Pusat Mahad Al-Jamiah
August 11, 2025

MAHASISWA, AI DAN BUKU

MAHASISWA, AI DAN BUKU

Dr. Wasid, M.Fil.I
Sekretaris Pusat Ma’had al-Jami’ah dan dosen FAH UIN Sunan Ampel

Ratusan ribu, bahkan bisa jadi jutaan, calon mahasiswa baru angkatan 2025/2026 akan masuk perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Kehadiran mahasiswa baru ini bagian dari rutinitas tahunan sebagai proses regulasi perkuliahan di perguruan tinggi. Jika ada kelulusan, maka akan ada mahasiswa baru berdatangan sebagai pertanda kampus ini benar-benar hidup seiiring dengan kepercayaan publik terhadap perguruan tinggi yang menjadi pilihannya, mengingat perguruan tinggi adalah bagian dari cadradimuka anak bangsa agar kelak kehidupannya lebih baik dalam semua lini kehidupan dengan daya pikirnya yang lebih cerdas, kritis dan inovatif.

Siapapun yang ditakdir oleh Allah, sampai pada jenjang ini, layak disyukuri untuk dinikmati dengan mewujudkan segala proses yang tidak biasa-biasa kaitan bahwa perguruan tinggi sebagai sarana peningkatan intelektual akademik, intelektual emosional dan intelektual spiritual. Keseimbangan cara pandang harus ditanamkan lebih awal agar memiliki kematangan berproses, apalagi prosesnya hari ini sedang berdialektika dengan kondisi sosial terkini di tengah perkembangan tehnologi.

Untuk itu, dalam konteks berpikir masa depan, kehadiran mahasiswa baru setidaknya memberikan harapan baru bagi masa depan bangsa. Nasib bangsa bergantung terhadap bagaimana mahasiswa baru hari ini mengambil peran-peran penting dan strategis di kampusnya masing-masing untuk pengembangan dirinya sebagai modal hidup bersama masyarakat dalam ruang keagamaan dan kebangsaan. Mengutip salah satu qoute Arab: “Syubbanul yaum, rijalul ghad”, pemuda hari ini adalah __potret__ pemimpin masa depan.

Oleh karenanya, sebagai candradimuka, maka perguruan tinggi akan menggembleng mahasiswa sesuai dengan bidang yang akan digeluti. Pastinya, bidang yang digeluti __dalam konteks ini adalah jurusan—harus diakui dengan penuh kesadaran adalah bagian dari proses penempaan, bukan akan memastikan berbanding lurus dengan takdir kehidupan di masa yang akan datang sebab terlalu bahaya cara pandang kita, untuk tidak mengatakan salah, jika kehidupan kita yang kompleks dibatasi oleh pengetahuan yang terbatas pada jurusan tertentu.

Jurusan adalah proses pembentukan keahlian tertentu seseorang agar memiliki ciri khas dibandingkan orang lain yang memilih jurusan yang berbeda sebab dunia memiliki kategorisasi-kategorisasi yang spesifik. Selebihnya, dalam kehidupan seseorang ditentukan oleh kecapakannya melihat peluang dan kesempatan yang ada, sekaligus komitmennya menjaga “trust” yang diberikan orang lain, di samping kekuatan doa. Bukankah banyak politisi sukses, tidak terlahir dari jurusan sosial dan politik. Bukankah tidak sedikit bisnis man/bisnis woman sukses tidak lahir dari jurusan bisnis, dan bukankah-bukankah lainnya berjalan tidak sesuai dengan jurusannya ketika pernah tercatat sebagai mahasiwa memilih di perguruan tinggi tertentu.

Terlepas dari itu semua, tantangan yang tidak bisa dielakkan dari proses menjadi mahasiswa di perguruan tinggi hari ini, termasuk dunia akademik yang tentunya melibatkan dosen, adalah kenyataannya yang berkelindan dengan perkembangan tehnologi, yakni kehadiran kecerdasan buatan ala AI (Artificial Intelligence) dengan segala bentuk variannya. Kita tidak bisa menampik kehadirannya sangat membantu dalam memberikan beragam kemudahan, seperti perkembangan ‘google” pada masa awal-awalnya.

Berbeda dengan AI adalah Buku, mengingat keduanya memiliki perbedaan. AI dikendalikan oleh pemakainya, sementara buku ada proses dialektika antara pembaca, penulis dan teks buku itu sendiri. Buku mengajarkan tentang penyerapan ilmu, sementara AI tunduk pada logika pikir kita sebagai pengendali. Karenanya, keduanya berbeda, walau tidak perlu dibentur-benturkan antara keduanya, mengingat masih ada secerca kemanfaatan yang ada dari keduanya untuk dikompromikan, khususnya dalam kepentingan akademik.  

PENTINGNYA PROSES

Perkembangan AI harus diakui membentuk mentalitas kita lemah dalam proses __bisa jadi menumpulkan nalar kritis— sebab mengandalkan informasi darinya sesuai komando pengetahuan yang diinginkan pemakainya. Tidak sedikit mahasiswa __bahkan dosen__ tak mau repot-repot, langsung bertanya ke AI dengan pertanyaan yang spesifik sesuai apa yang dibutuhkan. Parahnya, berdasarkan pengalaman penulis, tidak sedikit menemukan tugas-tugas akademik baik makalah, skripsi, tesis bahkan disertasi, menggunakan AI tanpa disikapi secara kritis padahal logika pengetahuan yang dibangun oleh penulis dengan membaca buku secara utuh akan melahirkan penalaran yang lebih holistik, tidak sepotong-sepotong. Bahkan menguatkan ketahanan diri dalam proses membangun mentalitas hidupnya secara kritis dan inovatif dengan sisi emosinal yang lebih kuat.

Karenanya, perlu berpikir keseimbangan dalam mengawal mahasiswa __termasuk dosen mengawal dirinya sendiri__ antara berinteraksi dengan AI di satu sisi dan bergulat dengan waktu yang lama bersama buku di sisi yang berbeda. Pasalnya, pertama, buku mengajak pada logika proses dalam produksi ilmu pengetahuan, sementara AI melahirkan logika cepat saji dalam produksi keilmuan. Keduanya sangat berbeda, dan pastinya sangat mempengaruhi mentalitas kita dalam perkembangan selanjutnya, bahkan dalam konteks memaknai realitas yang berkelindan dalam problematika hidup.

Secara fungsional, kebedaan AI dan buku bukan untuk dibenturkan dengan memilih yang satu, mengenyampingkan yang lain. Keduanya memiliki pola yang berbeda-beda dan sangat bermanfaat, asal dapat dipertanggungjawabkan. Sesekali, penggunaan AI itu layak dilakukan untuk membangun narasi pemantik dalam memproduksi keilmuan, begitu juga penggunaan buku harus digunakan untuk menguatkan logika proses dan berinovasi dalam mengembangkan narasi berpikir kritis secara utuh sesuai dengan dialektika penulis buku, teks dan pembaca.

Untuk itu, kedua, dalam konteks kehidupan, fanatisme dalam AI atau Buku sangat berbahaya sebab bila pada AI akan terjebak pada prolem ketergantungan yang sangat kuat. Optimalisasi AI di samping mendidik proses cepat saji, ia akan melahirkan mentalitas lemah dalam proses, dan menumpulkan fungsi akal kritis. Padahal dalam konteks kehidupan ketahanan proses itu sangat penting. Artinya, mereka yang lemah berpikir proses, akan mudah terombang-ambing, untuk tidak mengatakan mudah putus asa. Mengingat, problem hidup sangat kompleks yang tidak semua dapat didiskusikan dengan AI, apalagi berkaitan dengan prolem spesifik dalam kehidupan, etika dan nilai.

Sementara, buku memang juga tidak akan menjawab semua problem hidup. Tapi, setidaknya buku memberikan pendidikan tentang ketahanan mental, mengingat membaca buku membutuhkan waktu yang sangat lama, dibandingkan dengan AI yang sangat cepat saji. Mentalitas yang ada dalam proses membaca melalui buku akan melahirkan ketahanan proses dalam menyikapi problematika hidup, untuk tidak mengatakan tidak mudah putus asa.

Dengan begitu, pendampingan terhadap mahasiswa __khususnya mahasiswa baru__ menjadi penting, bukan saja tentang akademik agar terselesaikan tepat waktu (dengan AI, misalnya), tapi juga menanamkan bahwa problematika kehidupan sangat kompleks sehingga yang dibutuhkan bukan tentang jurusan favorit atau tidak, tapi tentang individu mahasiswa yang tidak mudah menyerah dengan keadaan, yang mampu merawat trust dengan orang lain, progresif, mampu menguatkan inovasi diri dan hal lain yang berkaitan dengan kemampuan diri.

Morgan Housel, penulis buku “the Psychology of Money” mengatakan: planning is important, but the most important part of every plan is to plan on the plan not going according to plan (perencanaan itu penting, tetapi bagian terpenting dari setiap rencana adalah merencanakan sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencana). Dengan bahasa yang berbeda ia menegaskan kembali: A plan is only useful if it can survive reality. And future filled with unknowns is everyone’s reality. (sebuah rencana hanya berguna, jika ia mampu bertahan dari kenyataan. Dan masa depan yang penuh ketidakpastian adalah kenyataan bagi semua orang).

Dalam konteks masa depan, antara AI dan Buku harusnya berjalan secara seimbang untuk mendidik mentalitas kuat mahasiswa dalam ruang hidup yang sangat kompleks, pastinya dengan etika yang bertanggung jawab.  Memang hari ini, semua orang bisa bercita-cita dengan berbagai perencanaan yang matang untuk bisa mewujudkannya. Tapi sadarlah perencaan itu tidak lepas dari keberuntungan dan resiko yang disebabkan oleh eksternal. Dalam bahasa agama, takdir Tuhan akan mengalahkan rencana matang yang sudah kita siapkan.

Jadi kita tidak hanya harus merencanakan tentang masa depan hidup. Tapi sekaligus harus lebih siap juga rencana itu tidak sesuai dengan ekspektasi. Ini yang harus sering ditanamkan kepada semuanya, dalam setiap proses di kampus, apapun jurusannya sebab sekali lagi tidak ada jujusan yang favorit, yang favorit adalah kembali pada diri sendiri untuk tahan banting dalam proses, sembari bertawakkal sesuai keyakinan agar kelak hidup sesuai dengan rencana. Bila tidak, setidaknya sesuai dengan pilihan yang tepat. Akhirnya, selamat datang mahasiswa baru. Tataplah dengan penuh keyakinan bahwa masa depan bangsa dan agama tergantung hari ini dipundakmu semua. Bahwa AI dan buku adalah teman yang sama-sama baik dalam membersamai perjalanan akademik sehingga tempatkan sesuai dengan fungsi dan maknanya agar ada kematangan proses sembari terus berharap adanya momentum terbaik dalam hidup sesuai dengan takdirNya. Mengingat, setinggi apapun nilai akademik, bila Ia tidak berkenan, tetap saja nilai tinggi tidak mampu menjawab problem hidup. Yang menjawab adalah ketahanan mental untuk tidak mudah menyerah dengan keadaan melalui proses berkarya setiap saat terjadi. Karenanya, nilai akademik penting, dan kepribadian juga sangat penting kaitan akhlak serta kedalaman spiritual. Semoga semuanya dimudahkan.

Spread the love

Tag Post :

Categories

Column, Column UINSA, المقالات