Mindfulness di Lingkungan Kerja: Komunikasi Empatik untuk Penguatan Kesejahteraan Psikologis Karyawan
Oleh Dr. Nikmah Hadiati Salisah, S.Ip., M.Si.
Ketua Jurusan Komunikasi Fak. Dakwah dan Komunikasi
Dalam beberapa tahun terakhir, topik kesehatan mental di lingkungan kerja semakin mendapatkan perhatian, termasuk di institusi pendidikan tinggi dan lembaga pemerintah. Kehadiran teknologi digital, tuntutan produktivitas yang meningkat, serta dinamika kerja yang cepat telah menempatkan banyak karyawan pada tekanan emosional yang tidak kecil. Salah satu pendekatan yang banyak dibahas dalam psikologi dan manajemen modern adalah mindfulness yang dimaksudkan sebagai suatu kemampuan untuk hadir penuh pada momen kini, menerima pengalaman tanpa menghakimi, dan menyadari kondisi emosional diri.
Mindfulness tidak hanya berkaitan dengan teknik meditasi atau pengelolaan stres individual. Dalam perspektif ilmu komunikasi, mindfulness dapat diintegrasikan dengan komunikasi empatik untuk menciptakan budaya kerja yang lebih sehat, suportif, dan humanis. Ketika pemimpin, manajer, dan rekan kerja menerapkan kesadaran penuh dalam interaksi sehari-hari, struktur komunikasi internal akan lebih harmonis, sehingga kesejahteraan psikologis karyawan dapat meningkat secara signifikan.
Organisasi modern menghadapi berbagai tantangan dalam menjaga kesejahteraan psikologis karyawan. Bukan hanya masalah beban kerja, tetapi juga tekanan sosial, birokrasi, komunikasi atasan–bawahan yang tidak efektif, serta ketidakjelasan peran kerja.
Studi Maslach & Leiter (2016) menunjukkan bahwa burnout di lingkungan kerja sebagian besar dipicu oleh faktor komunikasi dan hubungan interpersonal yang disebabkan antara lain karena faktor kurang dukungan, kurang apresiasi, interaksi yang bersifat instruktif bukan dialogis, kepemimpinan yang tidak responsif, juga informasi yang tidak transparan. Dengan demikian, solusi burnout tidak cukup hanya melalui manajemen waktu atau pelatihan teknis, tetapi perlu menyentuh aspek komunikasi manusiawi.
Mindfulness dapat dianggap sebagai landasan ketenangan psikologis. Secara sederhana, dalam tulisan Kabat-Zinn (1994) mindfulness dapat dipahami sebagai kemampuan untuk memperhatikan pengalaman saat ini secara sadar, terbuka, dan tanpa menghakimi. Mindfulness melatih individu untuk menyadari emosi diri, merespons secara lebih bijak, mengendalikan reaksi impulsif, memahami kondisi psikologis lawan bicara, dan menciptakan ruang hening sebelum mengambil keputusan. Ketika diterapkan di dunia kerja, mindfulness mampu meningkatkan regulasi emosi, fokus dan produktivitas, toleransi terhadap stres, kualitas hubungan interpersonal, serta rasa keterhubungan dengan lingkungan kerja
Komunikasi Empatik sebagai Wujud Mindfulness Interpersonal
Manfaat terbesar mindfulness muncul ketika ia terhubung dengan komunikasi empatik. Carl Rogers (1951) menyebutkan bahwa komunikasi empatik terjadi ketika seseorang mampu memahami pengalaman emosional orang lain, hadir penuh dalam percakapan, menanggapi tanpa menghakimi, dan memberikan penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard). Mindfulness mengajarkan karyawan untuk memperhatikan secara penuh (full attention), sedangkan komunikasi empatik memberikan wadah pengekspresian kesadaran itu dalam interaksi sehari-hari.
Teori Komunikasi Humanistik berpijak pada prinsip bahwa setiap manusia adalah subjek yang memiliki nilai, martabat, dan kebutuhan emosional (Burke, 1966). Komunikasi yang humanis menekankan pada kejujuran, empati, penerimaan, dialog setara, dan pengakuan terhadap pengalaman pribadi. Penerapan mindfulness dalam komunikasi humanistik menghasilkan budaya kerja yang menghargai manusia, bukan hanya orientasi tugas. Dalam interaksi kerja, bisa dilakukan secara riil dalam sikap seperti alih-alih menegur dengan nada keras, pemimpin mengajak dialog terbuka, alih-alih mengabaikan keluhan, organisasi menyediakan sesi refleksi bersama, alih-alih menuntut target tanpa kompromi, pimpinan mempertimbangkan kondisi emosional tim. Komunikasi humanistik berbasis mindfulness dapat menurunkan konflik internal, meningkatkan motivasi, serta memperkuat kohesi kerja.
Communication Accommodation Theory (CAT) oleh Howard Giles (1973) menyatakan bahwa seseorang dapat memperkuat hubungan interpersonal dengan menyesuaikan gaya komunikasinya sesuai kondisi psikologis lawan bicara. Dalam konteks mindfulness, karyawan yang sadar penuh lebih mudah membaca bahasa tubuh atau emosi rekan kerja, pemimpin yang mindful dapat menyesuaikan nada bicara dengan situasi emosional, dan adaptasi komunikasi dapat mencegah kesalahpahaman. Penerapan CAT dan mindfulness bagi karyawan bisa dalam bentuk berbicara lebih pelan kepada rekan kerja yang sedang tertekan, memberikan respons lebih hati-hati pada situasi konflik, dan memilih waktu yang tepat untuk menyampaikan kritik. CAT mengajarkan fleksibilitas, sementara mindfulness memberikan stabilitas emosional. Kombinasi ini sangat efektif membangun lingkungan kerja yang sehat.
Mindfulness dalam Komunikasi Organisasi: Dari Teknologi ke Humanitas
Di banyak lembaga, teknologi digital membuat komunikasi serba cepat, namun mulai mengikis kualitas kehadiran manusia. Notifikasi, rapat daring, dan banjir pesan membuat karyawan sulit fokus secara emosional. Mindfulness menawarkan alternatif untuk memperlambat ritme komunikasi, menciptakan ruang jeda, menata ulang prioritas informasi, meningkatkan kualitas interaksi, bukan kuantitas pesan
Ketika diterapkan dalam rapat, email, dan koordinasi digital, mindfulness membantu karyawan meminimalkan stres sekaligus meningkatkan efektivitas komunikasi.
Terkait dampak positif mindfulness terhadap kesejahteraan psikologis, penelitian menunjukkan bahwa mindfulness meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan kerja (Hülsheger et al., 2013), regulasi emosi, kemampuan memecahkan masalah, kualitas hubungan interpersonal, loyalitas dan retensi. Selain itu, mindfulness menurunkan kecemasan, burnout, konflik interpersonal, dan kelelahan mental, Ketika dikombinasikan dengan komunikasi empatik, manfaat mindfulness semakin besar karena terwujud dalam hubungan yang konkret, bukan sekadar praktik individual.
Banyak lembaga menempatkan mindfulness sebagai aktivitas personal, padahal organisasi memiliki peran besar untuk menciptakan budaya sadar dan empatik. Peran lembaga antara lain berupa pelatihan mindfulness untuk seluruh staf, kebijakan komunikasi yang humanis, evaluasi gaya komunikasi pimpinan, membangun ruang konsultasi psikologis, menciptakan budaya kerja yang tidak toksik, dan memastikan beban kerja realistis. Mindfulness bukan hanya kompetensi individu, tetapi tanggung jawab struktural.
Sebagai kampus dengan berbasis nilai Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya dapat menghubungkan mindfulness dengan konsep muraqabah (kesadaran akan kehadiran Allah) dan tawazun (keseimbangan diri). Didukung juga dengan fakta bahwa nilai Islam mengajarkan ketenangan, kesabaran, tidak tergesa-gesa, penghormatan terhadap sesama, dan dialog yang lembut (qaulan layyinan). Mindfulness dan komunikasi empatik sejatinya tidak bertentangan dengan nilai Islam, bahkan saling menguatkan, seperti tuntunan dalam ayat “…dan ucapkanlah kepada manusia perkataan yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 83)
Mindfulness sebagai Jalan Baru Komunikasi Organisasi yang Sehat
Mindfulness dan komunikasi empatik bukan sekadar tren, tetapi kebutuhan penting dalam menghadapi dinamika dunia kerja modern. Ketika karyawan merasa dihargai, didengar, dan dipahami, iklim psikologis organisasi menjadi lebih positif. Mindfulness membantu karyawan mengelola stres, sementara komunikasi empatik memastikan lingkungan kerja mendukung kesejahteraan tersebut. Dua pendekatan ini menjadi modal penting bagi lembaga untuk membangun organisasi yang berkelanjutan dan berorientasi pada kemanusiaan. Dengan budaya komunikasi yang sadar dan empatik, organisasi tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga melahirkan lingkungan kerja yang menyehatkan jiwa.
kemarin adalah masa lalu, besok masih mimpi, mari fokus pada hari ini .. sekarang .. di sini .. dengan pikiran tenang dan hati yang jernih untuk langkah lebih pasti