SURABAYA – Program Studi Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA) kembali menggelar National English Undergraduate Students Conference (NEUSCO) untuk ketiga kalinya pada Rabu, 5 November 2025. Konferensi ini bertujuan untuk mencetak linguis dan sastrawan muda yang mampu beradaptasi dengan tantangan teknologi abad ke-21.

Konferensi kali ini mengusung tema “Fresh Perspective: Transforming English Language and Literature in the 21st Century”, konferensi ini mengkaji peluang dan tantangan karya sastra berbahasa Inggris di era literasi digital.
Kegiatan yang diikuti oleh 97 peserta yang sekaligus bertindak sebagai presenter penelitiandi buka pada pukul 08.00 WIB. Acara dibagi menjadi dua sesi utama: Sesi Plenari yang bertempat di Amphiteater Lantai 9 Kampus Gunung Anyar UINSA, dan sesi diskusi paralel yang dilaksanakan di ruang kelas Lantai 4 dan 5 Fakultas Adab dan Humaniora (FAHUM).

Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FAHUM, Dr. Muhammad Khodafi, S. Sos, M. Si, dalam sambutannya menekankan pentingnya konferensi semacam ini agar peran manusia, khususnya dalam penciptaan karya sastra, tidak mudah tergantikan oleh Kecerdasan Artifisial (AI).
“Mengingat saat ini sudah banyak dan beragam karya fiksi buatan AI, salah satu solusinya adalah beradaptasi dengan menggunakan beragam media teknologi sebagai medium penciptaan karya sastra,” papar beliau.
Sejalan dengan itu, Kaprodi Sastra Inggris FAHUM, Bapak Endratno Pilih Swasono, S. Pd, M. Pd. menyatakan kegiatan ini penting untuk melatih mahasiswa menjadi akademisi maupun peneliti pemula. Hal ini diwujudkan dengan kewajiban peserta untuk mengirimkan artikel penelitian terbaik mereka yang akan dipaparkan pada sesi diskusi paralel.
Sesi plenari menjadi salah satu sorotan utama. Menghadirkan dua pemateri, yaitu Dr. Ali Mustofa, S.S, M.Pd., dan Itsna Syahadatud Dinuriyah, M.A., dengan dipandu oleh moderator Nur Qolbiyatur Rikza, mahasiswa Sastra Inggris semester lima.
Dr. Ali Mustofa membawakan materi tentang kajian sosiologis pada karya sastra digital di kawasan Asia Tenggara. Ia memaparkan bahwa sastrawan di ASEAN berbagi pengalaman sosial yang sama, terlihat dari tema cinta, patah hati, dan kepercayaan yang diungkap dalam karya sastra digital


.”Bahasa Inggris sebagai penghubung global memainkan peran penting. Karya penulis Indonesia dalam bahasa Inggris bisa mengubah persepsi masyarakat negara lain,” jelasnya.
Ia mencontohkan novel Dear Imamku karya Riskysuff di platform Wattpad. Di mana kolom komentar berubah menjadi komunitas bermoril yang saling berempati.
Sementara itu, Ibu Itsna Syahadatud Dinuriyah membahas evolusi studi Sastra Inggris. Menurutnya, makna sastra kini telah meluas, tidak lagi sebatas novel atau puisi, tetapi juga dibentuk oleh globalisasi dan budaya digital.
Ma’am Itsna menyoroti adanya desakan untuk “Memikirkan Ulang Kanon” (Rethinking the Canon), beralih dari tradisi Eurosentris ke suara-suara global baru seperti Chimamanda Ngozi Adichie dan Ocean Vuong.
Ia menambahkan, sastra kini telah beyond the page (melampaui halaman), mencakup bentuk-bentuk baru seperti digital storytelling, graphic novels, dan fanfiction sebagai budaya partisipatif.
Setelah sesi tanya jawab, sesi plenari berakhir pukul 11.00 WIB dan dilanjutkan dengan sesi paralel yang berakhir pada pukul 15.00 WIB. Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FAHUM berharap kegiatan yang telah berjalan tiga kali ini dapat ditingkatkan skalanya ke tingkat internasional di masa mendatang.



Penulis :
Syah Barara Nurhamidin Sidiki (Tim Media Fahum)