkand dan Provinsi Jawa Timur di bidang perdagangan, investasi, dan pertukaran budaya, yang semakin dimudahkan dengan kebijakan bebas visa bagi turis Indonesia ke Uzbekistan sejak Februari 2018.

Moderator sesi, Nur Luthfi Hidayatullah, M.Hub.Int., Dosen Hubungan Internasional UINSA, memperkuat narasi sejarah ini. Ia menyebut Policy Lab ini sangat penting untuk memformulasikan kemitraan strategis, khususnya antara Jawa Timur dan Samarkand.

“Kedekatan ini bukan hal baru. As-Syekh Sayyid Ibrahim Zainuddin As–Samarqandy, atau Sunan Tuban, wafat di Tuban pada 1425. Putra beliau, As-Syekh Sayyid Ali Rahmatullah, atau Sunan Ampel, wafat di Surabaya pada 1481. Ini adalah bukti jejak Samarkand yang tak terpisahkan dari sejarah Jawa Timur,” jelas Luthfi.

Menuju “Sister Province” Jawa Timur – Samarkand

Fokus utama dari kegiatan Policy Lab “Perumusan Strategi Kemitraan Indonesia–Uzbekistan” ini terletak pada upaya konkret membangun kerja sama Sister Province antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Samarkand. Gagasan ini tidak hanya menjadi simbol hubungan diplomatik, tetapi juga merupakan bentuk kolaborasi nyata antarwilayah yang memiliki potensi ekonomi, sosial, dan budaya yang saling melengkapi. Dalam forum tersebut, para peserta sepakat bahwa pendekatan berbasis daerah menjadi langkah strategis untuk memperkuat diplomasi Indonesia di tingkat akar rumput, sekaligus membuka peluang baru dalam bidang perdagangan, pendidikan, dan investasi.

Sebagai representasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur, hadir dua narasumber kunci: Dr. Lilik Pudjiastuti, Kepala Biro Otonomi Daerah, dan Dr. Ir. Diah Wahyu Ermawati, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Provinsi Jawa Timur. Dalam paparannya, Dr. Lilik Pudjiastuti menekankan pentingnya kerja sama berbasis sub-national diplomacy atau diplomasi daerah, yang kini menjadi salah satu prioritas strategis dalam mendorong pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal. Ia menilai bahwa Jawa Timur memiliki posisi yang sangat potensial untuk menjadi mitra utama Samarkand, baik karena kesiapan infrastruktur, kapasitas ekonomi, maupun kedekatan nilai-nilai budaya yang berakar pada sejarah Islam dan perdagangan maritim masa lalu.

Sementara itu, Dr. Diah Wahyu Ermawati menyoroti potensi ekonomi yang dapat dikembangkan dalam kerja sama ini. Menurutnya, Samarkand memiliki keunggulan dalam sektor pariwisata sejarah, industri tekstil, dan pertanian kering, sedangkan Jawa Timur unggul dalam industri pengolahan, perdagangan, serta pendidikan tinggi berbasis riset. “Kedua wilayah ini bisa saling menguatkan. Jawa Timur dapat berperan sebagai gateway kerja sama Indonesia–Asia Tengah melalui transfer pengetahuan, investasi, serta pengembangan pelatihan tenaga kerja,” ujarnya. Ia juga menyebut bahwa peluang investasi lintas sektor, termasuk industri halal, logistik, dan teknologi pertanian, sangat terbuka untuk dijajaki.

Pembahasan teknis berlanjut dengan pemaparan dari Dameria Febriyani Panjaitan, Kepala Bagian Kerja Sama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dameria menjelaskan bahwa pembentukan Sister Province harus melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk proses feasibility study, penyusunan naskah nota kesepahaman (MoU), hingga tahap action plan konkret yang dapat diimplementasikan oleh masing-masing pemerintah daerah. Ia menegaskan pentingnya harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah agar kerja sama ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga menghasilkan manfaat nyata bagi masyarakat di kedua belah pihak.

Lebih jauh, Febriyani menambahkan bahwa inisiatif ini sejalan dengan arahan Presiden RI terkait diplomasi ekonomi daerah dan penguatan peran pemerintah provinsi dalam menjalin hubungan internasional. Dengan demikian, forum Policy Lab ini diharapkan dapat menjadi model sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, dan mitra internasional dalam menciptakan kemitraan yang berorientasi pada hasil. “Jawa Timur dan Samarkand memiliki potensi besar untuk tumbuh bersama dalam semangat mutual partnership. Yang dibutuhkan sekarang adalah konsistensi, koordinasi, dan keberlanjutan,” ujarnya menutup sesi.

Melalui diskusi yang konstruktif ini, terlihat bahwa kerja sama Sister Province antara Jawa Timur dan Samarkand bukan sekadar proyek diplomasi formal, melainkan momentum strategis untuk memperkuat peran Indonesia di kawasan Asia Tengah. Forum ini menjadi tonggak penting dalam diplomasi daerah, membuka ruang kolaborasi yang lebih luas di bidang ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan, serta menjadi cerminan dari semangat “diplomasi yang membumi” diplomasi yang tidak hanya dijalankan oleh diplomat, tetapi juga oleh masyarakat, akademisi, dan pemerintah daerah.

Memetakan Tiga Pilar Kerja Sama

Sesi II dari rangkaian Policy Lab: Perumusan Strategi Kemitraan Indonesia–Uzbekistan menjadi tahap penting dalam merumuskan arah konkret hubungan bilateral kedua negara. Sesi ini difokuskan pada stocktaking, yakni inventarisasi menyeluruh terhadap potensi kerja sama yang telah ada sekaligus identifikasi area baru yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Pendekatan ini memungkinkan peserta forum untuk menilai capaian yang telah diraih dan menyusun peta jalan kerja sama yang lebih sistematis di masa depan. Melalui sesi ini, tiga pilar utama yaitu ekonomi–investasi, politik–keamanan, serta sosial–budaya dijadikan sebagai kerangka dasar hubungan yang komprehensif dan saling menguatkan.

Pada pilar ekonomi–investasi, pembahasan berfokus pada peluang konkret yang dapat segera ditindaklanjuti melalui penandatanganan sejumlah Memorandum of Understanding (MoU). Di antaranya, wacana pembentukan Twin Cities atau kota kembar antara Samarkand dan salah satu kota di Jawa Timur yang memiliki karakteristik ekonomi dan budaya serupa. Selain itu, sektor mineral, energi, dan industri logistik juga menjadi perhatian utama, mengingat Uzbekistan memiliki cadangan mineral strategis, sementara Indonesia — khususnya Jawa Timur — memiliki keunggulan dalam industri pengolahan dan ekspor. Tak kalah penting, usulan perjanjian Air Transport Agreement dan MoU di bidang karantina diharapkan mampu memperlancar mobilitas barang, jasa, dan manusia antarwilayah, sekaligus memperkuat konektivitas ekonomi kedua negara.

Sementara dalam pilar politik–keamanan, diskusi berlangsung lebih mendalam mengenai posisi strategis kedua negara dalam dinamika geopolitik kawasan. Uzbekistan yang menjadi anggota Shanghai Cooperation Organization (SCO) memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas dan kerja sama di kawasan Asia Tengah. Indonesia, sebagai mitra wicara SCO, dapat memanfaatkan hubungan ini untuk memperluas jangkauan diplomasi multilateralnya, khususnya di bidang keamanan non-tradisional seperti penanggulangan terorisme, keamanan siber, dan diplomasi kemanusiaan. Para pembicara menekankan bahwa kemitraan Indonesia–Uzbekistan tidak hanya berbasis ekonomi, tetapi juga dapat memperkuat posisi kedua negara sebagai bridge builders antara Asia Tenggara dan Asia Tengah, dua kawasan yang tengah tumbuh pesat dalam percaturan global.

Adapun pada pilar sosial–budaya, forum menghadirkan Dr. Bambang Susanto, M.A., dosen Studi Kawasan Asia Tengah sekaligus mantan diplomat Indonesia, yang memaparkan pentingnya dimensi kultural sebagai fondasi hubungan jangka panjang. Ia menegaskan bahwa hubungan Indonesia dan Uzbekistan tidak bisa dilepaskan dari warisan sejarah Islam yang sama-sama menjadi bagian dari identitas nasional kedua bangsa. “Kedekatan spiritual ini adalah modal budaya yang sangat kuat untuk memperkuat people-to-people contact,” ujar Dr. Bambang. Ia mengusulkan pembentukan “Central Asia Center”, sebuah pusat studi dan pertukaran budaya di Indonesia yang difokuskan untuk memperdalam kajian Asia Tengah, memperluas kerja sama riset, serta memfasilitasi pertukaran pelajar, seniman, dan peneliti antara kedua negara.

Lebih jauh, Dr. Bambang menilai bahwa pendekatan kultural adalah strategi diplomasi lunak (soft diplomacy) yang efektif dalam memperkuat hubungan bilateral. Melalui kegiatan seni, literasi sejarah, kuliner, hingga kerja sama pendidikan tinggi, masyarakat di kedua negara dapat saling mengenal lebih dekat dan menumbuhkan rasa saling percaya. “Jika hubungan antarnegara hanya bertumpu pada ekonomi dan politik, ia bisa rapuh. Tetapi jika dibangun di atas fondasi budaya dan sejarah bersama, ia akan lebih kokoh dan berumur panjang,” ujarnya menegaskan.

Diskusi dalam Sesi II ini menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis yang akan dituangkan dalam laporan akhir Policy Lab. Rekomendasi tersebut mencakup perlunya pembentukan task force lintas kementerian untuk menindaklanjuti hasil forum, penyiapan program pertukaran pelajar dan magang lintas universitas, serta eksplorasi peluang investasi antara pelaku usaha kecil-menengah (UKM) di Jawa Timur dan mitra bisnis di Samarkand. Dengan tiga pilar utama ini, hubungan Indonesia–Uzbekistan diharapkan tidak hanya berhenti pada tataran diplomasi formal, melainkan bertransformasi menjadi kemitraan komprehensif yang berkelanjutan dan berdampak nyata bagi masyarakat di kedua negara.

Kegiatan Policy Lab ini ditutup dengan sesi diskusi dan koordinasi lanjutan bersama mitra akademisi pada Sabtu (18/10). Diharapkan, hasil dari forum ini dapat menjadi rekomendasi kebijakan yang solid bagi Kementerian Luar Negeri dan pemangku kepentingan terkait untuk mewujudkan kemitraan yang lebih konkret dan bermanfaat bagi masyarakat kedua negara. (RnD)


Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan dan program FISIP UINSA, silakan kunjungi dan ikuti media sosial kami di Instagram.

Spread the love

Tag Post :

Categories

Berita