Oleh:
Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, SH., MH
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UIN Sunan Ampel
Pendahuluan
Gelombang demonstrasi kembali mewarnai wajah demokrasi Indonesia. Ribuan mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan untuk menyuarakan protes terhadap berbagai kebijakan yang dinilai mengancam kepentingan rakyat. Fenomena ini bukanlah hal baru. Sejarah politik Indonesia mencatat bahwa jalanan sering menjadi “parlemen rakyat” ketika institusi formal gagal menjalankan amanat konstitusi.
Sayangnya demokrasi yang semula berjalan secara damai menjadi anarkis. Jelas hal ini menjadikan makna sesungguhkan demonstrasi sebagai salah satu pintu rakyat dalam menyuarakan ketidakadilan dan/atau kekurangpuasan terhadap sebuah keputusan pemerintah yang tidak populis (tidak memihak rakyat).
Dipicu oleh kekurangpekaan DPR terhadap siatuasi dan kondisi rakyat saat ini, dan juga ‘sikap arogansi’ oknum anggota DPR yang seolah-olah ‘melecehkan’ rakyat – menjadikan gelombang besar demonstrasi di mana-mana. Dalam kondisi masyarakat yang penuh keprihatinan, pemerintah megambil kebijakan yang menaikkan anggaran DPR sebesar Rp 50 juta untuk tunjangan rumah (https://www.detik.com.). Kebijakan yang kurang populis ini jelas mencederai hati rakyat yang serba kesusahan. Keadaam ini dipetrparah dengan sikap arogan anggota DPR yang sete;lah rapat kenaikan gaji (https://nasional.kompas.com.) Belum selesai demo terjadi, kembali ditambah pelanggaran prosedur aparat kepolisian saat mengantisipasi gelombang demonstrasi sehingga melakukan ‘tabrak lari’ yang membuat seorang kurir pengendara Ojol meninggal ditempat. Semakin memicu anarkisme demonstran. Karuan saja anarkis ini menjadikan lautan api. Pembakaran terhadap gedung DPR/DPRD dan Pos-Pos Polisi serta fasilitas umum menjadi sasaran tembak massa demontrans.
Pertanyaan yang muncul: mengapa DPR, sebagai representasi rakyat, terus-menerus menjadi sasaran aksi protes? Dan sejauh mana demonstrasi damai dapat menjadi instrumen kontrol yang efektif dalam sistem demokrasi?
Hak Konstitusional dan Landasan Hukum Demonstrasi
Demonstrasi merupakan salah satu instrumen paling penting dalam praktik demokrasi modern. Di Indonesia, hak untuk melakukan demonstrasi memiliki dasar konstitusional yang kuat dan diakui sebagai bagian integral dari kebebasan sipil. UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) secara tegas menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Ketentuan ini memberikan jaminan hukum bahwa penyampaian pendapat di muka umum adalah hak fundamental warga negara yang tidak dapat dikesampingkan secara sewenang-wenang.
Selain itu, hak ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang menjadi regulasi turunan untuk mengatur mekanisme pelaksanaan aksi. UU ini menegaskan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara dalam rangka ikut serta mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Di dalamnya terdapat ketentuan mengenai tata cara pemberitahuan kepada aparat keamanan, waktu dan tempat pelaksanaan, hingga tanggung jawab penyelenggara aksi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun demonstrasi merupakan hak konstitusional, pelaksanaannya tetap harus memperhatikan ketertiban umum, keselamatan orang lain, serta norma hukum yang berlaku.
Dalam perspektif negara hukum (rechsstaat), kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan absolut. Prinsip ini sejalan dengan pendapat Jimly Asshiddiqie (2015) yang menyatakan bahwa “kebebasan menyampaikan pendapat harus ditempatkan dalam kerangka hukum dan tata tertib demokrasi.” Dengan demikian, pelaksanaan demonstrasi harus berada dalam koridor hukum agar tidak menimbulkan benturan antara hak individu dan kepentingan umum.
Namun, realitas di lapangan kerap memunculkan tantangan. Tidak jarang aparat menggunakan pendekatan represif yang membatasi ruang gerak demonstran, atau sebaliknya, aksi demonstrasi berubah menjadi anarkis dengan perusakan fasilitas umum. Padahal, secara normatif, Pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998 menegaskan bahwa setiap orang wajib menghormati hak-hak orang lain, moral, dan ketertiban umum. Ini berarti baik penyelenggara aksi maupun aparat penegak hukum harus menjunjung asas proporsionalitas dan akuntabilitas.
Keberadaan hak untuk berdemonstrasi sejatinya tidak hanya memiliki dimensi hukum, tetapi juga dimensi politik. Demonstrasi merupakan mekanisme pengawasan sosial terhadap jalannya pemerintahan, terutama ketika saluran formal seperti DPR gagal menyerap aspirasi rakyat. Oleh karena itu, pembatasan yang berlebihan terhadap hak ini justru dapat merusak sendi-sendi demokrasi dan menimbulkan defisit legitimasi kekuasaan.
Dengan demikian, hak konstitusional untuk berdemonstrasi adalah jantung demokrasi yang harus dilindungi. Regulasi seperti UU No. 9 Tahun 1998 bukanlah instrumen untuk mengekang kebebasan, melainkan panduan agar kebebasan itu berjalan secara tertib, damai, dan menghormati kepentingan bersama. Negara berkewajiban menjamin kebebasan ini, sementara warga negara wajib menggunakan haknya secara bertanggung jawab demi terciptanya harmoni antara kebebasan individu dan ketertiban sosial.
DPR dan Krisis Kepercayaan Publik
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi Indonesia yang memegang fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Secara ideal, DPR diharapkan menjadi representasi suara rakyat dan memastikan bahwa kebijakan publik mencerminkan kepentingan masyarakat luas. Namun, dalam kenyataannya, lembaga ini kerap mengalami krisis kepercayaan publik yang cukup serius.
Krisis ini terlihat dari berbagai survei nasional yang menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga negara dengan tingkat kepercayaan terendah. Misalnya, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2023 menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap DPR berada di bawah 50%, jauh di bawah TNI (88%), atau Presiden (72%). Rendahnya kepercayaan ini bukan tanpa alasan, melainkan dilatarbelakangi oleh serangkaian persoalan, seperti maraknya kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, praktik politik transaksional, serta pengesahan undang-undang yang dinilai tidak pro-rakyat.
Salah satu contoh yang memicu gelombang ketidakpercayaan adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2020 (kebijakan kontroversial). Proses legislasi yang tergesa-gesa, minim partisipasi publik, dan sarat kepentingan oligarki membuat publik memandang DPR lebih berpihak kepada kelompok tertentu daripada kepentingan rakyat. Fenomena ini diperparah oleh munculnya kebijakan kontroversial lain, seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK (proses legislasi yang tertutup) yang dianggap melemahkan lembaga antikorupsi. Dan terkahir adalah kasus korupsi anggota DPR – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat puluhan legislator terjerat kasus suap dan gratifikasi dalam satu dekade terakhir. Dampaknya, demonstrasi besar-besaran pun terjadi di berbagai daerah, yang menjadi bukti nyata lemahnya komunikasi politik antara DPR dan konstituennya.
Dalam perspektif teori representasi politik, krisis kepercayaan ini menunjukkan adanya kesenjangan representasi (representation gap), di mana wakil rakyat tidak lagi berfungsi sebagai saluran aspirasi, melainkan lebih sebagai kepanjangan tangan elite politik dan pemilik modal. Miriam Budiardjo (2008) menekankan, bahwa legitimasi politik hanya dapat bertahan jika ada kesesuaian antara kepentingan rakyat dan kebijakan negara. Ketika DPR gagal menjaga kesesuaian ini, legitimasi mereka secara otomatis mengalami erosi.
Selain faktor substansi kebijakan, krisis ini juga diperburuk oleh gaya komunikasi politik anggota DPR yang sering dianggap tidak sensitif terhadap isu publik. Pernyataan kontroversial, absensi tinggi dalam sidang, dan pamer kemewahan di media sosial semakin menjauhkan DPR dari citra sebagai pelayan rakyat. Akibatnya, muncul persepsi negatif yang mengakar bahwa DPR adalah “pabrik legislasi pesanan” yang lebih mengutamakan kekuasaan dibanding pengabdian.
Dalam jangka panjang, krisis kepercayaan ini dapat menimbulkan dampak serius bagi stabilitas demokrasi. Rendahnya kepercayaan publik berpotensi memicu apatisme politik, menurunnya partisipasi dalam pemilu, serta meningkatnya aksi-aksi protes di luar jalur formal. Jika tidak segera diatasi melalui reformasi internal, transparansi legislasi, dan penguatan etika politik, DPR akan terus menghadapi delegitimasi yang membahayakan posisi mereka sebagai institusi demokrasi.
Dengan demikian, membangun kembali kepercayaan publik bukan sekadar agenda moral, tetapi juga prasyarat utama untuk memastikan keberlanjutan demokrasi di Indonesia. DPR harus kembali ke khitahnya sebagai lembaga yang bekerja untuk rakyat, bukan untuk oligarki politik.
Demonstrasi Damai: Antara Harapan dan Tantangan
Apakah demonstrasi damai masih efektif di era digital? Jawabannya, ya—tetapi dengan catatan. Demonstrasi damai memiliki kekuatan simbolik dan politik yang besar. Aksi massa dapat menciptakan tekanan moral, memengaruhi opini publik, dan memaksa elite politik untuk mempertimbangkan ulang kebijakan. Contoh paling monumental adalah Reformasi 1998, ketika gelombang demonstrasi mahasiswa berhasil memaksa Presiden Soeharto mundur setelah 32 tahun berkuasa.
Demonstrasi damai merupakan salah satu sarana partisipasi politik masyarakat dalam sistem demokrasi. Ia bukan sekadar ekspresi ketidakpuasan, tetapi juga instrumen korektif terhadap kebijakan negara yang dianggap menyimpang dari aspirasi publik. Dalam konteks Indonesia, demonstrasi damai dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum mempertegas posisi demonstrasi sebagai mekanisme sah dalam menyampaikan aspirasi.
Harapan utama dari demonstrasi damai adalah menciptakan ruang dialog antara rakyat dan pemerintah. Ketika jalur formal seperti reses anggota DPR atau forum konsultasi publik gagal menjawab tuntutan masyarakat, demonstrasi menjadi kanal alternatif untuk menekan pengambil kebijakan agar lebih responsif. Dalam beberapa kasus, demonstrasi berhasil mendorong perubahan signifikan, seperti penolakan RUU Anti-Pornografi pada awal 2000-an atau revisi beberapa pasal dalam RKUHP setelah gelombang protes mahasiswa pada 2019. Hal ini menunjukkan bahwa demonstrasi damai dapat berfungsi sebagai “rem darurat” dalam proses demokrasi.
Namun, di balik harapan tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang tidak ringan. Pertama, stigma negatif terhadap demonstrasi masih melekat dalam sebagian masyarakat. Tidak jarang aksi damai diasosiasikan dengan kekacauan, terutama jika disertai kerusuhan yang melibatkan oknum tertentu. Padahal, dalam banyak kasus, provokasi atau tindakan anarkis sering berasal dari kelompok kecil atau penyusup yang memiliki agenda berbeda dari peserta aksi utama. Sayangnya, media kerap lebih menyoroti aspek kekerasan, sehingga mengaburkan substansi tuntutan demonstran.
Kedua, tantangan regulasi dan aparat keamanan. Meskipun hukum menjamin kebebasan berpendapat, implementasi di lapangan seringkali menghadapi hambatan. Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat, pembatasan izin, bahkan kriminalisasi terhadap aktivis menjadi problem serius yang mengancam esensi demonstrasi damai. Fenomena ini kerap memunculkan kritik dari lembaga hak asasi manusia, baik nasional maupun internasional, karena berpotensi melanggar prinsip kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi.
Ketiga, efektivitas demonstrasi dalam memengaruhi kebijakan juga dipertanyakan. Tidak semua demonstrasi berujung pada perubahan substantif. Sering kali tuntutan demonstran hanya dijawab dengan janji-janji atau sekadar pertemuan simbolis tanpa tindak lanjut konkret. Hal ini memunculkan dilema: apakah demonstrasi masih efektif di era politik oligarkis dan birokratis seperti sekarang, atau perlu dilengkapi dengan strategi advokasi kebijakan yang lebih sistematis?
Di era digital sekarang, pada kenyataannya tantangan lebih kompleks oleh beberapa aspek: Pertama, Radikalisasi aksi – Demonstrasi sering disusupi oleh kelompok yang ingin memicu kericuhan, sehingga merusak citra gerakan. Kedua, Disinformasi dan framing media – Aksi damai bisa digiring menjadi narasi chaos melalui potongan video atau pemberitaan yang bias. Ketiga, Minimnya konsolidasi gerakan – Aksi sering bersifat sporadis, tanpa strategi jangka panjang untuk mengawal kebijakan.
Di tengah tantangan ini, penting bagi demonstrasi damai untuk tetap mengedepankan prinsip tertib, terorganisasi, dan berbasis data. Kolaborasi antara masyarakat sipil, akademisi, dan media menjadi kunci agar pesan yang disampaikan tidak hilang dalam hiruk pikuk. Jika dilakukan secara konsisten dan strategis, demonstrasi damai bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga instrumen demokrasi yang mengingatkan bahwa kekuasaan sejatinya bersumber dari rakyat.
Solusi dari tantangan ini adalah inovasi dalam metode perjuangan. Demonstrasi harus diperluas ke ruang digital melalui kampanye media sosial, petisi daring, dan advokasi berbasis data. Gerakan yang cerdas tidak hanya berteriak di jalan, tetapi juga membangun wacana publik yang kuat, menyiapkan alternatif kebijakan, dan berkolaborasi dengan pakar hukum serta organisasi masyarakat sipil.
Rekomendasi dan Jalan ke Depan
Bagaimana agar demonstrasi damai tidak berhenti sebagai euforia sesaat? Ada beberapa langkah strategis: Pertama, transparansi DPR – Proses legislasi harus terbuka, partisipatif, dan berbasis aspirasi rakyat. Kedua, edukasi hukum bagi demonstran – Gerakan harus memahami UU Nomor 9 Tahun 1998 agar tidak terjebak dalam pelanggaran hukum. Ketiga, keterlibatan media independen – Agar framing aksi tidak bias dan substansi tuntutan tetap terpublikasi. Keempat, sinergi dengan instrumen demokrasi lain – Seperti judicial review di Mahkamah Konstitusi, lobi politik, dan advokasi kebijakan.
Demonstrasi hanyalah salah satu instrumen demokrasi. Jika tidak diikuti dengan strategi lanjutan, maka tuntutan akan menguap bersama bubarnya massa.
Penutup
Menggugat DPR melalui demonstrasi damai adalah hak konstitusional sekaligus tanggung jawab moral rakyat dalam menjaga demokrasi. Namun, aksi ini harus dijalankan dengan kedewasaan politik: tidak merusak, tidak anarkis, dan tidak terjebak pada kepentingan pragmatis. Demokrasi yang sehat tidak membutuhkan kekerasan, melainkan dialog yang setara antara rakyat dan wakilnya.
Ketika DPR benar-benar mendengar, maka jalanan akan kembali lengang, dan demokrasi tidak lagi harus diuji di bawah terik matahari.
Referensi
https://nasional.kompas.com/read/2025/08/28/15013221/said-iqbal-sindir-dpr-joget-joget-naik-gaji-sedangkan-buruh-harus-demo-dulu.
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-8087944/siapa-yang-tentukan-gaji-dpr-ini-ketentuannya-menurut-undang-undang
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 215.
Lembaga Survei Indonesia, “Tingkat Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Negara,” Rilis LSI, 2023.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), hlm. 180.
UUD NRI 1945
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum