UIN Sunan Ampel Surabaya
September 5, 2025

MEMAKSA KE SURGA

MEMAKSA KE SURGA

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

“Lebih baik kita paksa mereka masuk surga daripada mereka suka rela masuk neraka,” petuah Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Prof. Kamaruddin Amin, pada sambutan pembukaan rapat koordinasi peningkatan tata kelola perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN), di Jakarta, Kamis (14 Agustus 2025). Kalimat tersebut disampaikan dalam konteks dan kepentingan untuk menunjukkan kuatnya komitmen Kementerian Agama RI terhadap penguatan wakaf di negeri ini. Besarnya potensi wakaf di lingkungan Kementerian Agama RI secara spesifik dan di Indonesia secara umum mengilhami Sekjen kementerian dimaksud untuk menyampaikan pernyataan di atas.  

Dengan pernyataan di atas, diharapkan bahwa besarnya potensi wakaf di lingkungan Kementerian Agama RI bisa teraktualisasi secara optimal. Sebab, Kementerian tersebut memiliki struktur yang sangat gemuk dengan jumlah pegawai yang sangat besar pula. Tak kurang dari 4.590 jumlah satuan kerja dimiliki secara nasional. Kebayang total jumlah pegawainya.Belum lagi,kementerian tersebut adalah lembaga pemerintah yang sangat dekat dengan kebutuhan warga masyarakat. Karena memang, yang diurusi berkaitan langsung dengan layanan keagamaan warga masyarakat. Tentu, dengan modal kelembagaan yang gemuk dan sumber daya yang besar serta bidang layanan yang sangat dibutuhkan masyarakat itu, besarnya potensi wakaf yang lahir karenanya bisa terkonversi menjadi wakaf aktual.

Sebagai pemegang kuasa administrasi birokrasi paling strategis, selaku Sekjen Kementerian Agama RI Prof. Kamaruddin Amin tampak ingin agar birokrasi yang berada di bawah kewenangannya bisa memberi manfaat besar bagi penguatan wakaf di tanah air. Tentu itu melalui tugas pokok dan fungsi yang dimilikinya di kementerian yang memang dilahirkan untuk mengurusi bidang keagamaan di negeri ini. Maka, kalimat yang ada dalam kutipan di awal tulisan ini disampaikan dalam kerangka untuk mengoptimalkan peran kementerian yang dikelolanya untuk pengembangan wakaf di negeri ini. Substansi “memaksa ke surga” dalam pernyataan kalimat di atas adalah ikhtiar birokrasi di Kementerian Agama RI, dan bukan dalam konteks teologi keagamaan.

Tentu, penyebutan nama Kementerian Agama RI di atas hanya sebagai contoh saja atas institusi publik. Nah, yang diurusi oleh institusi publik tentu saja berkaitan dengan urusan umum. Dalam pengertian itulah, maka kementerian dan lembaga pemerintah masuk ke dalam institusi publik itu. Tentu, yang dimaksud dengan institusi pemerintah bisa apa dan mana saja. Tapi yang jelas, urusannya adalah masalah umum yang dikelola melalui kuasa birokrasi yang diamanahkan. Maka, sejatinya institusi publik dapat meliputi lembaga publik apa dan mana saja yang didirikan untuk mengelola amanah publik walaupun bukan milik negara atau pemerintah. Kementerian Agama RI adalah salah satu saja dari institusi publik milik negara atau pemerintah yang didirikan untuk mengelola kebajikan publik di bidang agama.  

Teknokrasi Kebajikan

Kalimat petuah oleh Sekjen Kementerian Agama RI di atas bisa menjadi sebuah quote. Yakni, kutipan mulia yang bisa menjadi pengingat hidup. Isinya sangat inspiratif. Memuat banyak keindahan dan kemuliaan hidup. Itu semua karena quote itu biasanya lahir sebagai hasil dari pemadatan atau kristalisasi berbagai pemikiran, pengalaman, dan refleksi atas serangkaian kejadian dalam hidup. Rumusannya dalam bentuk kalimat pendek namun sarat makna. Lalu, kalimat pendek sarat makna itu bisa menjadi inspirasi dan sekaligus panduan untuk menggerakkan lahirnya berbagai praktik baik dalam kehidupan bersama.

Kalimat “Lebih baik kita paksa mereka masuk surga daripada mereka suka rela masuk neraka” di atas tentu tidak dimaksudkan untuk dimaknai secara harfiyah. Karena memang masing-masing diri hamba ilahi bukanlah panitia surga. Apalagi merasa pemilik surga. Tentu saja semua itu bukan sama sekali. Tidak sama sekali. Sebab, jika pemaknaan harfiyah itu dilakukan, substansi “memaksa ke surga” dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan praktik koersi dan penekanan berbalut kekerasan. Tapi, kalimat di atas merupakan ungkapan normatif atas pentingnya dilakukan tata kelola yang baik atas nilai kebajikan dan maksud  baik melalui birokrasi. Agar nilai manfaatnya bisa meluas.

Teknokrasi, pada dasarnya, merupakan pengelolaan nilai kebajikan ke dalam bentuk tata kelola birokrasi. Pengelolaan itu harus dilakukan agar nilai kebajikan tak menguap begitu saja. Teknokrasi itu, sejatinya, berisi kebijakan penerjemahan nilai kebajikan ke dalam bentuk kebijakan umum. Orientasinya adalah untuk kemaslahatan umum. Melalui kebijakan umum itu, maka semua individu yang berada dalam cakupan kewenangan di bawahnya memiliki keharusan untuk taat dan patuh terhadapnya. Kata “keharusan” di sini mengandung muatan kewajiban normatif, dan bukan pemaksaan berbalut kekerasan.

Melalui kebijakan birokrasi itulah, sebuah nilai kebajikan dikelola ke dalam rumusan praktis-administratif untuk bisa menjadi panduan, ketentuan, dan bahkan aturan untuk dapat berlaku umum. Itulah yang sebetulnya dirujuk oleh konsep teknokrasi. Dalam konteks dikeluarkannya pernyataan Sekjen Kementerian Agama RI di atas, nilai kebajikan yang sedang dibangun dan dikembangkan adalah filantropi. Bentuk konkretnya adalah wakaf. Kepentingannya adalah agar wakaf menjadi kesadaran umum. Setiap pribadi diharapkan melakukan praktik baik berwakaf. Lalu, hasil wakaf itu digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan umat.

(Foto Tengah: Sekjen Kemenag RI dalam Rakor PTKIN, Jumat 15/08/2025)

Karena itulah, kalimat “lebih baik kita paksa mereka masuk surga” oleh Sekjen Kementerian Agama RI di atas harus dipahami bukan dalam pengertian pemaksaan kekerasan. Apalagi dalam bentuk kekerasan fisik (physical attacks). Tentu tidak demikian. Itulah sejatinya perbedaan antara praktik koersi berdimensi kekerasan dan tata kelola birokrasi. Dalam pengertian dasarnya, birokrasi memuat proses governing atau pengelolaan model administrasi kebijakan yang mengacu kepada hierarki, tingkatan, dan jenjang jabatan. Karena yang menyampaikan kalimat di atas adalah Sekjen Kementerian Agama RI, sebagai misal, maka isinya tentu saja akan mengenai seluruh pegawai kementerian tersebut dalam hierarki, tingkatan dan jenjang jabatan apapun di bawahnya.   

Lalu, kalimat lanjutan yang berbunyi “daripada mereka suka rela masuk neraka”, sejatinya, adalah bentuk penegasan pentingnya kebijakan yang menunjuk kepada penguatan nilai dan praktik berwakaf. Gaya kalimatnya adalah kontrastif. Yakni, menabrakkan substansi yang sedang diusung dengan kalimat sebelumnya, yakni “lebih baik kita paksa mereka masuk surga”. Dengan gaya susunan kalimat yang kontrastif itu, sebuah makna kuat sedang ditanamkan. Minimal makna ini berujung pada pesan seperti ini: jika tidak dipaksa masuk surga, mereka bisa tergelincir ke neraka secara tersadar karena emoh pada praktik berwakaf. Begitulah makna yang ingin dipesankan oleh susunan kalimat kontrastif itu.

Di lapangan, meskipun wakaf memiliki nilai kebajikan yang tinggi untuk penguatan kesejahteraan umat, bukan berarti lalu semua diri memiliki kesadaran yang tinggi untuk berwakaf. Berbagai alasan bisa saja mengemuka. Tapi, ujungnya cenderung serupa, bahwa indeks berwakaf masih cenderung rendah. Itu artinya bahwa pemahaman dan kesadaran berwakaf masih cukup lemah. Dan, lemahnya kesadaran ini bisa membuat diri terkilir ke jurang keburukan. Itulah yang diwakili oleh kata “neraka” dalam kalimat Sekjen Kementerian Agama RI di atas.

Maka, quote “Lebih baik kita paksa mereka masuk surga daripada mereka suka rela masuk neraka” dalam kalimat pengarahan oleh Sekjen Kementerian Agama RI di atas harus dimaknai sebagai inspirasi dan panduan pintu masuk untuk lahirnya kebijakan mengenai berwakaf di lingkungan warga di sebuah lembaga publik. Dengan quote itu, seluruh warga lembaga publik itu diingatkan dari sedini mungkin oleh petingginya untuk bersama-sama masuk surga. Caranya adalah dengan menjaga dan mengembangkan kebajikan umum yang bernama wakaf. Maka, mengeluarkan sejumlah harta untuk wakaf adalah bagian dari penunaian kebajikan umum itu.

Lalu, Apa Pelajarannya?

Ada dua pelajaran penting yang bisa dipetik dari uraian di atas. Pertama, jangan abaikan potensi kebajikan umum sekecil apapun saat engkau diamanahi jabatan. Nama lain dari “jabatan” ini di antaranya adalah tugas pekerjaan. Lalu, mengapa setiap diri tidak boleh mengabaikan potensi kebajikan umum dimaksud? Sebab, yang membedakan seseorang dibanding selainnya adalah saat dia berada dalam posisi memegang kuasa tugas pekerjaan dan jabatan. Dia bisa menggunakan kuasanya itu untuk mengelola dan sekaligus mengembangkan sebuah nilai kebajikan. Sedangkan mereka yang tidak seperti dirinya tak punya kuasa untuk melakukan hal itu.

Maka, jika kuasa tugas pekerjaan dan jabatan yang sedang berada di tangan itu tak digunakan untuk sebaik mungkin mengelola dan sekaligus mengembangkan sebuah nilai kebajikan, maka dia tak ubahnya seperti mereka pada umumnya. Di sinilah kriteria “mengabaikan” mulai berlaku. Sebab, tak setiap orang diberi amanah pekerjaan dan jabatan itu.  Karena itu, praktik tak menggunakan kuasa di tangan untuk mengelola dan sekaligus mengembangkan sebuah nilai kebajikan bersama hanya akan membuat diri pelakunya menyia-nyiakan kesempatan emas untuk memperkuat pengelolaan dan pengembangan nilai kebajikan itu.

Lalu, bagaimana supaya tidak termasuk ke dalam kategori mengabaikan potensi kebajikan umum di atas? Sederhana sekali jawabannya. Seseorang yang sedang memegang kuasa tugas pekerjaan dan jabatan sepatutnya memiliki kepekaan yang cukup, untuk tidak mengatakan harus tinggi, terhadap setiap potensi kebajikan umum yang ada dalam kewenangannya. Selanjutnya, potensi kebajikan umum itu dirumuskan untuk dikelola dan dikembangkan melalui sebuah kebijakan yang terukur. Isinya adalah rumusan tata kelola administrasi birokrasi atas potensi nilai kebajikan umum itu. Kepentingannya adalah agar potensi nilai kebajikan itu bisa bergerak menjadi kemaslahatan bersama.

Dengan begitu, potensi nilai kebajikan umum itu tak menguap begitu saja. Melainkan segera bisa teraktualisasi secara baik ke dalam bentuk kemaslahatan bersama seperti disebut di atas. Jika setiap potensi kebajikan yang ada bisa dilakukan proses tata kelola yang demikian, maka setiap potensi kebajikan tersebut akan segera membentuk sebuah titik jangkar bagi lahirnya ekosistem kebajikan umum. Dari kecakapan pengelolaan kebijakan dalam bentuk perumusan dan pengembangan tata kelola yang demikian, seseorang yang sedang memegang kuasa tugas pekerjaan dan jabatan bisa menunjukkan kontribusi dan arti keberadaannya terhadap tugas pekerjaan dan jabatan itu.

Jika setiap diri yang diamanahi tugas pekerjaan dan jabatan bisa melakukan perihal yang demikian, maka kontribusi kebijakan tata kelola yang dilahirkannya segera bisa dirasakan untuk lahirnya ekosistem kebajikan umum sebagaimana dimaksud. Pengalaman Sekjen Kementerian Agama RI Prof. Kamaruddin Amin dalam mengelola kewenangannya untuk penguatan praktik wakaf, sebagaimana diuraikan di atas, penting menjadi contoh. Yakni, bagaimana dia berkemampuan dan berkecakapan untuk menangkap sebuah potensi nilai kebajikan umum dari wakaf. Lalu, dia lakukan perumusan tata kelola pengembangan wakaf itu. Pernyataannya “Lebih baik kita paksa mereka masuk surga daripada mereka suka rela masuk neraka” seperti diuraikan di atas adalah penunjuk awal bagaimana dia membuat-melahirkan kebijakan melalui perumusan tata kelola pengembangan wakaf yang baik.

Kedua, jadikanlah selalu amanah pekerjaan dan jabatan sebagai medan jihad kebajikan. Lantaran posisinya yang menjadi medan jihad kebajikan, maka amanah pekerjaan dan jabatan itu bukan untuk disia-siakan. Apalagi sampai dinistakan. Tentu saja semua itu tidak boleh terjadi. Lalu bagaimana ukuran menyia-nyiakan amanah pekerjaan dan jabatan itu? Kriteria itu berlaku saat setiap diri yang diamanahi amanah pekerjaan dan jabatan memperlakukan amanah pekerjaan dan jabatan hanya sebatas ritual biasa. Tak ada yang istimewa dalam kerja penunaiannya. Ukuran penistaan atas amanah pekerjaan dan jabatan berlaku saat seseorang yang diamanahi justru menjadikan amanah pekerjaan dan jabatan itu sebagai ajang untuk memperkaya diri sendiri.

Kalau pekerjaan dan jabatan itu hanya untuk memperkaya diri sendiri, maka otomatis di ujung lainnya akan muncul praktik yang merugikan kepentingan umum. Sebab dalam senyatanya, saat kepentingan pribadi dan umum bertemu dan kepentingan yang disebut kedua dikalahkan, maka sudah barang tentu pengemban amanah publik akan menjadikan pekerjaan dan jabatan yang diemban hanya untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Jika itu terjadi, maka, amanah pekerjaan dan jabatan tak pernah ada yang bernilai positif di hadapannya.   

Jika dilakukan pendalaman secara lebih ekstrem lagi, pelajaran kedua di atas bisa dilakukan up-scaling lagi. Begini bunyinya secara lebih konkret: jadikan setiap tugas pekerjaan dan jabatan yang diamanahkan sebagai panggung terakhir. Sempurnakan itu dengan keyakinan bahwa panggung itu adalah kesempatan terakhir untuk berkinerja. Dengan begitu, engkau selalu tampil dengan kinerja terbaik. Karena, keyakinan itu menanamkan pesan kuat bahwa kesempatan itu tak akan datang untuk kedua kalinya. Itu yang harus diyakini betul. Agar kita tak pernah menyepelekan setiap tugas pekerjaan dan bahkan jabatan yang diamanahkan. Alih-alih, tugas pekerjaan dan jabatan itu bisa dikonversi menjadi nilai kemanfaatan yang tinggi untuk sebesarnya-besarnya kemaslahatan umum. 

Mengapa begitu? Karena saat amanah pekerjaan dan jabatan di tangan, maka di sana ada kuasa birokrasi yang menempel. Karena itu, saat setiap kita mengoptimalkan amanah pekerjaan dan jabatan itu untuk lahirnya kinerja terbaik, maka kemaslahatan umum bisa tercipta dengan baik pula. Bahkan, saat setiap kita menjadikan amanah pekerjaan dan jabatan itu sebagai panggung terakhir, maka akan terbuka peluang yang makin lebar bagi lahirnya rangkaian  kebijakan untuk masyarakat umum.

Pengalaman Sekjen Kementerian Agama RI Prof. Kamaruddin Amin dalam mengelola kewenangannya untuk penguatan praktik wakaf, sebagaimana diuraikan di atas, penting menjadi contoh. Pesannya dengan kalimat “Lebih baik kita paksa mereka masuk surga daripada mereka suka rela masuk neraka” seperti disebut di atas adalah strategi soft yang dia lakukan untuk memperkuat praktik berwakaf di lingkungan pegawai kementerian yang secara administratif dia komandani. Kebijakan yang dia kembangkan ini bisa diungkapkan dengan rumusan “memaksa ke surga”. Kebijakan ini menjadi contoh konkret bagaimana menjadikan tugas pekerjaan dan jabatan yang diamanahkan untuk sebesar-besarnya kepentingan kemaslahatan umum.

Spread the love

Tag Post :

rectorinsights

Categories

Column, Column UINSA