Fakultas Ushuludin & Filsafat
October 29, 2025

Negara Hilang Moral (Ketika Elite Politik Korupsi dan Rakyatnya Berjudi)

Negara Hilang Moral (Ketika Elite Politik Korupsi dan Rakyatnya Berjudi)

Dr. Slamet Muliono Redjosari

Hancurnya sebuah negara ketika elite politik dan rakyatnya melanggar nilai-nilai moral. Hal ini bukan hanya menunjukkan hilangnya arah yang ingin dicapai negara, tetapi adanya adanya pembiaran sistematis untuk pembusukan negara. Elite politik yang seharusnya mengendalikan dan memberantas korupsi, justru sebagai penikmatnya. Rakyat yang seharusnya sebagai kontrol atas penyimpangan perilaku elite, justru disibukkan dengan nilai-nilai moral, mereka justru disibukkan dengan judi. Ketika elite pemimpin mempermainkan amanah dan rakyatnya mencari keberuntungan melalui jalan haram, maka sesungguhnya tujuan bernegara telah tercerabut dari akarnya. Amanah publik berubah menjadi lahan pribadi, dan harapan rakyat berubah menjadi perjudian nasib.

Korupsi Elite

Para elite politik sejatinya diberi amanah untuk menyejahterakan rakyat dan menjaga harta negara. Namun dalam kenyataan pahit, amanah itu sering berubah menjadi alat memperkaya diri. Pajak yang dikumpulkan dari keringat rakyat justru menjadi sumber dana bagi kerakusan. Bukan pembangunan yang diperluas, tetapi membengkakkan kekayaan pribadi. Negara benar-benar kehilangan fungsi moralnya ketika hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Korupsi menjadi budaya diam-diam yang dilegalkan oleh jaringan kekuasaan. Proyek infrastruktur dimark-up, dana bansos dipotong, dan sumber daya alam dijarah oleh segelintir orang yang berkolusi dengan penguasa. Penegakan hukum sekadar drama di panggung publik, vonis ringan dan remisi rutin membuat koruptor justru tampak berkelas, tanpa merasa berdosa. Mereka memperdagangkan kekuasaan untuk mendapatkan harta. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 188)

Ayat ini adalah cermin bagi negeri yang pemimpinnya menjadikan hukum sebagai alat melindungi kejahatan ekonomi. Korupsi bukan sekadar pelanggaran administratif, namun tetapi merupakan pengkhianatan spiritual. Ketika pejabat bersekongkol dengan pengusaha rakus, mereka sesungguhnya sedang menggali kubur bagi bangsanya sendiri.

Negara yang seharusnya menjadi perisai rakyat justru menjadi mesin penghisap. Pajak rakyat disulap menjadi rumah megah, mobil mewah, dan rekening luar negeri. Rakyat yang lemah, terutama guru honorer dan pekerja kecil, menanggung beban tanpa imbalan. Dalam situasi seperti ini, keadilan sosial berubah menjadi slogan kosong.

Rakyat Berjudi Online

Sementara itu, di lapisan bawah masyarakat, penderitaan berubah menjadi pelarian. Judi online menjelma candu digital yang menggerogoti tenaga produktif bangsa. Aksesnya mudah, iklannya glamor, dan janjinya menggoda: “dapat uang tanpa kerja keras.” Banyak rakyat kecil tergoda seperti buruh, petani, hingga guru honorer yang gajinya tak cukup untuk sebulan hidup.

Judi menjadi mekanisme harapan palsu. Ketika upah tidak mencukupi dan harga naik tanpa ampun, sebagian rakyat mencari keajaiban di layar ponsel. Ironinya, mereka tidak sadar sedang dimiskinkan oleh sistem ekonomi yang timpang, dan oleh diri mereka sendiri yang menyerahkan masa depan pada peluang buta. Al-Qur’an menyebut judi (maysir) sebagai akar dari permusuhan sosial dan kerusakan moral :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji dari pekerjaan setan. Maka jauhilah agar kamu beruntung.” (QS Al-Mā’idah [5]: 90)

Ayat ini menunjukkan bahwa berjudi bukan hanya dosa pribadi, tetapi penyakit sosial yang menular. Ketika rakyat ramai-ramai berjudi, bangsa kehilangan tenaga moral untuk menegakkan keadilan. Judi membuat orang malas berpikir, malas bekerja, dan mudah dikendalikan oleh propaganda digital. Inilah cara halus sebuah bangsa dikerdilkan dari dalam, dimana elite merampok dengan pena, rakyat berjudi dengan jari.

Bahkan di banyak kota, kasus bunuh diri akibat utang judi meningkat. Mereka yang tadinya berjuang dengan gigih akhirnya terjerat utang, kehilangan pekerjaan, dan kehilangan harga diri. Ketika rakyat kehilangan makna kerja, dan elite kehilangan rasa malu, maka kehancuran hanya menunggu waktu.

Negara yang ideal seharusnya berlandaskan moral publik: kejujuran di atas kekuasaan, keadilan di atas kepentingan, dan kesejahteraan di atas kemewahan pribadi. Namun ketika korupsi menjadi budaya di atas, dan judi menjadi hiburan di bawah, maka yang lenyap bukan hanya kesejahteraan, melainkan ruh kebangsaan.

Kekuasaan tanpa moral melahirkan tirani, dan kemiskinan tanpa harapan melahirkan keputusasaan. Dua kutub ini saling menguatkan dalam lingkaran setan sosial. Jalan keluar hanya satu, yakni kembali pada nilai-nilai ketuhanan yang menegaskan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak milik; dan rezeki sejati datang dari kerja keras, bukan dari tipu daya peluang.

Negeri yang hendak diselamatkan harus berani membersihkan kedua kutub itu sekaligus, yakni menegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap koruptor, dan memutus mata rantai judi yang menyesatkan rakyat kecil. Tanpa keduanya, bangsa hanya akan terus hidup dalam paradoks. Satu sisi negara yang merdeka secara formal, namun di sisi lain terjajah oleh kerakusan dan ilusi keberuntungan.

Surabaya, 29 Oktober 2025

Spread the love

Tag Post :

Categories

Articles, Artikel, Column, Column UINSA