Prodi Pendidikan Agama Islam
November 16, 2025

Penyebaran Radikalisme Kian Variatif, Waspadai Medsos dan Pengajian Tertutup

Penyebaran Radikalisme Kian Variatif, Waspadai Medsos dan Pengajian Tertutup

Sidoarjo, 15 Nopember 2025 Upaya mitigasi terhadap intoleransi dan radikalisme kembali menjadi perhatian setelah sejumlah data menunjukkan bahwa pola penyebaran ideologi ekstrem-radikal semakin variatif. Dalam sebuah pemaparan bertajuk Mitigasi Intoleransi dan Radikalisme, Dr. H. Syaifuddin, M.Pd.I, Tim Pengabdian UINSA, mengungkap berbagai pola baru rekrutmen kelompok radikal yang dinilai semakin sistematis dan menyasar masyarakat dari beragam latar belakang.

Menurutnya, radikalisme saat ini tidak hanya menyebar melalui jalur konvensional seperti kelompok kajian tertutup, tetapi telah berkembang melalui media sosial, jejaring keluarga, hingga lapas. Fenomena ini dinilai memperbesar risiko penyebaran karena menyentuh lapisan masyarakat yang semakin luas, termasuk remaja, tenaga kerja migran, bahkan ibu rumah tangga.

Media Sosial dan Lone Wolf: Tantangan Baru dalam Dunia Digital

Syaifuddin menjelaskan bahwa media sosial menjadi jalur paling cepat dan sulit dikendalikan dalam penyebaran radikalisme. Melalui platform seperti Facebook, individu bisa terpapar secara mandiri tanpa kontak langsung dengan kelompok radikal. Pola ini sering disebut sebagai lone wolf, yakni individu yang melakukan aksi ekstrem-radikal karena inspirasi dari konten tanpa berafiliasi langsung. “Media sosial menjadi pintu masuk paling berbahaya karena tidak terlihat. Prosesnya sunyi, tetapi dampaknya sangat besar.”

Pengajian Tertutup: Ruang Radikalisasi Berbasis Keagamaan

Sementara itu, Dr. H. Muhammad Fahmi, M.Hum, M.Pd, Petugas lapangan dalam pengabdian ini, menyatakan, selain media sosial, pengajian dengan muatan keagamaan radikal menjadi jalur rekrutmen yang masih dominan. Beberapa kasus yang dipaparkan menunjukkan bahwa individu muda, termasuk alumni pesantren atau mahasiswa baru, bisa direkrut melalui pengajian yang dipimpin ustadz yang memiliki afiliasi dengan jaringan radikal. “Pengajian radikal biasanya berlangsung tertutup, eksklusif, dan penuh cuci otak ideologis. Ini pola yang berulang dari tahun ke tahun.”

Jalur Keluarga dan Perkawinan: Perempuan Jadi Target Rentan

Pemateri yang lain menyoroti bahwa banyak perempuan direkrut melalui jalur keluarga. Pola ini terjadi ketika pria yang telah terpapar radikalisme mempengaruhi istri atau kerabat perempuan untuk turut bergabung dengan kelompok radikal. “Rekrutmen melalui pernikahan adalah fenomena sangat kuat. Perempuan sering jadi sasaran karena dianggap sebagai jalur memperkuat generasi berikutnya.”

Lapas Jadi Lahan Subur Rekrutmen Baru

Pemateri juga mengingatkan bahwa lembaga pemasyarakatan (lapas) menjadi ruang rekrutmen yang tidak bisa diabaikan. Beberapa narapidana terorisme diketahui secara aktif merekrut pembesuk maupun napi pidana umum. Kasus di beberapa Lapas memperlihatkan bahwa napiter berperan sebagai “mentor ideologis” bagi pengunjung dan sesama tahanan. “Jika proses deradikalisasi tidak berjalan dengan baik, Lapas justru melahirkan jaringan baru yang lebih solid.”

Doktrin Radikal: Mengafirkan Pemerintah hingga Membenarkan Kekerasan

Dalam kesempatan yang lain, Prof. Dr. H. Ali Mas’ud, M.Ag, M.Pd.I, Ketua Tim Pengabdian dari UINSA, memaparkan beragam doktrin radikal yang digunakan untuk mengubah cara pandang seseorang. Doktrin tersebut antara lain menyebut pemerintah sebagai kafir, menghalalkan darah sesama muslim yang berbeda pandangan, dan memaknai jihad secara sempit sebagai peperangan fisik.

Beberapa pernyataan yang sering muncul pada individu yang sudah terpapar antara lain: “Pemerintah ini kafir, Ini negara thoghut, Bagus itu kalau dibom, ISIS tidak sepenuhnya brutal, dll.“ Menurut pemateri, doktrin-doktrin seperti ini dapat mengubah seseorang menjadi ekstrem-radikal-teroris dalam waktu singkat apabila tidak ditangani dengan tepat.

Sumber Pendanaan yang Terorganisir

Salah satu aspek penting yang dibahas dalam acara “Edukasi Islam Wasathiyah untuk Mitigasi Radikalisme Agama” ini adalah sistem pendanaan kelompok radikal. Banyak jaringan ekstremis yang mendanai operasi mereka melalui yayasan kemanusiaan, donasi publik, hingga bisnis legal seperti perkebunan dan industri rumahan. “Pendanaan kelompok teror sangat rapi. Ini menunjukkan bahwa mereka bukan gerakan sporadis, tetapi jaringan sistematis yang sadar strategi,” ujar Syaifuddin.

Dalam paparannya, pemateri juga mencatat keberadaan sejumlah kelompok radikal dan intoleran. Di antaranya eks HTI, eks FPI, Khilafatul Muslimin, JAS, JAK, JI, dan JAD. Sebagian dari kelompok ini tidak terlibat aksi kekerasan secara langsung, tetapi menyebarkan narasi intoleransi yang dapat menjadi pintu masuk radikalisasi.

Mitigasi Harus Melibatkan Semua Pihak

Menutup pemaparannya, pemateri menegaskan bahwa mitigasi radikalisme tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Pemerintah, tokoh agama, keluarga, institusi pendidikan, hingga masyarakat umum memiliki peran penting untuk mengawasi, mendidik, dan memperkuat nilai moderasi. “Radikalisme tumbuh melalui celah-celah kecil dalam kehidupan sosial. Karena itu, kita semua harus menjadi bagian dari Solusi.”

Spread the love

Tag Post :

Categories

Berita