SURABAYA – Visi “Indonesia Emas 2045” bukan sekadar mimpi di siang bolong atau jargon politik semata, melainkan sebuah peta jalan peradaban yang menuntut revolusi mental dan akselerasi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Di tengah persaingan global yang kian sengit, investasi pendidikan tidak lagi bisa dipandang sebagai pengeluaran rutin negara, melainkan sebagai strategi vital pertahanan dan kemajuan bangsa. Semangat urgensi inilah yang melandasi gelaran Focus Group Discussion (FGD) strategis yang bertempat di Ruang Pusat Kajian Lantai 2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, pada hari Kamis, 11 Desember 2025. Dihadiri oleh para dosen dan tenaga kependidikan FISIP UINSA, forum intelektual ini menjadi momentum krusial karena menghadirkan arsitek kebijakan pembiayaan pendidikan keagamaan nasional, Dr. Ruchman Basori, S.Ag., M.Ag, selaku Kepala Pusat Pembiayaan Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (PUSPENMA) Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI, untuk membedah tantangan dan peluang dalam mencetak generasi emas yang kompetitif. 
Diskusi yang dipandu secara bernas oleh Wakil Dekan II FISIP, Dr. Hj. Aniek Nurhayati, M.Si, ini diawali dengan sambutan visioner dari Dekan FISIP UINSA, Prof. Dr. H. Abd. Chalik, M.Ag. Dalam pembukaannya, Prof. Chalik menegaskan posisi strategis perguruan tinggi sebagai kawah candradimuka bagi calon pemimpin bangsa, namun mengingatkan bahwa euforia masa depan tidak boleh membuat civitas akademika menutup mata terhadap realitas pahit yang masih terjadi hari ini. Hal ini diamini oleh Dr. Ruchman Basori yang dalam paparannya membedah anatomi pendidikan nasional yang masih diwarnai disparitas tajam. Ia menyoroti paradoks pendidikan di mana ketimpangan antara si miskin dan si kaya masih menganga lebar. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak gedung sekolah di pelosok negeri yang beratap ijuk dengan akses jalan yang sulit ditempuh, sangat kontras dengan fasilitas pendidikan mewah di kota-kota besar.
Lebih jauh lagi, dalam diskusinya Dr. Ruchman menekankan bahwa infrastruktur hanyalah satu sisi dari mata uang permasalahan pendidikan. Sisi lainnya adalah kesejahteraan garda terdepan pendidikan, yakni guru dan dosen. Menurutnya, pendidik adalah nyawa pendidikan, dan kesejahteraan mereka adalah kunci motivasi dalam mendidik; tanpa jaminan kesejahteraan yang memadai, sulit bagi bangsa ini untuk berlari kencang mengejar ketertinggalan. Tantangan kian kompleks dengan adanya ancaman degradasi moral seperti peredaran narkoba yang mengintai generasi muda, yang berpotensi merusak bonus demografi yang digadang-gadang. Dalam konteks inilah, laboratorium pendidikan yang unggul dan riset yang bermutu bukan lagi sekadar pelengkap administratif, melainkan kebutuhan mendesak untuk membentengi dan memberdayakan intelektualitas mahasiswa agar siap menghadapi tantangan zaman.
Bagian paling menyentak dari diskusi ini adalah ketika Dr. Ruchman menyajikan data statistik yang menjadi “alarm” keras bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia. Ia memaparkan bahwa saat ini, rasio populasi Indonesia yang berpendidikan jenjang Master (S2) dan Doktor (S3) baru menyentuh angka 0,53%. Angka ini tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga serumpun di ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand yang telah mencapai angka 2,43%. Kesenjangan ini terlihat semakin curam dan mengkhawatirkan jika berkaca pada negara-negara maju yang menjadi barometer sains dan teknologi dunia seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Kanada, dan Jerman yang rata-rata memiliki rasio pendidikan tinggi lanjut sebesar 9,80%. Data ini menegaskan bahwa peningkatan daya saing SDM adalah sasaran mutlak Visi Indonesia 2045, dan bangsa ini tidak punya pilihan lain selain melakukan lompatan kuantum untuk mengejar ketertinggalan angka tersebut.
Menjawab tantangan raksasa tersebut, Kementerian Agama telah melakukan transformasi struktural melalui pembentukan PUSPENMA. Lembaga ini berdiri di atas landasan regulasi yang kuat, yakni Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 25 Tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, yang kemudian diperbarui dengan PMA No. 33 Tahun 2024. Tugas PUSPENMA melampaui sekadar administrasi penyaluran dana; lembaga ini dirancang sebagai motor penggerak investasi pendidikan strategis dengan fokus utama pada pengelolaan beasiswa, bantuan pendidikan tepat sasaran, dan investasi dana abadi pendidikan yang berkelanjutan. Sebagai implementasi konkret dari strategi ini, Dr. Ruchman menjabarkan peta jalan program Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB), sebuah program evolusi dari kolaborasi dengan LPDP sejak 2022 yang sebelumnya dikenal dengan skema Beasiswa Indonesia Maju atau BPI.
Program BIB kini hadir dengan skema yang lebih masif dan terarah, menyediakan akses pendanaan penuh untuk jenjang S1, S2, dan S3, baik di universitas terkemuka dalam negeri maupun kampus-kampus top dunia di luar negeri. Program ini dirancang inklusif melalui kategori beasiswa prestasi dan beasiswa target untuk daerah afirmasi, dengan tiga pintu gerbang pendaftaran utama: jalur LoA Unconditional bagi talenta yang telah diterima tanpa syarat, jalur Reguler yang terbuka bagi seluruh anak bangsa, dan jalur Kemitraan yang bersinergi dengan institusi strategis. Proses seleksinya pun dirancang berlapis dan sangat ketat mulai dari seleksi administrasi, Tes Bakat Skolastik untuk mengukur kemampuan akademik, hingga wawancara mendalam guna memastikan bahwa investasi negara jatuh ke tangan individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas dan visi kebangsaan yang kokoh. 
Menutup diskusi yang berlangsung dinamis tersebut, sebuah pesan visioner disampaikan Dr. Ruchman kepada seluruh civitas akademika UINSA. Ia menekankan bahwa Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) di masa depan tidak boleh lagi mengurung diri atau merasa cukup hanya dengan core competence di bidang keagamaan semata. Riset yang dihasilkan oleh PTKN harus berdampak nyata (impactful) bagi peradaban dan masyarakat luas. PTKN diharapkan mampu memiliki keunggulan kompetitif di bidang sains, sosial, dan teknologi, yang berjalan beriringan dengan nilai-nilai keagamaan. FGD yang berlangsung di FISIP UINSA ini pada akhirnya bukan sekadar rapat koordinasi teknis, melainkan sebuah simpul kesepakatan intelektual untuk bersama-sama meletakkan batu bata peradaban, memastikan bahwa pada tahun 2045 nanti, Indonesia benar-benar menjadi emas, bukan sekadar angan-angan. Sebagai pemungkas pertemuan yang bernilai akademis ini, Dr. Ruchman melantunkan puisi yang mengisahkan bagaimana perjuangan guru dan dosen yang beliau ciptakan. Tepuk tangan meriah menjadi bentuk ekspresi yang diberikan sebagai apresiasi atas untaian puisi dan pembawaan yang menjiwai. DRH
Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan dan program FISIP UINSA, silakan kunjungi dan ikuti media sosial kami di Instagram.