
Surabaya, 04/11/25 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat adakan Muktamar Ilmu Mantiq Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya (UINSA) di dalam naungan prodi Aqidah dan Filsafat Islam ( AFI). Menyelanggarakan Muktar Ilmu Mantiq dengan tujuan Revitalisasi Mantiq dengan Critucal Thingking untuj menangkal disrupsi digital keagamaan dan sosial di Indonesia.keislaman, khususnya di tengah perkembangan zaman yang menuntut kemampuan berpikir logis, sistematis, dan terbuka. Bertempat di lantai 9, Gedung Tengku Isma’il Yakub, UINSA.
Acara ini dihadiri oleh empat narasumber hebat dan merupakan pakar dibidang ilmu mantiq. Diantaranya, Dr. Ach Dhofir Zuhry, M.Fill (Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Malang ) , Prof. Akh. Muzakki, M.Ag.,Grand.Dip.SEA.,M.Phil.,Ph.D. (Rektor UINSA), Dr.Muchammad Helmi Umam,M.Hum ( Dosen UINSA ), Dr. Zaenal Abidin Mohammad Baqir,M.A (Pengasuh Masalikul Huda, Tulungagung). Para narasumber hebat ini akan memberikan materi di muktamar ilmu mantiq.
Acara pertama dibuka dengan narasumber pertama yaitu Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grand.Dip.SEA.,M.Phil.,Ph.D. sebagai keynote speaker. menyampaikan pentingnya revitalisasi ilmu Mantiq sebagai instrumen intelektual dalam menjawab tantangan keagamaan dan sosial di era digital. Beliau menegaskan bahwa perkembangan teknologi telah membawa budaya informasi yang cepat, terbuka, dan sering kali tidak terverifikasi, sehingga menuntut kemampuan berpikir kritis, sistematis, dan terukur. Dalam konteks tersebut, ilmu Mantiq berperan penting sebagai perangkat metodologis untuk menata nalar agar tetap sehat, terarah, dan beretika.
Dr. Ach Dhofir Zuhry, M.Fill sebagai pembicara kedua menyampaikan materi yang dinilai mampu memperkaya cakrawala dan intelektual peserta. Dalam paparannya,beliau mendorong pentingnya membangun karekter manusia kosmoplit serta memperkenalkan tiga tipe pemimpin, yakni khalifah seperti Nabi Adam yang dibekali ajaran nilai-nilai universal. Imam seperti nabi Ibrahim yanng mencapai puncak kepemimpinan melalui tahapan ujian. Serta sultan yang identic dengan tradisi hijrah. juga mengaju Dr. Dhofir kan gagasan “Revolusi Kopernikan “ dalam komunikasi keagamaan bahwa agama itu beragam tetapi tetap berporos pad Tuhan yang satu selaras.

(Sumber: Dokumentasi Tim Media Center FUF )
Pada sesi berikutnya Muktamar Ilmu Mantiq, Dr.Muchammad Helmi Umam,M.Hum kondisi ilmu Mantiq di UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA) yang menurutnya menghadapi tiga tantangan utama: dianggap sebagai ilmu konservatif yang “tidak berubah sehingga dinilai tidak penting”, terancam disrupsi digital yang menyebabkan “matinya kepakaran” karena otoritas kini beralih dari pakar ke algoritma, serta kurangnya pengembangan aplikatif. Ia menegaskan perlunya revitalisasi melalui perluasan logika klasik dengan critical thinking dan pembacaan teks untuk merespons perdebatan di media sosial. “Kalau di kelas, saya cukup memastikan mahasiswa hafal sepuluh kategori Aristoteles agar penalarannya kuat,” ujarnya.
Narasumber selanjutnya dalam Muktamar Ilmu Mantiq, Habib Dr.Zaenal Abidin Mohammad Baqir,M.A, menyampaikan materi yang sangat komprehensif mengenai urgensi, bahaya, sejarah, serta relasi ilmu Mantiq dengan disiplin syariat. Ia menegaskan bahwa Mantiq adalah ilmu yang sangat kuat sekaligus berbahaya jika berada di tangan yang salah, sebab dapat memperkuat jiwa, menjaga akal dari kesalahan berpikir, mempercepat proses studi, sekaligus berpotensi memutarbalikkan fakta ketika disalahgunakan. Habib Zainal menjelaskan struktur Mantiq tasawur dan tasdiq serta memaparkan kaidah penting bahwa seseorang hanya dapat menghukumi sesuatu setelah memahami definisinya.
Ia menelusuri sejarah Mantiq sejak Aristoteles, proses penerjemahannya pada masa Abbasiyah, hingga perdebatan ulama yang kemudian berujung pada sterilisasi konsep agar selaras dengan akidah Islam; “ilmu Mantiq ilmun islami”, tegasnya. Habib Zainal turut menegaskan hubungan yang erat antara Mantiq dengan Al-Qur’an, ilmu kalam, dan ushul fikih, bahkan menyebut bahwa para nabi diutus untuk mengajarkan cara berpikir yang benar sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali. Ia juga mengkritik logika Barat seperti Descartes yang dinilainya keliru, serta menilai konsep logika kontemporer sebenarnya telah termaktub dalam khazanah klasik. Menutup pemaparannya, beliau mendorong kurikulum Mantiq yang bertahap, menekankan pentingnya penguasaan minimal di tingkat dasar, dan menyatakan bahwa ilmu berada pada makna, bukan sekadar istilah.
Sesi tanya jawab Muktamar Ilmu Mantiq dipandu oleh Nur Hidayat dan membuka tiga penanya. Mas Gufron (IIM Lumajang) mengkritisi penyalahgunaan Mantiq di media sosial dan dijawab oleh Dr. Ahmad Zofir Zuhuri dan Habib Zainal bahwa berpikir adalah kewajiban pertama dalam Islam dan Mantiq berfungsi menertibkan akal. Pertanyaan Muhammad Nuralwi (UINSA) tentang metode cepat mempelajari Mantiq dijawab bahwa tidak ada jalan instan menjadi ulama, meskipun Mantiq dapat mempersingkat proses melalui penguasaan konsep dasar. Mas Fawas (PAI UINSA) menyoal kurikulum ideal; Habib Zainal menegaskan Mantiq sebaiknya diajarkan sebelum akidah, sementara Dr. Helmi Umam menambahkan pentingnya kolaborasi pesantren, kampus, dan pemerintah dalam membangun budaya berpikir yang beradab. Sesi ditutup dengan penguatan komitmen bersama untuk merevitalisasi kajian Mantiq secara lebih sistematis.
Penulis : Nadia Dina Azkiya