SURABAYA – Pekan ujian akhir semester di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Ampel Surabaya, yang berlangsung pada 8 hingga 12 Desember 2025, menghadirkan suasana akademik yang berbeda. Di tengah pesatnya integrasi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dalam dunia pendidikan, FISIP UINSA memilih untuk menyeimbangkan inovasi teknologi dengan penguatan kembali kapasitas intelektual personal mahasiswa.
Pelaksanaan UAS tahun ini dilakukan dengan metode yang beragam sesuai dengan karakteristik mata kuliah. Sejumlah dosen menerapkan penugasan berbasis proyek seperti pembuatan makalah ilmiah dan produksi video kreatif, sementara sebagian lainnya memilih ujian lisan untuk menguji ketangkasan berargumen secara langsung. Namun, satu metode yang tetap dipertahankan secara konsisten adalah ujian tulis di ruang kelas.
Keberagaman metode ini mencerminkan fleksibilitas kurikulum FISIP UINSA dalam merespons kebutuhan zaman. Dengan memberikan ruang bagi karya audio-visual dan makalah mendalam, fakultas mengakomodasi berbagai jenis kecerdasan mahasiswa. Namun, di balik keberagaman teknik evaluasi tersebut, terdapat benang merah yang sama: tuntutan akan kejujuran akademik dan kemampuan mahasiswa untuk mempertanggungjawabkan setiap gagasan yang mereka sajikan, baik di depan kamera maupun di atas kertas ujian.
Kembali ke Dasar Penalaran
Pada beberapa ruang ujian, suasana hening menyelimuti proses pengerjaan soal. Para dosen menekankan kebijakan yang ketat: mahasiswa dilarang membuka buku, catatan, maupun perangkat elektronik. Langkah ini diambil bukan untuk membatasi akses terhadap informasi, melainkan sebagai upaya validasi terhadap sejauh mana materi perkuliahan telah terserap dan dipahami secara organik oleh mahasiswa.

Larangan penggunaan gawai di ruang kelas ini juga berfungsi sebagai momen refleksi bagi mahasiswa untuk mengukur ketergantungan mereka terhadap asisten digital. Dalam kesunyian ruang ujian, mahasiswa diajak untuk berdialog dengan pemikiran mereka sendiri, menyusun kembali potongan-potongan teori yang telah dipelajari tanpa bantuan mesin pencari. Proses ini menjadi penting untuk mengembalikan kepercayaan diri mahasiswa bahwa kapasitas otak manusia tetap memegang kendali utama dalam menganalisis fenomena sosial-politik yang kompleks.
Kecenderungan penggunaan AI yang berlebihan dalam proses belajar dikhawatirkan dapat mengikis ketajaman analisis. Dengan mengharuskan mahasiswa menjawab pertanyaan melalui daya pemikiran sendiri tanpa bantuan gawai, fakultas berupaya memutus rantai ketergantungan terhadap jawaban-jawaban instan yang disediakan oleh algoritma. Hal ini menjadi krusial untuk memastikan bahwa proses literasi (membaca dan memahami) tetap menjadi fondasi utama dalam menempuh pendidikan tinggi.
Penekanan pada literasi manual ini sekaligus menjadi respons atas fenomena penurunan minat baca mendalam di kalangan generasi z. Dengan adanya ujian tulis tanpa bantuan alat, mahasiswa secara tidak langsung didorong untuk kembali membuka literatur fisik maupun digital secara serius jauh-jauh hari sebelum ujian dimulai. Mereka dipaksa untuk tidak hanya memindai teks (scanning), melainkan memahami substansi agar mampu mereproduksinya kembali secara koheren saat ujian berlangsung.
Meneguhkan Disiplin Penalaran dan Berpikir Kritis
Penerapan pola ujian tulis yang mengandalkan memori dan analisis mandiri merupakan bentuk komitmen dalam menjaga disiplin penalaran mahasiswa. Di lingkungan perguruan tinggi, kemampuan untuk menyusun argumen yang koheren tanpa bantuan teknologi luar adalah standar kompetensi yang tidak boleh ditawar. Melalui metode ini, mahasiswa dilatih untuk menggali kembali struktur pengetahuan yang telah dibangun selama satu semester, kemudian mengartikulasikannya secara logis. Hal ini secara langsung mengasah daya konsentrasi dan kemampuan pemecahan masalah yang seringkali terabaikan ketika seseorang terlalu terbiasa menggunakan solusi instan dari perangkat digital.
Lebih lanjut, disiplin penalaran ini merupakan benteng pertahanan mahasiswa dalam menghadapi era pasca-kebenaran (post-truth). Dalam ilmu sosial, setiap argumen harus memiliki basis data dan logika yang kuat. Jika mahasiswa terbiasa mengandalkan AI untuk berpikir, mereka berisiko kehilangan kemampuan untuk membedakan antara fakta objektif dan halusinasi algoritma. Dengan melatih daya nalar secara mandiri di ruang ujian, mahasiswa sedang membangun otot-otot intelektual yang diperlukan untuk membedah realitas sosial yang seringkali tidak bisa dijawab hanya dengan logika biner mesin.

Pola pembelajaran ini menjadi instrumen untuk membangun karakter berpikir kritis. Mahasiswa ditantang untuk tidak hanya menjadi penampung data, tetapi menjadi pengolah gagasan yang mandiri. Dalam konteks ilmu sosial dan politik, subjektivitas manusia dan kedalaman analisis adalah aset utama. Dengan meminimalisir peran AI dalam ruang ujian, fakultas mendorong mahasiswa untuk lebih percaya diri terhadap kapasitas intelektual mereka sendiri, sehingga mereka mampu menghasilkan pemikiran yang orisinal dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Kemandirian berpikir ini juga menciptakan ruang bagi tumbuhnya etika akademik yang lebih sehat. Saat mahasiswa berhasil menyelesaikan ujian dengan pemikirannya sendiri, muncul rasa pencapaian intelektual yang tulus. Hal ini jauh lebih berharga daripada nilai tinggi yang diperoleh melalui bantuan kecerdasan buatan. Proses ini membentuk integritas yang akan terbawa hingga ke dunia kerja, di mana kejujuran dalam bekerja dan keaslian ide menjadi nilai jual yang sangat dihargai di sektor publik maupun profesional.
Secara keseluruhan, rangkaian UAS Desember 2025 di FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya mencerminkan sikap institusi dalam menghadapi disrupsi teknologi. Kesimpulan dari kebijakan ini adalah pentingnya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan pelestarian kemampuan kognitif dasar manusia. Signifikansi dari langkah ini bagi FISIP UINSA terletak pada konsistensi dalam mencetak lulusan yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga memiliki integritas berpikir yang kuat. Dengan demikian, fakultas tetap menjadi ruang yang relevan dalam membentuk cendekiawan sosial yang mampu berpikir jernih di tengah kompleksitas zaman.
Langkah strategis ini juga memposisikan FISIP UINSA sebagai garda terdepan dalam menjaga marwah pendidikan tinggi Islam yang moderat dan progresif. Dengan mengedepankan kedaulatan berpikir, fakultas membuktikan bahwa tradisi intelektual klasik, seperti hafalan yang kuat, pemahaman yang mendalam, dan argumentasi lisan maupun tulis, dapat berjalan beriringan dengan modernitas. Keberhasilan pelaksanaan UAS ini menjadi pesan kuat bagi seluruh civitas akademika bahwa di balik kecanggihan mesin, pikiran manusia yang terlatih tetaplah menjadi penentu utama dalam arah masa depan bangsa.(ASE)
Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan dan program FISIP UINSA, silakan kunjungi dan ikuti media sosial kami di Instagram.